Sunday, December 16, 2012

Video Inspiration


Sastra Sebagai Suatu Pemberi Kebenaran


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
     Ketika kita membaca suatu karya sastra sepertinya kita tengah berada di tempat cerita itu berlangsung dan seolah-olah ikut secara aktif mengalami atau setidaknya menyaksikan peristiwa-peristiwa yang dinarasikan oleh penulisnya.
     Kenyataan-kenyataan yang digambarkan berhasil menyedot perhatian kita untuk tetap menyimak jalan cerita. Seakan-akan kita tak mau ketinggalan barang sedetik pun kejadian-kejadian yang sedang diceritakan. Kita menyaksikan peristiwa-peristiwa, tingkah-laku para tokoh cerita yang sepertinya benar-benar hidup dan terjadi.
     Bagaimana ini tampak sedemikian nyata dalam gambaran benak kita? Mengapa sepertinya ada sebuah dunia, orang-orang yang hidup melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang mana kita sebagai pembaca terserap ke dalamnya? Apakah peristiwa-peristiwa yang disajikan dalam cerita benar-benar faktual? Ataukah hanya rekayasa pengarangnya saja?
     Dan juga kita perlu mengetahui apakah kebenaran didalam sebuah karya sastra itu dapat di pertanggung jawabkan dan sebenarnya apa saja yang di maksud sastra sebagai pemberi kebenaran itu. Mari kita selidiki satu persatu tentang permasalahan tersebut.

1.2 RUMUSAN MASLAH
a. Apa sebenarnya sastra dan kebenaran itu
b. Apa saja kebenaran yang terdapat didalam karya  sastra tersebut
c. Seperti apa sastra yang dimaksud pemberi kebenaran

1.3 TUJUAN MASALAH
a. Untuk mengetahui apa sastra dan seperti apa yang dimaksud kebenaran dan sastra
b. Untuk mengetahui apa saja yang terkandung dalamn kebenaran sastra itu kebenaran fisikional
    atau factual
c. Agar memahami yang dimkasud sastra pemberi kebenaran itu.





BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SASTRA DAN KEBENARAN
     Seseorang yang ingin memahami "kesiapan" sastrawan tentu perlu membaca karyanya. Hal itu dapat dilakukan jika sastrawan itu mampu mengutarakan pikiran dan perasaanya dengan baik dan jelas. Kejelasan pengungkapan khazanah batin sastrawan ke dalam karyanya itu tentu bergantung pada kepiawaiannya memberdayakan bahasa sebagai sarananya.
     Betapa pun hebatnya gejolak imajinasi atau ide sastrawan, ia tidak akan mampu menuangkannya sama persis dengan apa yang dirasakannya. Hal itu boleh jadi disebabkan oleh minimnya penguasaan bahasa sastrawan dan/atau keterbatasan bahasa itu sendiri sebagai sarana. Selain itu, apa yang terungkap dalam karya itu bukanlah semata-mata hasil pengamatan sastrawan, tetapi juga apa yang dirasakan dan ditafsirkannya tentang objek yang dihadapinya. Karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa seni merupakan tiruan alam tidak sepenuhnya benar.
     Bila karya sastra bukan semata-mata tiruan alam, berarti sastra itu tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang memperjuangkan kebenaran. Akan tetapi, dalam kenyataannya, ukuran kebenaran sering diterapkan orang dalam menilai suatu karya sastra. Penikmat sastra acapkali menghubungkan peristiwa yang tertuang dalam karya sastra dengan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
    Tanggung jawab moral terhadap kebenaran itu memang harus ada dalam diri sastrawan melalui karyanya. Jika tidak, penikmat sastra alam menolaknya. Untuk itu, yang perlu dipersoalkan adalah pengertian kebenaran dalam karya sastra itu.
     Kebenaran dalam karya sastra bukan kebenaran yang sama persis dengan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, kebenaran pelambangan, kebenaran ideal, atau kebenaran yang sepatutnya terjadi. Patokan semacam itu akan dapat membantu pemahaman para penikmat sastra dalam menerima cerita dongeng atau cerita kepahlawanan yang berbaur dengan kesaktian dan keajaiban, sebagaimana terlihat dalam epos "Ramayana" dan "Mahabarata".
     Kebenaran sastra tidak sama dengan kebenaran agama, hukum dan undang-undang (Gama, Singgalang, 11/06/06). Kebenaran sastra melingkupi tiga dimensi silendris: sastra itu sendiri (teks), pengarang sebagai pencipta sastra dan pembaca sebagai penikmat sastra. Ketiga unsur tersebut memiliki hubungan yang erat, tetapi masing-masingnya memiliki hak otonom. Setiap pengarang memiliki hak untuk menulis apa saja. Pembaca juga bebas memahami atau mengintepretasi teks sastra sesuai persepsinya sendiri-sendiri. Jadi, tidak ada pemaksaan untuk memahami dan tidak ada yang berhak mengatakan bahwa pemahaman mereka paling benar.


