Wednesday, June 12, 2013

Pengembangan Potensi Peserta Didik

PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Bagaimana mengembangkan potensi kognitif? Bagaimana mengembangkan Fisik peserta didik? Bagaimana mengembangkan Psikomotorik peserta didik? Bagaimana mengembangkan potensi perkembangan moral peserta didik? Bagaimana mengembangkan potensi perkembangan emosional peserta didik? Bagaimana mengembangkan potensi perkembangan sosial peserta didik? Bagaimana mengembangkan potensi perkembangan bahasa peserta didik? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dipaparkan dalam Unit 5 ini. Setelah mempelajari Unit 5 ini, secara umum Anda diharapkan dapat mengembangkan potensi peserta didik untuk kepentingan belajar dan pembelajaran.

2.Rumusan Masalah
Secara khusus Anda diharapkan dapat :
1. Menjelaskan cara mengembangkan potensi kognitif peserta didik;
2. Menjelaskan cara mengembangkan potensi fisik peserta didik;
3. Menjelaskan cara mengembangkan potensi psikomotorik peserta didik;
4. Menjelaskan cara mengembangkan potensi moral peserta didik;
5. Menjelaskan cara mengembangkan potensi emosional peserta didik;
6. Menjelaskan cara mengembangkan potensi sosial peserta didik; dan
7. Menjelaskan cara mengembangkan potensi bahasa peserta didik;

     Untuk mencapai kemampuan itu, unit yang terdiri atas tiga subunit ini akan membahas pengembangan potensi perkembangan kognitif, fisik dan psikomotorik, pengembangan potensi perkembangan moral dan emosional, pengembangan potensi sosial dan bahasa. Masing-masing subunit ini akan dilengkapi dengan ilustrasi yang berguna bagi Anda untuk membantu memahami prinsip dan cara memperkembangkannya. Media lain yang dapat anda gunakan untuk mempelajari prinsip dan cara memperkembangkan potensi peserta didik ini adalah LOM.

     Potensi adalah kemampuan yang dimiliki setiap pribadi (individu) yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan sehingga dapat berprestasi. Setiap manusia pasti memiliki potensi dan bisa mengembangkan dirinya untuk menjadi yang lebih baik. Kemampuan yang dimiliki manusia merupakan bekal yang sangat pokok. Berdasarkan kemampuan itu, manusia akan berkembang dan akan membuka kesempatan luas baginya untuk memperkaya diri dan mencapai taraf perkembangan yang lebih tinggi dengan meningkatkan potensi sesuai dengan bidangnya .

     Mengembangkan potensi itu sendiri melalui proses yang dinamakan belajar karena dengan adanya belajar, maka peserta didik mengalami perubahan-perubahan mulai dari saat lahir sampai mencapai umur tua. Selain itu perlu latihan agar dalam meningkatkan potensi peserta didik itu sendiri tidak ada kendala dan bisa berjalan dengan lancar. Secara berturut-turut akan diuraikan dalam buku ini peningkatan potensi peserta didik yang meliputi peningkatan potensi kognitif, fisik, psikomotorik, moral, emosional, sosial dan bahasa.


  
  

Sub Unit5-1
Pengembangan Potensi Kognitif, Fisik dan Psikomotorik

A.1. Konsep Pengembangan Potensi Kognitif
Pada dasarnya hakikat pengembangan potensi kognitif terletak pada upaya peningkatan aspek pengamatan, mengingat, berfikir, menciptakan serta kreativitas seseorang. Proses kognitif (cognitive processes) meliputi perubahan pada pemikiran, intelegensi, dan bahasa individu. Memandang benda yang berayun-ayun diatas tempat tidur bayi, merangkai satu kalimat yang terdiri atas dua kata, menghafal syair, membayangkan seperti apa rasanya menjadi bintang tokoh, dan memecahkan suatu teka-teki silang, semuanya mencerminkan peran proses-proses kognitif dalam pengembangannya.

Tingkat intelegensi adalah tingkat kecerdasan yang berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Intelegensi mempengaruhi cara individu menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Semakin cerdas seseorang, maka akan semakin mudah dan cepat ia menemukan jawaban dari permasalahan yang dihadapinya. Pengembangan kognitif dimaksudkan agar individu mampu mengembangkan kemampuan persepsinya, ingatan, berpikir, pemahaman terhadap simbol, melakukan penalaran dan memecahkan masalah. Pengembangan kognitif dipengaruhi oleh faktor hereditas, lingkungan, kematangan, minat dan bakat, pembentukan dan kebebasan dari berbagai pengaruh sugesti.

Pengembangan kognitif peserta didik di SD kelas rendah berkaitan erat dengan pengembangan kemampuan matematik dan pengembangan sains permulaan. Pada pengenalan bilangan, terlebih dahulu diperdengarkan angka dengan menyebutkan angka satu, dua, tiga dan seterusnya. Dengan bertambahnya kecerdasan dan umur barulah diperkenalkan ke lambang bilangan. Anak juga sering menggunakan benda sebagai simbul yang akan membantunya dalam memahami konsep-konsep matematika yang lebih abstrak.

Pada pengembangan geometri, anak diberikan berbagai macam bentuk bangun misalnya bola, kotak, persegi, lingkaran dan sebagainya. Sebaiknya guru menstimulasi munculnya kemampuan-kemampuan kognitif tersebut dengan memerintahkan anak mengambil bangun yang disebutkan nama dan ciri-cirinya. Pendidikan matematika pada anak usia SD kelas rendah dapat diberikan sambil bermain, karena dengan bermain anak akan mendapat kesan bahwa matematika itu menyenangkan. Hal yang sama juga berlaku untuk pendidikan sains (IPA).

Permainan sains dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan sosio emosional, fisik, kreatifitas dan perkembangan kognitif. Tahapan disetiap usia kronologis dan usia mental sangat menentukan jenis dan tingkat kesulitan dalam permainan sains. Hal itu berarti permainan sains haruslah diberikan dari hal-hal yang sederhana menuju ke tingkatan yang lebih kompleks.

Pada dasarnya kegiatan-kegiatan dalam konsep sains dapat dipelajari melalui pengalaman sehari-hari yang nyata dan sederhana. Suasana yang menarik dan menyenangkan akan memotivasi anak untuk terus menerus mencari jawaban terhadap apa yang ia pikirkan dan ingin ia buktikan. Berbagai keterampilan yang dapat dilakukan melalui permainan sains adalah keterampilan mengamati, mengklasifikasi, mengukur, memperkirakan, melakukan percobaan dan komunikasi

A.2. Model Pengembangan Kognitif
Model Piaget. Diskripsi Piaget mengenai hubungan antara tingkat perkembangan konseptual anak dengan bahan pelajaran yang kompleks menunjukkan bahwa guru harus memperhatikan apa yang harus diajarkan dan bagaimana mengajarkannya. Situasi belajar yang ideal ialah keserasian antara bahan pengajaran yang kompleks dengan tigkat perkembangan konseptual anak. Jadi guru harus dapat menguasai perkembangan kognitif anak, dan menentukan jenis kebutuhan yang dibutuhkan oleh anak untuk memahami bahan pelajaran itu.

Strategi belajar yang dikembangkan dari teori Piaget ialah menghadapkan anak dengan sifat pandangan yang tidak logis agar dapat merangsang berfikir. Walaupun anak sulit mengerti sesuatu pandangan yang berbeda dengan pandangannya itu sendiri. Tipe kelas yang dikehendaki oleh Piaget untuk transmisi pengetahuan adalah mendorong guru untuk bertindak sebagai katalisator dan siswa belajar sendiri. Tujuan pendidikan bukanlah meningkatkan jumlah pengetahuan, tetapi meningkatkan kemungkinan bagi anak untuk menemukan dan menciptakan pengetahunnya sendiri.

Satu diantara hal-hal yang penting dalam belajar mencakup soal kematangan anak untuk belajar. Menurut Piaget, operasi mental tertentu terdapat pada tingkat perkembangan yang berbeda-beda yang membatasi kesanggupan anak untuk mengelola masalah-masalah tertentu terutama pada tahap abstrak. Ini menunjukkan bahwa guru harus dengan tepat menyesuaikan bahan pengajaran yang kompleks dengan tahap perkembangan anak. Ini berarti pula bahwa guru harus menunggu tahap perkembangan anak yang tepat untuk menyampaikan bahan tertentu kepadanya.

Model Williams. Model tiga dimensional dari Williams (1978) dirancang untuk membantu guru menentukan tugas-tugas di dalam kelas yang berkenaan dengan dimensi kurikulum (materi atau konten), perilaku anak (kegiatan belajar) dan perilaku guru (strategi atau cara mengajar). Model ini berlandaskan pada pemikiran bahwa kreativitas perlu dipupuk secara menyeluruh dan bahwa anak harus mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dalam semua bidang kegiatan. Dengan menggunakan model ini guru mampu menggunakan aneka ragam strategi yang akan meningkatkan pemikiran kreatif anak di dalam kelas.

Model Guilford. Sedangkan Guilford (1985) mengembangkan teori atau model tentang kemampuan kognitif manusia (yang berisi 120 kemampuan intelektual) yang disusun dalam satu sistem yang disebut "struktur intelek". Model struktur ini menggambarkan keragaman kemampuan kognitif manusia, yang digambarkan dalam bentukan kubus tiga dimensi intelektual untuk menampilkan semua kemampuan kognitif manusia. Ketiga dimensi itu ialah konten, produk dan operasi.

Model Bloom. Taksonomi Bloom terdiri dari enam tingkat perilaku kognitif yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Model ini banyak digunakan untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam kurikulum berdiferensiasi untuk anak berbakat serta untuk merencanakan dan mengevaluasi kegiatan belajar sedemikian hingga anak dapat mengembangkan kemampuan kognitif mereka sepenuhnya. Dengan menggunakan taksonomi ini, guru memberikan kesempatan kepada anak untuk memperluas proses-proses pemikiran mereka, dimana anak dapat dengan segera mengenali cara bagaimana berpikir, pada tingkat mana pertanyaan yang mereka ajukan dan sifat kegiatan dimana mereka terlibat.