     Menikmati karya sastra sebenarnya merupakan rekreasi untuk menyelami pikiran penulisnya. Pikiran-pikiran penulis disuguhkan untuk dinikmati pembacanya. Tentunya, seorang pembaca dengan pembaca yang lain akan menemukan titik pandang berbeda dari suguhan yang sama. Itulah uniknya karya sastra. Tetapi, ada kalanya intepretasi pembaca menimbulkan suasana tidak menyenangkan bagi pembaca lainnya. Pembaca A mengintepretasi begini, sedangkan pembaca B mengintepretasi begitu. Terjadilah perbedaan persepsi. Itu hal yang wajar. Beda pendapat biasa. Yang tidak wajar dan tidak biasa adalah penghakiman yang membabi buta. Ramai-ramai karya yang berhaluan ini dilarang, yang berhaluan itu dibredel bahkan dibakar.


2.2 KEBENARAN DIDALAM SASTRA
     Sastra sebagai karya seni sesungguhnya tidak terlepas dari imajinasi. Suatu karya sastra adalah hasil olah imajinasi penulisnya, biar pun kisah yang disajikan mungkin saja berasal dari pengalaman yang benar-benar dialami, pernah disaksikan orang-orang tertentu, singkatnya cerita-cerita yang kita kenal sebagai ”True Story” atau yang diangkat dari peristiwa khusus yang pernah terjadi dalam kehidupan pribadi orang-orang tertentu. Bahkan, sebuah biografi yang berisi catatan kehidupan tokoh tertentu sekali pun, tak akan bisa terlepas dari peran imajinasi pengarangnya. Apa artinya ini? Apakah semua yang dikisahkan kembali berarti sebuah kebohongan artistik hasil olah imajinasi penulis semata? Apa nama jenis kenyataan dalam karya-karya sastra itu? Mari kita cermati penjelasan ”Paus Sastra Indonesia” sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan ini.
     Pernyataan H.B. Jassin di atas sangat jelas menerangkan bahwa seorang penulis adalah juga seorang seniman kata-kata. Kenyataan-kenyataan artistik adalah sifat dan ciri khas dari fakta-fakta yang tersaji dalam cerita fiksi. Sebagai seorang seniman, ia memanfaatkan imajinasinya untuk merangkai cerita, dan dengan cita rasa, pandangan pribadi nilai-nilai estetika, penulis karya fiksi membangun sifat keartistikan cerita fiksinya. Cerita tersebut kemudian memiliki tokohnya. Lagi-lagi penulis yang seniman tadi memberdayakan imajinasinya untuk membuat tiruan tingkah-laku (mimesis) seolah-olah tokoh cerita dalam karyanya adalah ”orang yang hidup” sebagaimana yang lazim ditemukan di kenyataan faktual sehari-hari. Penulis berimajinasi tentang rangkaian kalimat-kalimat yang akan diucapkan tokoh ceritanya. Ia kemudian menggunakan kutipan-kutipan langsung dengan tujuan agar tokoh ceritanya tampak sebagai ”orang hidup yang bisa berbicara” dan ”berinteraksi dengan lingkungan sosialnya melalui penjelasan ilustratif.” Bagaimana dengan tempat, suasana dan kejadian dalam cerita sepertinya hal yang nyata terjadi? Penulis melalui pengaturan tahap-tahap berjalannya peristiwa fiksi (plot / alur cerita) dalam ceritanya telah menentukan secara sepihak sehubungan dengan setting of place and time, nuance of fictional incidents, maka kita bisa melihat bahwa tokoh cerita menunjukkan perbuatan tertentu yang dilakukannya ada dalam suasana, waktu dan tempat yang tertentu pula.