B.1. Konsep Pengembangan Potensi Fisik
Berhubungan dengan potensi fisik berarti menyangkut dengan pertumbuhan seorang anak. Anak harus memiliki pertumbuhan fisik yang baik pula dalam meningkatkan potensinya. Pertumbuhan anak dapat dibagi menjadi empat periode utama, dua periode ditandai dengan pertumbuhan yang cepat dan dua periode lainnya dicirikan oleh pertumbuhan yang lambat. Selama periode pralahir dan 6 bulan setelah lahir, pertumbuhan tubuhnya sangat cepat. Pada akhir tahun pertama kehidupan pascalahirnya, pertumbuhan memperlihatkan tempo yang sedikit lambat dan kemudian menjadi stabil sampai si anak memasuki tahap remaja, atau tahap kematangan kehidupan seksualnya. Hal ini dapat dimulai ketika anak berusia sekitar 8 sampai 12 tahun. Mulai saat itu, sampai berusia 15 atau 16 tahun, pertumbuhan fisiknya akan cepat kembali, biasanya disebut “ledakan pertumbuhan pubertas”. Periode ini kemudian akan disusul dengan periode tenang kembali sampai dia memasuki tahap dewasa. Tinggi badan yang sudah tercapai dalam periode keempat ini akan tetap sampai usia tua, tetapi berat tubuh masih dapat berubah-ubah (Hurlock, 1996).

Oleh karena itu, perlu kiranya diketahui bagaimana cara kita  dapat meningkatkan potensi fisik peserta didik tersebut. Pertumbuhan fisik peserta didik berpengaruh terhadap potensi lain yang dimilikinya (kognitif, sosial, emosi). Potensi fisik merupakan potensi yang dapat diberdayakan sesuai fungsinya untuk berbagai kepentingan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Misalnya mata untuk melihat, kaki untuk berjalan, telinga untuk mendengar dan lain-lain. Peningkatan potensi fisik dapat dilakukan dengan pembelajaran jasmani (olah raga) dan pemenuhan asupan gizi yang berkualitas.

Dalam kaitannya dengan peningkatan potensi fisik peserta didik, maka antara metode pembelajaran jasmani berbanding lurus dengan penanaman nilai gizi atau nutrisi yang seimbang. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memberikan asupan gizi atau nutrisi yang seimbang dengan latihan-latihan fisik (olah raga) yang cukup. Pembelajaran jasmani (physical exercises) dapat meningkatkan kebugaran fisik dan mencegah penyakit pada anak.

B.2. Pembelajaran Dasar Untuk Pendidikan Jasmani
Kemampuan pengelolahan tubuh merupakan kemampuan paling dasar yang dikuasai anak bersamaan dengan berkembangnya pengetahuan tentang tubuhnya. Termasuk di dalamnya adalah kesadaran tubuh dan geraknya. Ke dalam bagian ini dapat dirinci hal-hal khusus seperti:

a. Kesadaran tubuh
Kesadaran tubuh menunjuk pada kemampuan untuk mengenal nama-nama bagian tubuh yang bermacam-macam serta kemampuan untuk mengontrol setiap bagian tersebut secara terpisah. Bagian-bagian tubuh tersebut melibatkan tiga wilayah meliputi:
(1) wilayah kepala: dahi, muka, pipi, alis, hidung, mulut, telinga, rahang, dagu, mata, dan rambut;
(2) wilayah badan bagian atas: leher, bahu, dada, perut, lengan, tangan, siku, pergelangan, telapak, dan jari-jari; dan
(3) wilayah badan bagian bawah: pinggang, pinggul, pantat, paha, lutut, betis, pergelangan kaki, punggung kaki, tumit, bola-bola kaki dan jari-jari.

b. Kesadaran ruang
Kemampuan kesadaran ruang menunjuk pada posisi tubuh dikaitkan dengan ruang sekelilingnya. Ini merupakan dasar dalam perkembangan kemampuan gerak-perseptual anak. Yang dimaksud gerak perseptual adalah gerak yang dihasilkan oleh kemampuan anak didik untuk mengindera rangsangan dan menentukan gerak yang sesuai untuk menjawab rangsang itu. Dalam hal ini anak akan mengenal ruangnya sendiri, ruang secara umum, arah gerak, jalur gerak, tingkatan, serta jarak.

c. Kualitas gerak
Anak mengembangkan kemampuan geraknya dikaitkan dengan kualitas kesadarannya tentang geraknya sendiri. Ini sebenarnya menunjuk pada tingkat penguasaan anak terhadap dirinya sendiri dikaitkan dengan ruang di luar dirinya. Dalam wilayah ini anak akan berhubungan dengan kemampuan untuk menciptakan daya (force), menyerap tenaga, mengatur keseimbangan, mengatur jarak, kecepatan, serta aliran gerak.

B.3. Mekanisme Olahraga dalam Pembelajaran Jasmani 
Penerapan olahraga dalam upaya peningkatan potensi fisik merupakan strategi yang tepat. Dalam pelaksanaan teknisnya harus benar-benar mengembangkan potensi fisik sesuai dengan kebutuhan fisik anak didik, agar dapat menghasilkan kemampuan fisik yang baik dan sehat pula. Mekanisme berolahraga untuk peserta didik adalah sebagai berikut :

a. Memberi porsi kepada siswa agar sebelum beraktivitas harus melakukan pemanasan terlebih dahulu (warming up), dengan melakukan senam ringan selama kurang lebih 15 menit agar keseimbangan badan selalu terjaga tidak kaku.

b. Membelajarkan olahraga dalam bentuk permainan, misalkan bermain sepak bola. Anak akan memperoleh kesenangan dan dapat meningkatkan stamina fisik anak karena jenis permainan ini termasuk cabang olahraga atletik.

c. Menekankan pada pembinaan keterampilan berolahraga dan menghayati nilai-nilai yang diperoleh dari kegiatan berlatih dan bertanding dengan memberinya kesempatan kepada anak didik untuk berperan langsung dalam pembinaan olahraga, dan

d. Memberi porsi berolahraga di rumah setiap hari minimal 30 menit dalam menjaga kesehatan dan kebugaran anak didik.

B.4. Pemahaman Nilai Gizi Dalam Meningkatkan Potensi Peserta Didik
Asupan gizi yang baik dan seimbang yang terdiri dari kecukupan kalori (energi) dan protein serta kecukupan gizi secara mikro, seperti vitamin dan mineral perlu diberikan pada anak pada masa tumbuh kembang (SD). Pemahaman nilai gizi seimbang ini sebaiknya menadi kebutuhan keluarga muda, orang tua, ibu hamil dan menyusui serta anak itu sendiri. Sebab orang tualah (terlebih kaum ibu) yang sangat dekat dengan anak dan bertanggugjawab terhadap pemenuhan kebutuhan anak. Anak usia SD perlu ditanamkan nilai gizi agar sadar akan kebutuhan dan tidak makan atau jajan sembarangan. Pengetahuan orang tua, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak terhadap pentingnya gizi yang baik dan seimbang berbanding lurus dengan asupan gizi dan pertumbuhan yang baik pada anak. 

Gizi yang baik adalah gizi yang seimbang, artinya asupan zat gizi harus sesuai dengan kebutuhan tubuh. Kebutuhan nutrisi pada setiap orang berbeda-beda berdasarkan unsur metabolik dan genetikanya masing-masing. Nutrisi yang baik akan ikut membantu pencegahan terjadinya penyakit yang akut dan kronik. Keseimbangan antara asupan dan kebuuhan zat gizi sangat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, kecerdasan, kesehatan, aktivitas anak, dan hal-hal lainnya (I Dewa Nyoman S, 2001).

Awal masa sekolah merupakan periode dimana anak memasuki lingkungan baru, berubah dari tahapan bermain ke tahap belajar. Perubahan ini akan berakibat pada nafsu makan yang berkurang karena anak mungkin mengalami depresi. Belum lagi kebiasaan anak yang sering mengkonsumsi makanan secara sembarangan di sekitar lingkungan sekolah seperti snack/makanan ringan, permen, dan berbagai jenis makanan lainnya.

Di sekolah, anak belum bisa bertanggung jawab dalam menggunakan uang jajan untuk membeli makanan yang tidak sehat (mengandung zat pewarna, pemanis dan pengawet yang berlebihan). Nelson (1988) mengatakan “anak-anak usia sekolah kerap kali mempunyai kebiasaan makan yang buruk karena tidak memenuhi 4 sehat 5 sempurna, terutama pada waktu sarapan dan makan siang”. Kebiasaan anak yang terlalu banyak nonton televisi juga berakibat mengesampingkan urusan makan.

Status gizi yang tepat akan berpengaruh pada pencapaian prestasi dan konsentrasi belajar anak. Peranan orang tua pada masa ini sangat berpengaruh karena pemenuhan kebutuhan nutrisi sangat bergantung pada metode dan cara orang tua dalam penentuan dan penyajian makanan pada anak. Apabila orang tua dapat memenuhi kebutuhan nutrisi anak serta penentuan jenis makanan tepat maka bisa dikatakan kecukupan gizi si anak akan baik pula.

Anak didik merupakan salah satu kelompok rentan terhadap ketidak cukupan gizi, sehingga anak sekolah harus dipantau agar ketidak cukupan gizi bisa dihindari. Ahmad Djaeni Sediaoetama (2000) menyatakan bahwa kelompok rentan terhadap ketidakcukupan gizi di Indonesia antara lain : Kelompok Bayi, Balita, Kelompok Anak Sekolah, Kelompok Remaja, Kelompok Ibu Hamil, Ibu yang Menyusukan dan Manusia Usia Lanjut (Manula).

Menurut Ahmad Djaeni Sediaoetama (2000) terdapat berbagai kondisi gizi anak sekolah yang tidak memuaskan antara lain: berat badan yang kurang, anemia defisiensi Fe, defisiensi vitamin C dan di daerah tertentu juga defisiensi yodium. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang adalah konsumsi makanan dan status kesehatan, dimana keduanya tergantung pada : zat gizi dalam makanan; ada tidaknya program pemberian makanan di luar keluarga; daya beli keluarga; kebiasaan makan; pemeliharaan kesehatan; dan lingkungan fisik dan sosial.

Mekanisme penyadaran terhadap nilai gizi pada peserta didik dapat dilakukan sebagai berikut : a. Memberi asupan kebutuhan gizi dan kesehatannya; b. Menekankan pola makanan sesuai anjuran kesehatan 4 sehat 5 sempurna (nasi, sayur-sayuran, lauk pauk, buah-buahan dan susu) terhadap anak didik; c. Menekankan anjuran kesehatan untuk selalu mengkonsumsi air putih 18 gelas/ hari; dan d. Membentuk pola kebiasaan yang sehat seperti sarapan pagi, jajan yang terarah atau pola hidup/istirahat yang teratur.

C.1. Konsep Peningkatan Potensi Psikomotorik
Kemampuan psikomotorik hanya bisa dikembangkan dengan latihan latihan yang menuju kearah peningkatan kemampuan anak. Pengembangan ini memerlukan rangsangan yang adekuat agar perkembangan potensi psikomotorik anak bisa optimal.
Peningkatan potensi perkembangan psikomotorik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kesuksesan pengajaran. Dengan peningkatan kemampuan motorik, anak akan mampu menerima pengajaran sesuai dengan batasan jenjang pendidikanya. Beberapa konstelasi perkembangan motorik individu dipaparkan oleh Hurlock (1996) sebagai berikut :

a). Melalui ketrampilan motorik, anak dapat menghibur dirinya dan memperoleh perasaan senang. Seperti anak merasa senang memiliki ketrampilan memainkan boneka, melempar bola dan memainkan alat alat mainan.

b). Dengan keterampilan motorik anak dapat beranjak dari kondisi tidak berdaya pada bulan bulan pertama dalam kehidupanya kepada kondisi yang independen. Anak dapat bergerak dari satu tempat ketempat yang lain, dan dapat berbuat sendiri untuk dirinya sendiri. Kondisi ini akan menunjang perkembangan rasa percaya diri.

c). Melalui peningkatan potensi perkembangan psikomotorik anak dapat menyesuaikan dangan lingkungan sekolah. Pada masa pra sekolah atau pada masa awal sekolah dasar, anak sudah dapat dilatih menulis menggambar melukis dan baris berbaris.

d). Melalui peningkatan potensi prkembangan psikomotorik yang normal memungkinkan anak dapat bermain dan bergaul dengan teman sebayanya, sedangkan yang tidak normal akan menghambat dalam bergaul dengan teman sebayanya, bahkan dia akan terkucilkan atau menjadi anak yang terpinggirkan

e). Peningkatan potensi perkembangan psikomotorik sangat penting bagi perkembangan self concept (kepribadian anak)

C.2. Tahapan Dalam Meningkatkan Kemampuan Psikomotorik
1.Tahap Kognitif
            Tahap ini ditandai dengan adanya gerakan gerakan yang kaku dan lambat. Hal tersebut terjadi karena anak ataupun siswa masih dalam taraf belajar untuk mengendalikan gerakan gerakanya. Dia harus berfikir sebelum melakukan suatu gerakan, pada tahap tersebut siswa sering membuat kesalahan dan kadang terjadi tingkat frustasi yang tinggi.

2.Tahap Asosiatif
            Pada tahap ini seorang anak ataupun siswa membutuhkan waktu yang lebih pendek untuk memikirkan tentang gerakanya, dia mulai dapat mengasosiasikan gerakan yang sedang dipelajarinya dengan gerakan yang sudah dikenal. Tahap ini masih dalam tahap pertengahan dalam perkembangan psikomotorik oleh karena itu gerakan gerakan  dalam tahap ini belum menjadi gerakan yang bersifat otomatis. Pada tahap ini siswa ataupun anak masih menggunakan pikiranya untuk melakukan suatu gerakan, tetapi waktu yang diperlukan untuk berfikir lebih sedikit dibanding pada waktu dia berada pada tahap kognitif. Gerakannya sudah tidak kaku kerena waktu yang dipergunakan untuk berfikir lebih pendek.

3. Tahap otonomi
            Pada tahap ini seorang siswa telah mencapai tingkat otonomi yang tinggi, proses belajarnya sudah hampir lengkap meskipun dia masih dapat memperbaiki gerakan garakan yang dipelajarinya. Tahap ini disebut tahap otonomi karena siswa sudah tidak memerlukan kehadiran instruktur untuk melakukan gerakan gerakan. Pada tahap ini gerakan yang dilakukan secara spontan oleh karenanya gerakan yang dilakukan juga tidak mengharuskan pembelajaran untuk memikirkan tentang gerakanya.

C.3. Teknik Mengembangkan Potensi Psikomotorik Pada Peserta Didik
a.         Model Permainan Atau Out Bond
            Model yang satu ini mungkin menjadi yang terfavorit. Hal ini karena pada out bond terdapat beberapa macam permainan permainan yang semuanya memiliki manfaat atau memiliki tujuan tertentu. Terutama dalam peningkatan kemampuan psikomotorik anak. Dalam setiap permainan yang ada pada out bond terdapat makna yang tersirat ataupun tersurat. Out bond melatih ketrampilan kerjasama dalam team dan melatih kemampuan psikomotorik anak. Kesulitan yang ada dalam setiap permainan yang ada pada out bond menuntut para peserta untuk bekerjasama dan menguras kreatifitasnya dalam bertindak. Dengan adanya kreatifitas tersebut maka kemampuan psikomotorik anak akan meningkat dan berkembang dan anak pun akan memperoleh kesenangan.

b.         Model Meniru
Dalam model ini guru menyuruh anak didik untuk menirukan atau mengikuti apa yang diinginkan oleh guru. Model meniru dilakukan guna memberi contoh kepada anak didik agar bisa mengikuti apa yang diinginkan oleh gurunya. Seperti pada saat guru mengajarkan menari, maka anak didik harus benar benar memperhatikan apa yang dicontohkan oleh gurunya itu kemudian anak tersebut harus bisa melakukan apa yang baru saja dicontohkan oleh gurunya tersebut.

c.         Model Kelompok Belajar dan Bermain
Model ini sangat baik dilakukan pada tahap kanak kanak atau SD karena pada tingkat ini kecenderungan anak adalah berkelompok dan bermain. Dengan bermain sambil belajar maka tingkat psikomotorik anak akan berkembang dengan cepat pula. Salah satu prinsip belajar adalah menyenangkan, maka dengan bermain akan menghadirkan rasa senang dalam belajar. Dapat diharapkan belajar psikomotorik dengan hati senang akan menghasilkan kemampuan motorik yang berkualitas.

C.4. Stimulasi Untuk Meningkatkan Potensi Psikomotorik  
Peningkatan potensi psikomotorik anak akan lebih teroptimalkan jika lingkungan anak menstimulasi mereka untuk bergerak secara bebas. Stimulasi dapat dilakukan dengan menyediakan ruang gerak yang memungkinkan untuk berlari melompat dan menggerakkan seluruh anggota tubuhnya dengan cara cara yang maksimal. Selain itu penyediaan alat bermain diperlukan untuk mendorong anak meningkatkan koordinasi dan pengembangan kekuatan tubuhnya. Stimulasi stimulasi tersebut akan membantu pengoptimalan kemampuan psikomotorik kasar, koordinasi halus (finer coordination), fisik dan stamina.

Tumbuh kembang potensi psikomotorik anak memerlukan stimulasi stimulasi guna tercapai pengoptimalannya. Pada anak anak dapat dilakukan stimulasi diantaranya dengan :
a. Diberikan dasar dasar ketrampilan untuk menulis dan menggambar;
b. Ketrampilan berolah raga atau menggunakan alat olah raga;
c. Gerakan geraka permainan, seperti melompat memanjat dan berlari; dan
d. Baris berbaris secara sederhana.

Kemampuan motorik halus bisa dikembangkan dengan cara menggambar, menari, memainkan alat musik (piano, guitar), anak menggali pasir dan tanah, menuangkan air, mengambil dan mengumpulkan batu batu, dedaunan atau benda kecil lainya, dan bermain permainan luar ruangan seperti bermain kelereng. Peningkatan potensi psikomotorik halus ini merupakan modal dasar untuk menulis.

C.5. Belajar Ketrampilan Fisik Untuk Meningatkan Potensi Psikomotorik
Belajar keterampilan fisik (motor learning) dianggap telah terjadi dalam diri seseorang apabila yang bersangkutan telah memperoleh kemampuan dan keterampilan yang melibatkan penggunaan lengan (seperti menggambar) dan tungkai (seperti berlari) secara baik dan benar. Untuk belajar memperoleh kemampuan keterampilan jasmani ini, siswa tidak hanya cukup  dengan latihan dan praktek, tetapi juga memerlukan kegiatan perceptual learning (belajar berdasarkan pengamatan) atau kegiatan sensory-motor learning (belajar keterampilan inderawi-jasmani). Cukup banyak keterampilan inderawi-jasmani yang rumit dan karenanya memerlukan upaya manipulasi (penggunaan secara cermat), koordinasi dan organisasi rangkaian gerakan secara tepat (Muhibbin Syah, 2008).

Pola-pola gerakan yang cakap dan terkoordinasi itu tak dapat tercapai dengan baik semata-mata dengan mekanisme sederhana, tetapi dengan menggunakan proses mental yang sangat kompleks. Proses belajar keterampilan tertentu (khususnya di sekolah) merupakan pendukung yang sangat berarti bagi perkembangan motor atau fisik anak, terutama daam hal perolehan kecakapan-kecakapan psikomotor atau ranah karsa anak tersebut. Perkembangan kemampuan fisik anak itu kurang berarti dan tidak meluas menjadi keterampilan psikomotor yang berfaedah tanpa dukungan proses belajar atau usaha-usaha kependidikan pada umumnnya. Belajar ketrampilan fisik untuk meningkatkan potensi motorik di sekolah dasar meliputi hal-hal berikut (Muhibbin Syah, 2006) :

a.         Belajar Gerakan kompleks : mencakup kemampuan untuk melaksanakan suatu keterampilan yang terdiri dari beberapa komponen dengan lancar, tepat dan efisien. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam suatu rangkaian perbuatan yang berurutan dan menggabungkan beberapa subketerampilan menjadi suatu keseluruhan gerak-gerik yang teratur, seperti dalam membongkar mesin mobil dalam bagian-bagiannya dan memasangkan kembali.

b.         Melatih penyesuaian pola gerakan : mencakup kemampuan untuk mengadakan perubahan dan menyesuaikan pola gerak-gerik dengan kondisi setempat atau dengan menunjukkan suatu taraf keterampilan yang telah mencapai kemahiran. Misalnya, seorang pemain tenis yang menyesuaikan pola permainannya dengan gaya bermain lawannya atau dengan kondisi lapangan.

c.         Belajar teknis. Bentuk belajar ini bertujuan mengembangkan keterampilan-keterampilan dalam menangani dan memegang benda-benda serta menyusun bagian-bagian materi menjadi suatu keseluruhan, misalnya belajar mengetik dan membuat suatu mesin tik. Belajar semacam ini mencakup fakta, seperti arah pemutaran dan transmisi tenaga, seperti susunan bagian-bagian dalam motor atau mobil.

d.         Menciptakan kreativitas : mencakup kemampuan untuk melahirkan aneka pola gerak-gerik yang baru, seluruhnya atas dasar prakarsa dan inisiatif sendiri. Hanya sosok orang yang berketerampilan tinggi dan berani berpikir kreatif, akan mampu mencapai tingkat kesempurnaan ini, seperti kadang-kadang dapat disaksikan dalam pertunjukkan tarian di lapisan es dengan diiringi musik instrumental yang banyak sekali kreasi-kreasi gerakan dari sang penari (Winkel, 2004).