     Lalu, bagaimana bila sebuah cerita yang tersaji dalam cerpen, novel atau drama yang diangkat atau mengambil sumber dari pengalaman pribadi seseorang?
     Tetap saja penulis yang menuliskan cerita-cerita yang dipandang sebagai ”Kisah-Kisah Nyata” sebenarnya telah merubahnya menjadi cerita fiksi disebabkan oleh pemanfaatan daya imajinasinya. Bila cerita-cerita itu hampir mirip dengan kejadian-kejadian tertentu yang telah terjadi, penulis cerita melakukan suatu upaya kembali ke masa lalu untuk menjadikan pengalaman-pengalaman tertentu yang dialami sebagai rujuk acuan penulisan cerita. Kemudian, dengan bahan kenangan pengalaman masa lalu tersebut, penulis cerita berimajinasi dalam rangka penyusunan kembali peristiwa-peristiwa masa lalu ke dalam bentuk sebuah kisah fiksi yang meniru kenyataan sebenarnya yang disajikan kembali dalam bentuk baru yaitu ”Kisah-Kisah Nyata”.
     Perkataan seorang filsuf Perancis, Rene Descartes, sehubungan dengan ini. De Omnibus Dubitandum – Segala sesuatu harus diragukan. Mengapa segala sesuatu harus diragukan bila itu adalah fakta-fakta masa lalu yang diceritakan kembali?
     Manusia sebagai individu berinteraksi dengan equilibirium sosialnya. Ia adalah pribadi dengan segala model tingkah laku dan perbuatannya yang tipikal. Ia adalah individu yang memiliki persepsi, jenis penalaran dan kesimpulan pribadi yang dibuatnya berdasarkan pandangan personalnya (subjektifitas). Ketika ada suatu peristiwa yang mengandung kenyataan faktual (benar-benar terjadi) tengah dialami, ada suatu upaya mencermati melalui penalaran koginitif guna mengenali dan menilai ”apa sesungguhnya yang tengah terjadi di hadapannya itu”, mempersepsikan dari sudut pandang subjektifitasnya, terakhir membuat kesimpulan yang sekali lagi sangat bersifat subjektif bukan obyektif demi menyimpannya dalam kesan-kesan menarik di ruang memori jangka panjangnya / kenangan. Saat ia berupaya untuk memaparkannya kembali dalam bentuk penyampaian dengan komunikasi verbal (ucapan-ucapan diartikulasikannya), maka kenyataan faktual dari peristiwa yang pernah dilihat dan dialaminya itu telah terkontaminasi oleh subjektifitas pribadinya, sehingga kebenaran yang disajikannya bukanlah kebenaran apa adanya. Hal ini disebabkan baik oleh pengurangan maupun penambahan fakta-fakta yang sedang ia sampaikan kembali melalui komunikasi verbalnya. Untuk itulah, Descartes mengatakan secara tersirat bahwa kebenaran yang disampaikan kembali secara subjektif mesti diperiksa lagi keabsahannya – segala sesuatu harus diragukan.
     Sebagai kesimpulannya, bahwa semua karya sastra adalah karya seni dalam berbagai jenrenya yang khas memiliki kenyataan artistik dengan kandungan nilai-nilai estetika tersendiri produk dari cita rasa kesenian dan olah imajinasi penulis sebagai seniman kata-kata. Kebenaran dalam karya sastra adalah suatu kebenaran fiksional atau ’kebenaran serba-mungkin’ yang mana kemungkinan memang ada dalam kenyataan faktual sehari-hari, atau kemungkinan hanyalah rekayasa dari daya imajinasi intellektual penulisnya.