D.1.Rangkuman
Setiap peserta didik memiliki potensi untuk berkembang. Mengembangkan potensi peserta didik melalui proses yang dinamakan belajar karena dengan adanya belajar, maka peserta didik mengalami perubahan-perubahan mulai dari saat lahir sampai mencapai umur tua.

Pada dasarnya hakikat pengembangan potensi kognitif terletak pada upaya peningkatan aspek pengamatan, mengingat, berfikir, menciptakan serta kreativitas seseorang. Pengembangan kognitif dimaksudkan agar individu mampu mengembangkan kemampuan persepsinya, ingatan, berpikir, pemahaman terhadap simbol, melakukan penalaran dan memecahkan masalah. Pengembangan kognitif dipengaruhi oleh faktor hereditas, lingkungan, kematangan, minat dan bakat, pembentukan dan kebebasan dari berbagai pengaruh sugesti. Ada 3 model pengembangan kognitif peserta didik, yaitu model Piaget, model tiga dimensional dari Williams, Model Guilford (tiga dimensi) dan Model taksonomi kognitif menurut Bloom.

Peningkatan potensi fisik dapat dilakukan dengan pembelajaran jasmani (olah raga) dan pemenuhan asupan gizi yang berkualitas. Dalam kaitannya dengan peningkatan potensi fisik pada peserta didik, antara metode pembelajaran jasmani berbanding lurus dengan penanaman nilai gizi atau nutrisi yang seimbang. Hal tersebut dapat diketahui dengan cara asupan gizi atau nutrisi yang seimbang akan mempengaruhi perkembangan anak didik. Dengan melakukan pembelajaran jasmani yang dapat di aplikasikan dengan sering berolahraga minimal 30 menit/ harinya dapat meningkatkan kebugaran fisik serta menjauhkan diri dari penyakit pada anak.

Kemampuan psikomotorik hanya bisa dikembangkan dengan latihan latihan yang menuju kearah mengembangkan kemampuan anak. Hal ini memerlukan rangsangan yang adekuat agar perkembangan potensi psikomotorik anak bisa optimal. Peningkatan potensi perkembangan psikomotorik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kesuksesan pengajaran. Dengan peningkatan kemampuan motorik, anak akan mampu menerima pengajaran pengajaran sesuai dengan batasan batasan jenjang pendidikanya.


Sub Unit 5-2
Peningkatan Potensi Moral dan Emosional

A.1. Konsep Peningkatan Potensi Moral
Pendidikan moral perlu dilaksanakan secara komprehensif dengan menggunakan strategi dan model pendekatan terpadu, yaitu melibatkan semua unsur yang terkait dalam proses pembelajaran dan pendidikan. Semua unsur pendidik seperti guru, kepala sekolah orang tua murid dan tokoh-tokoh masyarakat harus berkontribusi dalam pendidikan moral. Tujuan pendidikan moral tidak hanya menguasai konsep-konsep moral, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan atau perilaku moral (Lickona, 1992). Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan upaya untuk meningkatkan potensi moral anak.

Dalam upaya untuk meningkatkan kematangan moral dan pembentukan karakter siswa, maka penyajian materi pendidikan moral  hendaknya dilaksanakan secara terpadu kepada semua pelajaran dengan melibatkan semua guru, kepala sekolah, orang tua murid dan bila perlu juga melibatkan tokoh-tokoh masyarakat sekitar.

Untuk mengembangkan strategi dan model pembelajaran terpadu, diperlukan adanya analisis kebutuhan (needs assessment) pendidikan moral. Dalam kaitan ini diperlukan adanya serangkaian kegiatan, antara lain :

(1) mengidentifikasikan isu-isu sentral yang bermuatan moral dalam masyarakat untuk dijadikan bahan kajian dalam proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode klarifikasi nilai,

(2) mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan siswa dalam pembelajaran pendidikan moral agar 
tercapai kematangan moral yang komprehensif yaitu kematangan dalam pengetahuan moral perasaan moral, dan tindakan moral,

(3) mengidentifikasi dan menganalisis masalah-masalah dan kendala-kendala instruksional yang dihadapi oleh para guru di sekolah dan para orang tua murid di rumah dalam usaha membina perkembangan moral siswa, serta berupaya memformulasikan alternatif pemecahannya,

(4) mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai-nilai moral yang inti dan universal yang dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam proses pendidikan moral,

(5) mengidentifikasi sumber-sumber lain yang relevan dengan kebutuhan belajar pendidikan moral.

A.2. Mengembangkan Potensi Moral Pada Anak
Pengembangan moral anak dimulai dari pendidikan di rumah. Di rumah sebaiknya orang tua memberikan pembelajaran tentang moral sejak masih kecil agar anak tersebut tumbuh dengan moral yang baik. Sikap positif dari ayah ibu bisa juga diperlihatkan saat menolong orang lain yang sedang mengalami kesulitan. Selanjutnya perhatikan juga seberapa konsisten ayah ibu menerapkan batasan dan aturan sesuai norma-norma yang berlaku. Apakah batasan dan aturan tersebut bisa dipahami anak? Untuk membuktikannya orang tua perlu mendengarkan percakapan anak dengan teman-temannya, apakah ia keluar dari aturan yang sudah dibuat atau malah menciptakan aturan sendiri.

Berangkat dari tanggungjawab tersebut, maka peranan orang tua menjadi penentu bagi perkembangan watak seorang anak baik dilihat dari sisi keagamaan, sosial maupun emosionalnya. Keluarga khususnya orang tua merupakan penanaman utama dasar-dasar moral bagi anak, yang biasanya tercermin dalam sikap dan prilaku orang tua sebagai suri tauladan yang dapat dicontoh anak. Jika contoh baik yang diperoleh oleh anak maka ia akan menjadi anak yang baik, tetapi jika contoh yang buruk yang diperoleh maka menjadi buruklah moral anak tersebut.

Segala nilai yang dikenal oleh anak baik yang diperoleh di keluarga maupun di sekolah akan melekat pada dirinya, dan akan menjadi bekal hidupnya kelak dalam bergaul. Nilai tersebut diperoleh oleh anak melalui peletakan dasar-dasar pendidikan sosial anak. Perkembangan benih-benih kesadaran sosial pada anak-anak dapat dipupuk sedini mungkin, terutama lewat kehidupan keluarga yang penuh rasa tolong menolong. Nilai lain yang perlu dikembangkan adalah gotong royong, bersama-sama menjaga ketertiban, kedamaian, kebersihan dan keserasian serta ikut menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar (Purwanto, 1985).

Menanamkan moral pada anak merupakan upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan praktek moral pada anak. Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan untuk menanamkan moral yang dibangun melalui kebiasaan-kebiasaan yang baik terhadap anak yaitu :

1.         Memberi contoh yang baik (tauladan)
Manusia belajar melalui contoh yang ada di sekitar mereka. Guru haruslah bisa memberikan contoh yang terbaik terhadap anak-anak didiknya. Tidak mungkin siswa menjadi pribadi yang baik jika guru tidak memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap mereka. Guru tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa dirinya menjadi tokoh model yang sedang ditiru oleh siswa, entah itu perilaku baik ataupun buruk. Menjadi contoh yang baik, adalah pekerjaan yang terpenting yang harus kita lakukan (Kartono, 1986).

2.         Memberikan reward (pujian)
Anak-anak akan senang jika gurunya memberikan hadiah karena telah melaksanakan perbuatan yang baik. Bisa jadi hadiah yang diberikan bukanlah berupa benda atau hal-hal yang besar. Akan tetapi yang utama adalah esensi dari pemberian reward itu yaitu untuk memberikan apresiasi terhadap apa yang kemudian dilakukan. Hadiah yang diberikan bisa dalam bentuk ucapan seperti bagus, well done, excelence dll. Hal inilah yang kemudian akan membuat anak melakukan hal yang diinginkan yaitu perikalu moral yang baik.

3.         Memberikan cerita yang bisa memotivasi
Banyak sekali buku-buku cerita yang kemudian bisa memotivasi anak untuk melakukan nilai-nilai kebaikan. Seperti cerita tentang bagaimana mendidik anak supaya gemar berinfaq, tidak jajan sembarangan, menghormati orang tua dll. Semua golongan usia masih suka mendengarkan cerita-cerita ataupun guyonan, apalagi anak-anak didik yang masih di tingkat SD. Oleh karena itu cerita dapat dijadikan media untuk menanamkan nilai moral pada anak.

4.         Mengingatkan pada setiap kesempatan
            Dengan memberikan pengingatan pada setiap kesempatan maka hal ini akan menjadi sebuah kebiasaan dalam kehidupan mereka. Mendidik adalah mengajarkan apa saja yang kemudian harus dicapai dan bisa diaplikasikan oleh peserta didik dalam keseharian mereka. Karena itu memberikan peringatan kepada mereka untuk melakukan nilai-nilai kebaikan merupakan upaya yang baik dalam menanamkan nilai moral. Selalu mengingatan pada setiap kesempatan akan membentuk pola kebiasaan dalam berperilaku. Kebiasaan akan menjadi sesuatu yang secara otomatis teraplikasikan dalam kehidupannya tanpa ada paksaan (Hardiwardoyo, 1990).

5.         Mengajak kepada sesuatu yang sifatnya riil
    Sesuatu yang sifatnya riil dalam pendidikan moral adalah praktek langsung dengan perbuatan nyata. Mengajak mereka dalam kegiatan baksos, menunjukkan bagaimana sikap dan tingkah laku kepada orang yang lebih tua atau yang lebih muda, lemah lembut dalam berkata dan hal-hal yang baik lainnya akan semakin membuat anak ingat untuk melakukan kebaikan itu didalam kehidupannya. Janganlah kita hanya berkata-kata saja terhadap mereka akan tetapi juga berikanlah contoh real/aksi nyata terhadap landasan teoritis dari apa yang kemudian kita lakukan  (Hardiwardoyo, 1990).

6.         Memberikan hukuman dengan kasih sayang.
Pelanggaran terhadap kesepakatan (tata tertib bersama) sering kita jumpai di lingkungan sekolah maupun keluarga. Pelanggaran ini ada yang sifatnya ringan, akan tetapi banyak juga yang menuju kepada pelanggaran berat. Dalam menegakkan pendidikan moral, maka sangat perlu ditunjukkan akibat dari pelanggaran tersebut, yaitu berlakunya sanksi atau hukuman. Dalam menerapkan hukuman maka diperlukan rambu-rambu yang memberikan arah sesuai dengan tujuan memberikan pendidikan moral pada anak. Hukuman yang mendidik adalah salah satu cara manusia untuk belajar. Anak-anak harus mengerti fungsi hukuman dan menyadari sumbernya bahwa hukuman adalah berasal dari cinta kasih orang tua. Oleh karena itulah maka hukuman tidak boleh diberikan secara berlebihan (Kartono, 1986).

B.1. Konsep Peningkatan Potensi Emosional
Konsep peningkatan potensi emosi sesungguhnya ekuivalen dengan mencerdasakan emosi. Kecerdasan emosi telah diakui sebagai kontributor utama kesuksesan hidup seseorang. Goleman (1995) mengidentifikasi bahwa 80% kesuksesan ditopang oleh kecerdasan emosi. Oleh karena itu upaya meningkatkan kecerdasan emosi merupakan hal penting dalam pengembangan potensi emosional peserta didik di sekolah. Pengembangan kecerdasan emosi disekolah dapat dilakukan melalui pengembangan kurikulum dan penciptaan situasi sekolah yang kondusif untuk pengembangan emosi peserta didik.

Kecerdasan emosi merupakan tahapan yang harus dilalui seseorang sebelum mencapai kecerdasan spiritual. Seseorang dengan Emotional Quotient (EQ) yang tinggi memiliki fondasi yang kuat untuk menjadi lebih cerdas secara spiritual. Seringkali kita menganggap bahwa emosi adalah hal yang begitu saja terjadi dalam hidup. Kita menganggap bahwa perasaan marah, takut, sedih, senang, benci, cinta, antusias, bosan, dan sebagainya adalah akibat dari atau hanya sekedar respons terhadap berbagai peristiwa yang terjadi pada kita.

Goleman (1995) mengemukakan kurikulum sekolah yang ditujukan untuk pengembangan emosi siswa. Beberapa ketrampilan emosional yang dapat dilatihkan di sekolah diantaranya adalah :

a.         Self awareness (kepekaan terhadap diri sendiri), ketrampilan ini diberikan dengan membahas kata-kata yang berkaitan dengan perasaan, hubungan antara pikiran dan perasaan di satu sisi dengan reaksi di pihak lain, peranan pikiran atau perasaan dalam bereaksi.

b.         Decission making (pembuatan keputusan), dimaksudkan untuk mempelajari tindakan dan konsekwensi yang mungkin timbul karena keputusan yang diambil untuk membiasakan seseorang mengadakan refleksi diri.

c.         Managing feeling (mengelola perasaan), yaitu memonitor perasaan (self talk atau gumaman) seseorang untuk menangkap perasaan perasaan negative, belajar menyadari timbulnya perasaan tertentu misalnya sakit hati yang membuat seseorang menjadi marah.

d.         Self concept (konsep diri), dimaksudkan untuk membangun kepekaan terhadap identitas diri yang kuat dan untuk mengembangkan menerima dan menghargai diri sendiri.

e.         Handling stress (penanganan stress), dengan melakukan kegiatan relaksasi, senam pernafasan, berimajinasi secara terarah atau berolah raga.

f.          Communication (komunikasi dengan orang lain), yaitu dengan berlatih mengirim pesan dengan menggunakan kata “saya”, belajar untuk tidak menyalahkan orang lain dan belajar menjadi pendengar yang baik.

g.         Group dynamic (dinamika kelompok), untuk membangun kerja sama, belajar menjadi pemimpin dan belajar menjadi pengikut yang baik.

h.         Conflict resolution (pemecahan konflik) belajar berkompetisi secara sehat dan menyelesaikan masalah dengan pendekatan saling menang (win-win resolution).

Dengan mengembangkan model tersebut diharapkan sekolah dapat memberikan perhatian yang tinggi dengan menciptakan suasana yang kondusif untuk penumbuhan kecerdasan emosi siswa didalam kelas. Sebagai catatan perlu diperhatikan bahwa kecerdasan emosi guru seharusnya lebih dahulu terbangun sebelum mengembangkan kecerdasan emosi siswa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam mengembangkan potensi emosi siswa, diperlukan 3 kegiatan, yaitu mengembangkan kecerdasan emosi guru, mengembangkan kecerdasan emosi siswa dan meningkatkan susasana atau lingkungan kelas yang kondusif.

B.2. Peran Lingkungan dalam Pengembangan Emosi
Manusia akan selalu mempunyai keterkaitan dengan lingkungan baik lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Mendesain lingkungan peserta didik menjadi lingkungan yang baik dalam memberikan pengalaman nyata untuk pengembangan emosi adalah suatu kebutuhan. Hal ini dikarenakan lingkungan merupakan faktor utama yang mempengaruhi potensi emosional peserta didik.

Lingkungan keluarga adalah lingkungan yang pertama dan utama dalam mengembangkan dan mencerdasakan emosi serta menanamkan nilai pada anak. Di lingkungan keluarga inilah maka potensi emosional peserta didik dapat ditingkatkan dengan menciptakan interaksi dan komunikasi antar anggota keluarga. Dalam komunikasi dan interaksi itulah terlibat atau terekspresikan emosi yang akan mewarnai keseharian. Misalnya dalam membangunkan anak, jika sudah dibiasakan bangun pagi anak-anak harus semangat dan tidak boleh malas-malasan maka pembiasaan ini akan mempengaruhi gairah hidup anak. Apalagi jika orang tua selalu memutarkan musik yang dapat mengiringi aktivitas pagi hari, maka pembentukan emosi anak untuk bersemangat setiap pagi dapat tercipta.

Lingkungan sekolah merupakan lingkungan yang berperan aktif dalam proses pembelajaran. Lingkungan sekolah terwujud dalam interaksi dan komunikasi antara peserta didik dan pendidik. Dalam upaya peningkatan potensi peserta didik utamanya dalam bidang emosional maka guru haruslah menciptakan pembelajaran yang menarik simpati peserta didik. Contoh kegiatan yang dapat meningkatkan potensi emosional peserta didik yaitu melaui diskusi yang menarik simpati dan mengajarkan sikap kekeluargaan. Guru dapat membantu mereka yang bertingkah laku kasar menjadi anak yang lebih tenang dan lebih mudah ditangani. Salah satu cara yang  mendasar adalah dengan mendorong mereka untuk bersaing dengan diri sendiri (Dinata, 2005).

Dalam diskusi kelas, perlu ditekankan pentingnya memperhatikan pandangan orang lain untuk mengembangkan/meningkatkan pandangan sendiri. Kita hendaknya waspada terhadap siswa yang sangat ambisius, berpendirian keras, dan kaku yang suka mengintimidasi kelasnya sehingga tidak ada seseorang yang berani tidak sependapat dengannya atau menantangnya (Sunarto, 1999). Sementara itu lingkungan di luar kelas dapat memberikan tantangan dalam pengendalian emosi peserta didik serta dapat mengajarkan sikap kebersamaan, tanggung jawab dan gotong royong.

Lingkungan masyarakat yang bernuansa kekerasan dapat membentuk perilaku emosi anak yang keras pula. Begitu sebaliknya, lingkungan masyarakat yang ramah dan santun, mendorong warganya untuk berprestasi (misalnya slogan kota A adalah kota prestasi), maka hal itupun akan mendorong warganya untuk berperilaku sebagaimana yang menjadi slogan masyarakatnya. Beberapa penelitian memang telah membuktikan bahwa lingkungan masyarakat dengan karakter yang melekat padanya, akan mempengaruhi perilaku dan emosi anak.

Lingkungan masyarakat mempengaruhi kehidupan sehari-hari peserta didik utamanya dari segi emosional. Untuk itu perlu diadakan beberapa kegiatan yang dapat mempengaruhi peningkatan emosional peserta didik melalui lingkungan masyarakat. Misalnya :

a). Mengenalkan organisasi-organisasi sosial yang ada di masyarakat sekitar tempat tinggal peserta didik,

b). Mengenalkan kebudayaan termasuk kesenian yang ada disekitar tempat tinggal peserta didik,

c). Menjadikan lingkungan masyarakat sebagai tempat pendidikan emosi, dengan mengembangkan slogan atau kampanye pembentukan perilaku yang baik. Hal ini dapat dilakukan dengan memasang slogan yang mendidik (misalnya “Puasa Mengendalikan Sifat Amarah dan Rakus”) di tempat strategis.

C.1.Rangkuman
Dalam mengembangkan potensi moral pada anak sebaiknya orang tua memberikan pembelajaran tentang moral sejak masih kecil agar anak tersebut tumbuh dengan moral yang baik. Prinsip dalam pengembangan moral adalah menumbuhkan kesadaran dan penalaran moral peserta didik. Sebab betapapun bermanfaatnya suatu perilaku moral terhadap nilai kemanusiaan, namun jika perilaku tersebut tidak disertai dan didasarkan pada penalaran moral, maka perilaku tersebut belum dapat dikatakan sebagai perilaku moral yang mengandung nilai moral. Dengan demikian, suatu perilaku moral dianggap memiliki nilai moral jika perilaku tersebut dilakukan secara sadar atas kemauan sendiri dan bersumber dari pemikiran atau penalaran moral yang bersifat otonom (Kohlberg, 1971). Penumbuhan kesadaran ini dapat dilaksanakan melalui pendidikan moral dan agama dan dilakukan sejak kecil di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat secara terpadu.