2.3 SASTRA PEMBERI KEBENARAN
Dalam kenyataan, ukuran kebenaran merupakan ukuran yang sering digunakan dalam menilai suatu karya sastra. Memang tanggung jawab terhadap kebenaran ini harus ada pada setiap sastrawan dengan hasil karyanya. Kebenaran yang dimaksudkan bukanlah kebenaran yang klop dengan kenyataan pengalaman sehari-hari. Tetapi lebih luas dari itu, yaitu kebenaran yang ideal, kebenaran yang bukan saja bertumpu pada kehidupan nyata yang terjadi sekarang. Tetapi juga kebenaran yang sepatutnya terjadi, kebenaran yang diinginkan.
Penafsiran kebenaran yang lebih luas adalah kebenaran yang mencakup segi perlambangan (the criterion of symbolic truth) . Dalam pengertian kebenaran semacam itu membantu memberikan jawaban yang wajar tentang mengapa kita dapat menerima cerita-cerita dongeng atau kepahlawanan yang diperbaurkan dengan keajaiban, sebagai suatu bentuk karya sastra yang bernilai.
Wellek dan Warren (1990:32) menyatakan bahwa kebenaran sastra tampaknya merupakan kebenaran dalam sastra yang menurut filsafat dalam wujud konseptual sistematis dari luar bidang sastra yang dituangkan dalam wujud sastra.
Pembenaran pernyataan Wellek dan Warren dalam hal kebenaran ditegaskan melalui pernyataan selanjutnya tentang pengetahuan, kebenaran, kognisi, dan kebijaksanaan. Perlu ditekankan sekali lagi, kebenaran yang dimaksudkan adalah kebenaran yang dibatasi pada hal-hal yang dapat dibuktikan secara metodis oleh siapa pun secara deduktif.
T.S. Eliot agak ragu mengenai hal ini, menurutnya, kebenaran merupakan wilayah para pemikir sistematis, sedangkan sastrawan bukan pemikir, meskipun pada dasarnya dapat menjadi pemikir.
Baik di kalangan kebudayaan timur maupun barat sejak dahulu sudah ada anggapan bahwa seorang yang akrab dengan sastra akan lebih utuh kemanusiaannya. Mengapa? Karena sastra menunjang daya kreatif, dapat menjembatani pertentangan-pertentangan dan ingin mengungkapkan yang tidak terungkap. Dunia nyata yang dipaparkan dan sebuah karya sastra tidak hanya terbatas pada satu aspek kenyataan, melainkan berbagai ragam segi.
     Kebenaran sastra yang tidak pernah bermakna tunggal itu ditegaskan pula oleh Hall (1983:VI) yang mengatakan bahwa kebenaran sastra merupakan kebenaran yang “inexact, changeable, and subject to argument” karena kodrat sastra yang merepresentasikan manusia dengan segala kehidupannya yang juga ambigius, komplek, dan mudah berubah-ubah. Kebenaran seperti ini rupa-rupanya tidak hanya dimonopoli oleh sastra.


BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN 
     Kebenaran dalam karya sastra bukan kebenaran yang sama persis dengan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, kebenaran pelambangan, kebenaran ideal, atau kebenaran yang sepatutnya terjadi.
     Kebenaran sastra tidak sama dengan kebenaran agama, hukum dan undang-undang (Gama, Singgalang, 11/06/06). Kebenaran sastra melingkupi tiga dimensi silendris: sastra itu sendiri (teks), pengarang sebagai pencipta sastra dan pembaca sebagai penikmat sastra. Ketiga unsur tersebut memiliki hubungan yang erat, tetapi masing-masingnya memiliki hak otonom.
     Karya sastra adalah karya seni dalam berbagai jenrenya yang khas memiliki kenyataan artistik dengan kandungan nilai-nilai estetika tersendiri produk dari cita rasa kesenian dan olah imajinasi penulis sebagai seniman kata-kata. Kebenaran dalam karya sastra adalah suatu kebenaran fiksional atau ’kebenaran serba-mungkin’ yang mana kemungkinan memang ada dalam kenyataan faktual sehari-hari, atau kemungkinan hanyalah rekayasa dari daya imajinasi intellektual penulisnya.



SUMBER:
bahasa.kompasiana.com/.../kebenaran-dalam-karya-sastra-faktual-atau fisikional

Ragam Menyimak


Ragam Menyimak
            Seperti yang diketahui bahwa tujuan menyimak adalah untuk memperoleh informasi, menangkap isi, serta memahami makna komunikasi yang hendak disampaikan sang pembicara melalui ujaran. Inilah yang merupakan tujuan umum. Di samping tujuan umum itu terdapat pula berbagai tujuan khusus, yang menyebabkan adanya aneka ragam menyimak, yaitu:
A.      Menyimak Ekstensif, yang terdiri atas; menyimak sosial, menyimak sekunder,
      
menyimak estetik, dan menyimak pasif.
B.      Menyimak Intensif, yang terdiri atas; menyimak kritis, menyimak konsentratif,
      