Konsep secara umum untuk memanfaatkan potensi emosional agar berdampak positif terhadap lingkungan melalui dua dimensi yaitu mengendalikan emosi dan disiplin. Mengendalikan emosi berarti seseorang mampu mengenali/memahami serta mengelola emosinya, sedangkan kedisiplinan adalah melakukan hal-hal yang harus dilakukan secara ajeg dan teratur dalam upaya mencapai tujuan atau sasaran kita. Lingkungan memiliki peran yang penting bagi pengembangan emosi anak. Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat memberikan kontribusi pada penyediaan pengalaman langsung untuk pengembangan emosi peserta didik. Dengan demikian terdapat kepentingan untuk mendesain lingkungan agar memberikan pengalaman yang baik dalam pengembangan emosi peserta didik.




Sub Unit 5-3
Konsep Peningkatan Potensi Sosial dan Bahasa

A.1. Konsep Peningkatan Potensi Sosial
Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial (Hurlock, 1990). Tuntutan sosial pada perilaku sosial anak tergantung dari perbedaan harapan dan tuntutan budaya dalam masyarakat tempat anak tumbuh-kembang, serta usia dan tugas perkembangannya. Setiap masyarakat memiliki harapan sosial sesuai budaya masyarakat tersebut. Pada masyarakat pedesaan, anak usia 4-5 tahun tidak mesti masuk Taman Kanak-Kanak. Tetapi, budaya masyarakat kota menuntut anak usia tersebut bersekolah di TK.
Belajar hidup bermasyarakat memerlukan sekurangnya tiga proses berikut.

1.         Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial. Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang perilaku yang dapat diterima dalam kelompok tersebut. Agar dapat diterima dalam kelompok, maka para anggota termasuk peserta didik dalam usia apapun harus menyesuaikan perilakunya dengan standar kelompok tersebut.

2.         Memainkan peran sosial yang dapat diterima. Agar dapat diterima dalam kelompok selain dapat menyesuaikan perilaku dengan standar kelompok, peserta didik juga dituntut untuk memainkan peran sosial dalam bentuk pola-pola kebiasaan yang telah disetujui dan ditentukan oleh para anggota kelompok. Misalnya, ada peran yang telah disetujui bersama bagi orang tua dan anak, serta peran bagi guru dan siswa.

3.         Perkembangan sikap sosial. Untuk dapat bergaul dalam masyarakat, peserta didik juga harus menyukai orang lain atau terlibat dalam aktivitas sosial tertentu. Jika anak dapat melakukannya dengan baik, maka ia dapat melakukan penyesuaian sosial yang baik dan diterima sebagai anggota kelompok

Peserta didik dapat melakukan sosialisasi dengan baik apabila sikap dan perilakunya mencerminkan ketiga proses sosialisasi tersebut sehingga dapat diterima sesuai dengan standar atau aturan kelompok tempat peserta didik menggabungkan diri. Apabila perilaku peserta didik tidak mencerminkan ketiga proses sosialisasi tersebut, maka ia dapat berkembang menjadi orang yang nonsosial (perilaku tidak sesuai dengan norma kelompok), asosial (tidak mengetahui tuntutan kelompok sosial terhadap perilakunya), bahkan sampai antisosial (bersikap permusuhan dan melawan standar dalam kelompok sosial).

A.2. Cara Peningkatan Potensi Sosial
Para ahli pendidikan menegaskan, ada dua cara untuk menanamkan nilai-nilai sosial dalam pendidikan. Pertama, melalui proses belajar sosial (social learning) atau sosialisasi. Kedua melalui kesetiaan sosial yaitu dengan memainkan peran sosial sesuai dengan nilai yang dianut di masyarakat.

1.Belajar Sosial
Belajar sosial berarti belajar memahami dan mengerti tentang perilaku dan tindakan  masyarakat. Peserta didik diajarkan mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola nilai dan tingkah laku dengan standar tingkah laku dimana ia hidup. Selanjutnya,  semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu, menjadi bagian integratif peserta didik dengan masyarakat. Proses seperti inilah yang dapat menumbuhkan kecakapan sosial peserta didik.

2.Pembentukan Kesetiaan Sosial
            Melalui proses pembentukan kesetiaan sosial (formation of social loyalities). perkembangan kesetiaan sosial ini muncul berkat kesadaran peserta didik terhadap kehidupan ditengah-tengah masyarakat.             Masyarakat merupakan sumber kesetiaan bagi anggotanya. Sebab-sebab munculnya kesetiaan sosial diantaranya adalah partisipasi sosial, komunikasi dan kerjasama individu dalam kehidupan kelompok. Peserta didik yang hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara spontan diterima sebagai anggota baru. Sebagai anggota baru, peserta didik belum mengetahui pola dan system perilaku orang yang ada di sekelilingmya. Contoh sederhananya adalah seperti pada kasus anak yang baru bisa berjalan, setiap anggota masyarakat menyapa, menggandeng dan ikut membantu berjalan anak. Respon anak adalah kemesraan dan afeksi  (kepuasan) sehingga berjumpa lagi dengan orang tersebut si anak langsung tersenyum dan bergerak mendekatinya.

Bentuk kesetiaan sosial berkembang menjadi semakin komplek kepada kelompok yang makin besar. Kesetiaan sosial dimulai dari keluarga, teman sebaya dan sekolah. Biasanya kelompok ini disebut dengan kelompok primer, dimana setiap anggota kelompok dapat berinteraksi secara langsung dan face to face. Kemudian kesetiaan sosial berkembang seiring dengan perkembangan kedewasaan peserta didik, semakin dewasa peserta didik semakin berkembang kesetiaan sosialnya kepada kelompok pekerjaan, kelompok agama, perkumpulan (organisasi), baik kemasyarakatan maupun bangsa. Perkembangan yang lebih luas dan besar ini disebut lingkungan sekunder, dimana seluruh anggota kelompok mencerminkan seorang individu yang komplek.

A.3. Pengembangan Kecerdasan Sosial
Dalam mengembangkan kecerdasan sosial ada beberapa teknik yang sering dipakai diantanya adalah sebagai berikut:

a.         Teknik Sosialisasi
Pada dasarnya, sosialisasi memberikan dua kontribusi fundamental bagi kehidupan kita. Pertama, memberikan dasar atau fondasi kepada individu bagi terciptanya partisipasi yang efektif dalam masyarakat, dan kedua memungkinkan lestarinya suatu masyarakat–karena tanpa sosialisasi akan hanya ada satu generasi saja sehingga kelestarian masyarakat akan sangat terganggu. Contohnya, masyarakat Sunda, Jawa, Batak, dan sebagainya. akan lenyap manakala satu generasi tertentu tidak mensosialisasikan nilai-nilai kesundaan, kejawaan, kebatakan kepada generasi berikutnya. Agar dua hal tersebut dapat berlangsung maka ada beberapa kondisi yang harus ada agar proses sosialisasi terjadi. Pertama adanya warisan biologikal, dan kedua adalah adanya warisan sosial (Sudjana, 1993).

Sosialisasi juga menuntut adanya lingkungan yang baik yang menunjang proses tersebut, di mana termasuk di dalamnya interaksi sosial. Kasus di bawah ini dapat dijadikan satu contoh tentang pentingnya lingkungan dalam proses sosialisasi. Susan Curtiss (1977) menaruh minat pada kasus anak yang diisolasikan dari lingkungan sosialnya. Pada tahun 1970 di California ada seorang anak berusia tigabelas tahun bernama Ginie yang diisolasikan dalam sebuah kamar kecil oleh orang tuanya. Dia jarang sekali diberi kesempatan berinteraksi dengan orang lain. Kejadian ini diketahui oleh pekerja sosial dan kemudian Ginie dipindahkan ke rumah sakit, sedangkan orang tuanya ditangkap dengan tuduhan melakukan penganiayaan dengan sengaja. Pada saat akan diadili ternyata ayahnya bunuh diri.

Sosialisasi melibatkan proses pembelajaran. Pembelajaran tidak sekedar di sekolah formal, melainkan berjalan di setiap saat dan di mana saja. Belajar atau pembelajaran adalah modifikasi perilaku seseorang yang relatif permanen yang diperoleh dari pengalamannya di dalam lingkungan sosial/fisik. Seseorang selalu mengucapkan salam pada saat bertemu orang lain yang dikenalnya; perilaku tersebut merupakan hasil belajar yang diperoleh dari lingkungan dimana dia dibesarkan.

Berdasarkan teori pembelajaran sosial, pembelajaran terjadi melalui dua cara. (1) dikondisikan, dan (2) meniru perilaku orang lain. Tokoh utama pendekatan pertama adalah B.F. Skinner (1953), yang terkenal dengan konsep operant conditioning – Berdasarkan berbagai percobaan melalui tikus dan merpati, Skinner memperkenalkan konsepnya tersebut. Perilaku yang sekarang ditampilkan merupakan hasil konsekuensi positif atau negatif dari perilaku yang sama sebelumnya. Seorang anak rajin belajar karena memperoleh hadiah dari orang tuanya. Seorang murid yang mempeoleh nilai baik, dipuji-puji didepan orang banyak. Memuji, memberi imbalan, merupakan cara untuk memunculkan bentuk perilaku tertentu. Memarahi, memberi hukuman, merupakan cara untuk menghilangkan perilaku tertentu. Dengan demikian jika generasi awal ingin melestarikan berbagai bentuk perilaku kepada generasi sesudahnya, maka kepada setiap perilaku yang dianggap perlu dilestarikan harus diberikan imbalan. Seorang anak diminta berdoa sebelum makan, dan setelah selesai berdoa, orang tuanya memujinya.

b.         Teknik SPACE
Albrecht dalam bukunya The New Science of Success  menyebutkan lima elemen kunci yang bisa mengasah kecerdasan sosial kita, yang ia singkat menjadi kata SPACE. Elemen pertama adalah kata S yang merujuk pada kata situational awareness (kesadaran situasional). Makna dari kesadaran ini adalah sebuah kehendak untuk bisa memahami dan peka akan kebutuhan serta hak orang lain. Orang yang tanpa rasa dosa mengeluarkan gas di lift yang penuh sesak itu pastilah bukan tipe orang yang paham akan makna kesadaran situasional. Demikian juga orang yang merokok di ruang ber AC atau yang merokok di ruang terbuka dan menghembuskan asap secara serampangan pada semua orang disekitarnya.

Elemen yang kedua adalah presense (atau kemampuan membawa diri). Meliputi etika penampilan seseorang, tutur kata dan sapa yang seseorang bentangkan, gerak tubuh ketika bicara dan mendengarkan adalah sejumlah aspek yang tercakup dalam elemen ini. Setiap orang pasti akan meninggalkan impresi yang berlainan tentang mutu presense yang dihadirkannya. Seseorang tentu bisa mengingat siapa rekan atau atasan yang memiliki kualitas presense yang baik dan mana yang buruk.

Elemen yang ketiga adalah authenticity (autensitas) atau sinyal dari perilaku kita yang akan membuat orang lain menilai kita sebagai orang yang layak dipercaya (trusted), jujur, terbuka, dan mampu menghadirkan sejumput ketulusan. Elemen ini amat penting sebab hanya dengan aspek inilah kita bisa membentangkan berjejak relasi yang mulia nan bermartabat.

Elemen yang keempat adalah clarity (kejelasan). Aspek ini menjelaskan sejauh mana seseorang dibekali kemampuan untuk menyampaikan gagasan dan ide secara renyah dan persuasif sehingga orang lain bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Seringkali seseorang memiliki gagasan yang baik, namun gagal mengkomunikasikannya secara cantik sehingga atasan atau rekan kerja kita tidak berhasil diyakinkan. Kecerdasan sosial yang produktif hanya akan bisa dibangun manakala seseorang mampu mengartikulasikan segenap pemikiran dengan penuh kejernihan.

Elemen yang terakhir adalah empathy (atau empati). Aspek ini merujuk pada sejauh mana kita bisa berempati pada pandangan dan gagasan orang lain. Dan juga sejauh mana kita memiliki ketrampilan untuk bisa mendengarkan dan memahami maksud pemikiran orang lain. Kita barangkali akan bisa merajut sebuah jalinan relasi yang guyub dan meaningful kalau saja kita semua selalu dibekali dengan rasa empati yang kuat  terhadap sesama rekan kita.

B.1. Konsep Peningkatan Potensi Bahasa
Sesuai dengan fungsinya, bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh seseorang dalam pergaulannya atau hubungan dengan orang lain. Bahasa merupakan alat bergaul dan bersosialisasi. Oleh karena itu, penggunaan bahasa menjadi efektif sejak seorang individu memerlukan berkomunikasi dengan orang lain. Komunikasi merupakan sarana peningkatan kemampuan berbahasa. Dalam berkomunikasi, maka dapat dilakukan dengan bahasa yang dalam wujudnya dapat berupa bahasa lisan, bahasa tulis atau bahasa isyarat. Akan tetapi kita juga mengenal bahasa dalam perwujudannya sebagai struktur, mencakup strukur bentuk dan makna. Dengan menggunakan kedua wujud bahasa itu, manusia saling berkomunikasi satu sama lain, sehingga dapat saling berbagi pengalaman dan saling belajar untuk meningkatkan intelektual (Depdiknas, 2003).

Berdasarkan wujud dari bahasa tersebut, maka cara atau metode yang dilakukan untuk meningkatkan potensi bahasa peserta didik antara lain:

1. Metode Bercerita
Pengertian metode bercerita menurut Winda Gunarti (2008 : 5.3) adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang untuk menyampaikan suatu pesan, informasi atau sebuah dongeng yang bisa dilakukan secara lisan atau tertulis. Bercerita sangat bermanfaat untuk pembentukan kemampuan berbahasa pada anak-anak, disamping itu bercerita juga dapat digunakan untuk membentuk kepribadian anak.

Sebagai metode peningkatan kemampuan berbahasa, maka bercerita dapat digunakan untuk melatih kemampuan berbicara atau kemampuan menulis. Cerita adalah sarananya. Sebagai sarana peningkatan kemampuan berbahasa, bangsa Indonesia memiliki perbendaharaan cerita yang kaya raya. Cerita rakyat yang hidup di setiap suku bangsa kita dapat menjadi bahan untuk ditulis ulang oleh anak-anak kita. Cerita tersebut juga dapat diceritakan kembali secara lisan oleh anak-anak di depan kelas. Jika siswa sudah dibiasakan untuk menulis cerita atau menyampaikan cerita secara lisan di depan kelas, maka anak akan terbiasa menyampaikan pendapat, gagasan atau pemikiran.

Bercerita bukanlah suatu yang berakibat pada pembentukan ketrampilan berbahasa saja. Dipandang dari isinya (pesan dari cerita), maka cerita berpengaruh amat besar dalam jangka panjang bagi pembentukan kepribadian siswa, sampai–sampai dikatakan menjadi faktor dominan bagi bangunan karakter manusia di suatu bangsa.

2. Metode Membaca
Membaca merupakan salah satu kompetensi dalam perkembangan bahasa. Berlatih membaca merupakan unsur peningkatan kemampuan berbahasa. Kemampuan membaca yang bak memberikan indikasi pada kemampuan bahasa yang baik pula. Disamping itu membaca merupakan salah satu aktifitas yang penuh manfaat dalam kehidupan kita. Membaca dapat memberikan kita informasi tentang segala macam fenomena kehidupan.

Tujuan membaca yang penting adalah memberikan pemahaman. Siswa SD mungkin dapat dengan mudah mendapatkan informasi dari bahan  bacaan tapi seringkali mereka kesulitan dalam memahami bahan bacaan tersebut. Dalam rangka peningkatan keterampilan membaca siswa, perlu dikenali kategorisasi dalam ketrampilan membaca. Tingkat membaca mengacu pada tingkatan (rendah atau tinggi) keterampilan membaca. Tingkatan kemampuan dalam membaca tersebut yaitu membaca dasar, membaca inspeksional, membaca analitis, dan membaca sintopikal.

Tingkat pertama disebut membaca dasar. Artinya lebih mengarah pada proses membaca permulaan. Dalam tahap ini maka membuat orang yang tadinya tidak bisa membaca menjadi bisa membaca. Tingkatan ini biasanya dipelajari di sekolah dasar kelas rendah. Pada tingkat ini pembaca hanya dituntut untuk mengajukan pertanyaan “Apakah yang disampaikan oleh kalimat itu?”. Tingkat membaca dasar ini sepertinya sudah dikuasai oleh siswa SD, walaupun sering mengalami kesulitan ketika menghadapi teks bahasa asing. Dengan menguasai tingkat ini siswa akan membaca lebih cepat dari biasanya.

Tingkat kedua yaitu membaca inspeksional. Selama ini kita mungkin lebih sering mendengar istilah “skimming” dari pada istilah ini. Membaca inspeksional memang merupakan tingkatan membaca yang ditujukan untuk menemukan yang terbaik dari sebuah buku dalam waktu yang relative singkat. Dalam tingkat kedua ini pembaca dituntut untuk mengajukan pertanyaan  “apa isi/perihal buku itu?” pertanyaan lain adalah “Bagaimanakah struktur buku itu?”.

Tingkat membaca ketiga yaitu membaca analitis. Membaca analitis ini relative lebih sulit dan kompleks dibandingkan dengan dua tingkatan sebelumnya. Namun kesulitan ini bergantug pada buku yang kita baca. Tujuan membaca analitis ini adalah untuk mendapatkan pemahaman. Buku ini mengungkapkan bahwa membaca analitis berarti membaca menyeluruh, membaca lengkap atau membaca dengan baik. Pada tingkat ini pula pembaca harus mengajukan pertanyaan dalam jumlah banyak dan lebih mendetail dibandingkan dengan dua level membaca sebelumnya. Oleh sebab itu, membaca analitis ini pasti akan membutuhkan waktu yang relative lama.

Tingkat membaca yang terakhir adalah membaca sintopikal. Membaca sintopikal ini merupakan level membaca paling tinggi karena paling kompleks dan sistematis. Tingkat ini bisa juga disebut membaca komparatif. Membaca banyak buku dan membandingkan topik yang satu dengan topik lain dan menghubungkannya. Manfaat dari membaca sintopikal yaitu peserta didik bisa membuat suatu analisis topik yang mungkin tidak dinyatakan secara eksplisit oleh buku apa pun di antara buku yang dibaca.

Setelah siswa kita menguasai keempat level membaca ini, siswa kita akan mendapatkan manfaat luar biasa dari aktifitas membaca itu sendiri. Tidak hanya sekedar mendapatkan hiburan tapi juga informasi dan pemahaman yang komprehensif atas suatu buku.

3.  Metode Mendengarkan
            Mendengar adalah bagian penting dari berbahasa, dengan mendengar maka orang dapat berbicara dan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulis. Mendengar merupakan cara yang baik untuk mengembangkan kemampuan bahasa. Mendengar dengan baik dan teliti harus dilatihkan kepada peserta didik sejak SD kelas rendah, misalnya dengan memahami bunyi bahasa, perintah, dan  dongeng yang dilisankan. Berikutnya dengan membedakan berbagai bunyi bahasa, yaitu dengan melaksanakan sesuatu sesuai dengan perintah atau petunjuk sederhana misalnya menyebutkan  tokoh-tokoh dalam cerita yang baru saja dibacakan oleh guru didepan kelas.

Di SD kelas tinggi, peningkatan potensi mendengar dapat dilakukan dengan memahami teks dan cerita anak yang dibacakan oleh teman atau guru, kemudian peserta didik diminta menulis hal-hal penting/pokok dari suatu teks yang dibacakan. Peserta didik diminta mengidentifikasi tokoh, watak, latar, tema atau amanat dari cerita anak yang dibacakan. Teknik lainnya adalah dengan memahami wacana lisan tentang berita  dan drama pendek dan siswa diminta menyimpulkan isi berita yang didengar dari televisi atau radio atau diminta menceritakan isi drama pendek yang disampaikan secara lisan.

4.         Menulis
            Kemampuan menulis merupakan gabungan dari perkembangan motorik halus, kognitif dan bahasa anak. Kemampuan ini dapat ditumbuhkan sejak peserta didik di SD kelas rendah. Di SD kelas rendah peningkatan potensi menulis dapat dilakukan dengan menyalin puisi anak dengan huruf tegak bersambung, menulis permulaan dengan menjiplak, menebalkan, mencontoh, melengkapi, dan menyalin.  Menjiplak berbagai bentuk gambar, lingkaran, dan bentuk huruf dapat dilakukan dengan menebalkan berbagai bentuk gambar, lingkaran, dan bentuk huruf, mencontoh huruf, kata, atau kalimat sederhana  dari buku atau papan tulis dengan benar atau melengkapi kalimat yang belum selesai berdasarkan gambar. Berikutnya dilanjutkan dengan menyalin puisi anak sederhana dengan huruf lepas. Menulis permulaan dengan huruf tegak bersambung melalui kegiatan dikte dan menyalin.  Menulis kalimat sederhana yang didiktekan guru dengan huruf  tegak bersambung juga merupakan upaya yang bagus untuk mengembangkan siswa SD kelas rendah.

Di SD kelas tinggi, pembelajaran menulis dapat dilakukan dengan meminta peserta didik untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, dan fakta secara tertulis dalam bentuk ringkasan, laporan, dan puisi bebas. Siswa SD kelas tinggi juga dapat dilatih meringkas isi buku yang dipilih sendiri  dengan memperhatikan penggunaan ejaan atau menulis laporan pengamatan atau kunjungan berdasarkan tahapan (catatan, konsep awal, perbaikan, final) dengan memperhatikan penggunaan ejaan. Berikutnya siswa dikembangkan kemampuanya untuk menulis puisi bebas dengan pilihan kata yang tepat.

Bersamaan dengan peningkatan kemampuan menuliskan laporan, siswa SD kelas tinggi juga perlu dilatih untuk mampu menulis sesuatu yang terkait dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Seperti mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi secara tertulis dalam bentuk formulir, ringkasan, dialog, dan parafrase. Hal ini dapat dilakukan dengan mengisi formulir (pendaftaran, kartu anggota, wesel pos, kartu pos,  daftar riwayat hidup, dll.) dengan benar. Kemudian juga membuat ringkasan dari teks yang dibaca atau yang didengar. Menyusun percakapan tentang berbagai topik dengan memperhatikan penggunaan ejaan. Mengubah puisi ke dalam bentuk prosa dengan tetap memperhatikan makna puisi. Disamping itu kemampuan menulis siswa dapat dilakukan dengan mengungkapkan pikiran dan informasi secara tertulis dalam bentuk naskah pidato dan surat resmi. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan memberikan tugas untuk menyusun naskah pidato/sambutan (perpisahan, ulang tahun, perayaan sekolah, dll.)  dengan bahasa yang baik dan benar, serta  memperhatikan penggunaan ejaan. Disamping itu siswa juga dapat ditugaskan untuk menulis surat resmi dengan memperhatikan pilihan kata sesuai dengan orang yang dituju

5. Berbicara di depan Umum
            Berbicara di depan umum adalah mengutarakan pendapat dan inspirasi yang ada dalam pikiran secara lisan di depan orang banyak. Bagi sebagian orang berbicara di depan umum tidaklah mudah kecuali bagi orang yang sudah terbiasa atau pandai dalam berkomunikasi. Orang yang mudah dan sering berbicara di depan umum berarti orang tersebut memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi (Tarigan, Henri.1985). Kecerdasan linguistik dalam aspek berbicara ini dapat ditumbuhkan sejak SD kelas rendah. Di SD kelas rendah kemampuan ini dapat ditumbuhkan melalui kegiatan mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi, secara lisan dengan perkenalan dan tegur sapa, pengenalan benda dan fungsi anggota tubuh, dan deklamasi.

Memperkenalkan diri sendiri dengan kalimat sederhana dan bahasa yang santun dapat dilakukan dengan menyapa orang lain dengan menggunakan kalimat sapaan yang tepat dan bahasa yang santun.             Mendeskipsikan benda-benda di sekitar dan fungsi anggota tubuh dengan kalimat sederhana dan mendeklamasikan puisi anak dengan lafal dan intonasi yang sesuai. Berikutnya dikembangkan dengan mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi secara lisan dengan gambar, percakapan sederhana, dan dongeng. 

Di SD kelas 3 pengembangan kemampuan berbicara dapat dilakukan dengan menjelaskan isi gambar tunggal atau gambar seri  sederhana dengan bahasa yang mudah dimengerti. Hal ini dapat dilakukan dengan tugas melakukan percakapan sederhana dengan menggunakan kalimat dan kosakata yang sudah dikuasai. Menyampaikan rasa suka atau tidak suka  tentang suatu hal atau kegiatan dengan alasan sederhana atau memerankan  tokoh dongeng atau cerita rakyat yang disukai dengan ekspresi yang sesuai.

Di SD kelas tinggi pengembangan kemampuan berbicara dapat dilakukan dengan meminta siswa untuk memberikan informasi dan tanggapan secara lisan. Menyampaikan pesan/informasi yang diperoleh dari berbagai media dengan bahasa yang runtut, baik dan benar. Menanggapi (mengkritik/memuji) sesuatu hal disertai alasan dengan menggunakan bahasa yang santun. Mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dengan berpidato, melaporkan isi buku, dan baca puisi. Berpidato atau presentasi untuk berbagai keperluan (acara perpisahan, perayaan ulang tahun, dll.) dengan lafal, intonasi, dan sikap yang tepat. Melaporkan isi  buku  yang dibaca (judul, pengarang, jumlah halaman, dan isi) dengan kalimat yang runtut atau dengan membacakan puisi karya sendiri  dengan ekspresi yang tepat.

C.1.Rangkuman
Para ahli pendidikan menegaskan, ada dua cara untuk menanamkan nilai-nilai sosial dalam pendidikan. Pertama, melalui proses belajar sosial (proces of learning) atau sosialisasi dan kedua melalui proses perlekatan social (kesetiakawanan social). Belajar social berarti belajar memahami dan mengerti tentang perilaku dan tindakan  masyarakat. Melalui proses pembentukan kesetiaan sosial (formation of social loyalities), perkembangan kesetiaan sosial ini muncul berkat kesadaran peserta didik terhadap kehidupan ditengah-tengah masyarakat.

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh seseorang dalam pergaulannya atau hubungan dengan orang lain. Bahasa merupakan alat bergaul dan bersosialisasi. Oleh karena itu, penggunaan bahasa menjadi efektif sejak seorang individu memerlukan berkomunikasi dengan orang lain.

Bahasa dalam perwujudannya merupakan struktur, mencakup strukur bentuk dan makna. Dengan bahasa, segala ilmu pengetahuan yang diciptakan atau ditemukan manusia dapat disebarluaskan kepada orang lain, ke daerah lain untuk kepentingan kesejahteraan manusia secara umum. Cara yang dilakukan untuk meningkatkan potensi bahasa seseorang adalah dengan pengembangan kemampuan bercerita, menyimak, membaca, dan menulis. Bercerita adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang untuk menyampaikan suatu pesan, informasi atau sebuah dongeng belaka, yang bisa dilakukan secara lisan atau tertulis. Membaca merupakan salah satu aktifitas yang penuh manfaat dalam kehidupan kita. Membaca dapat memberikan kita informasi tentang segala macam fenomena kehidupan.



 DAFTAR PUSTAKA
1.      Anonim. 1992. Pendidikan Dalam Berbagai Prespektif. Malang: Komunikasi Koran Kampus  IKIP Malang
2.      Anonim.  Kecerdasan Sosial. 1998. http://www.uad.ac.id/in/berita-kemahasiswaan/98.html
3.      Anonimous 2008 Perkembangan, Pengukuran dan Proses Moral.
5.      Beerling, F, 1951, Filsafat Dewasa Ini. Jakarta: Balai Pustaka.
6.      Barokah, Siti. 2008. Moralitas Peserta Didik Pada PendidikanIinklusif. Semarang : IAIN  Walisongo.
7.      Crain, William C. (1985). Theories of Development, 2Rev Ed, Prentice-Hall.
8.      Deborah k. Parker.2006 Menumbuhkan Kemandirian dan Harga Diri Anak. Jakarta
9.      Ellis, Rod.1997. Second Lenguage Acquisition. New York: Oxford University Press
10.  Fadhililahi, Prof.Dr. Muhammad SAW Sang Guru yang Hebat. Surabaya: La Raiba Bima  Amanta (eLBA)
11.  Effendi, Muhadjir, A. Malik. 1996. Dunia Perguruan Tinggi. Malang: UMM Press
13.  http://www.w3.org/1999/xhtml">
17.  Hidayati, Thantien. 2008. Student Report Cards (SRC) Sebagai Sarana Internalisasi  Pendidikan Nilai Pada Lembaga Pendidikan Formal. Universitas Muhammadiyah Malang.
18.  Joesoef, Soelaiman, Slamet, Santoso. 1981. Pengantar Pendidikan Sosial. Surabaya: Usaha  Nasional.
19.  Kohlberg, Lawrence (1973). "The Claim to Moral Adequacy of a Highest Stage of Moral  Judgment". Journal of Philosophy 70: 630-646.
20.  Kohlberg, Lawrence (1981). Essays on Moral Development, Vol. I: The Philosophy of Moral Development.
21.  Nasution, 1983, Sosiologi Pendidikan, Bandung, JEMMARS
22.  Nurdin, Syafrudin. 2005. Model Pembelajaran Yang Memperhatikan Keragaman Individu  Siswa dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Quantum Teaching
24.  Piaget, Jean (1932). The moral Judgment of the Child. London: Kegan Paul, Trench, Trubner and Co.
25.  Rizky, Pasted Psikologi Ilmu Perkembangan Moral. 2009
26.  Sumantin, Mulyani dan Nana Syaodih, 2006, Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Universitas Terbuka Indonesia
27.  Sulistyowati. Jurus Jitu Dalam Bergaul. 2009.
29.  Taningsih.2005. Membangkan Kemampuan Bahasa Anak Usia (4-6 Tahun) Melalui Bercerita
30.  Bustami,Fidel.2005. Mengembangkan Potensi Diri.
31.  Dr. Suroso. 2008 http://suroso.web.id/?p=59
32.  Kartono,Kartini.1990.Psikologi Anak.Bandung: Mandar maju
33.  Hurlock,Elizabeth B.1978.Perkembangan Anak.Jakarta:Erlangga
34.  Lyster, Solveig-Alma H.2000.Bahasa Dan Membaca.

35.  Slyva, Kathy, Ingrid Lunt.1981. Perkembangan Anak.Jakarta:Arcan

No comments:

Klasifikasi Bunyi

  Klasifikasi Bunyi A.     Vokal dan Konsonan Pada umumnya bunyi bahasa dibedakan atas vokal dan konsonan. Bunyi vokal dihasilkan den...