menyimak kreatif, menyimak eksplorasif, menyimak interogatif, dan menyimak
      
selektif (Tarigan, 1987:35).
A.   Menyimak Ekstensif
Menyimak Ekstensif (extensive learning) adalah sejenis kegiatan menyimak mengenai hal-hal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap suatu ujaran, tidak perlu dibawah bimbingan langsung dari seorang guru (Tarigan, 1987:35-36).
Penggunaan yang paling dasar adalah untuk menangkap atau mengingat kembali bahan yang telah dikenal atau diketahui dalam suatu lingkungan baru dengan cara baru. Keuntungan mengingatkan bahan lama kepada para siswa, bahwa mereka melihat hal itu secara wajar dalam lingkungan yang asli dan alamiah, bukan hanya sekedar dalam hubungan kelas, tempat pertama kali disajikan secara formal.
Menyimak ekstensif adalah proses menyimak yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti: menyimak radio, televisi, percakapan orang di pasar, pengumuman, dan sebagainya. Menyimak seperti ini sering pula diartikan sebagai kegiatan menyimak yang berhubungan dengan hal-hal yang umum dan bebas terhadap suatu bahasa. Dalam prosesnya di sekolah tidak perlu langsung di bawah bimbingan guru. Pelaksanaannya tidak terlalu dituntut untuk memahami isi bahan simakan. Bahan simakan perlu dipahami secara sepintas, umum, garis besarnya saja atau butir-butir yang penting saja. Jenis menyimak ekstensif dapat dibagi empat:
Yang termasuk kelompok menyimak ekstensif sebagai berikut :
1. Menyimak Sosial
Menyimak Sosial (social listening) atau menyimak konversasional (conversational listening) ataupun menyimak sopan (courtreous listening) biasanya berlangsung dalam situasi-situasi sosial tempat orang-orang mengobrol atau bercengkrama mengenai hal-hal yang menarik perhatian semua orang yang hadir dan saling mendengarkan satu sama lain untuk membuat responsi-responsi yang wajar, mengikuti hal-hal yang menarik, dan memperlihatkan perhatian yang wajar terhadap apa-apa yang dikemukakan (Dawson dalam Tarigan,1987:37).
Dapat dikemukakan bahwa menyimak sosial paling sedikit mencakup dua hal,yaitu :
(i)
       Menyimak secara sopan santun dan penuh perhatian terhadap percakapan atau
     
obrolan dalam situasi-situasi sosial dengan suatu maksud,
(ii)  Menyimak serta memahami peranan-peranan pembicara dalam proses
       
komunikasi tersebut. Orang-orang yang dapat menaati kedua hal tersebut
      
dikatakan sebagai anggota-anggota masyrakat yang baik
2. Menyimak Sekunder
Tarigan (1987:38) menyatakan bahwa “menyimak sekunder (secondary listening) adalah sejenis kegiatan menyimak secara kebetulan (casual listening) dan secara ekstensif (extensive listening).” Menyimak ini lebih bersifat umum tanpa ada bimbingan. Apa yang didengar oleh penyimak bukan menjadi tujuan utama.
Contoh :
a.            Sambil menikmati musik, sementara kita ikut berpartisipasi dalam kegiatan menulis atau melukis.
b.           Pada acara-acara radio yang terdengar sayup-sayup, sementara kita menulis surat kepada teman.


3. Menyimak Estetik
Menyimak estetik (aesthetic listening) atau menyimak apresiatif (appreciational listening) adalah fase terakhir dari kegiatan menyimak kebetulan dan termasuk ke dalam menyimak ekstensif (Tarigan, 1987:38). Menyimak estetik mencakup menyimak musik, puisi, menikmati cerita, teka-teki yang dapat mengapresiasikan terhadap suatu hal tertentu. Menyimak estetik bertujuan untuk siswa agar dapat menyimak musik, puisi, dan drama. Sehingga dapat menikmati dan mengapresiasikan cerita-ceritanya dalam lakon-lakon yang dibacakan atau diceritakan oleh guru atau siswa.
4. Menyimak pasif
Menyimak pasif (passive listening) adalah penyerapan suatu ajaran tanpa upaya sadar yang biasanya menandai upaya-upaya kita pada saat belajar dengan kurang teliti, tergesa-gesa, menghapal luar kepala, berlatih santai, serta menguasai sesuatu bahasa. Untuk melakukan hal ini, perlu mempergunakan teknik-teknik tertentu yang bermanfaat, antara lain:
1)      Berilah otak dan telinga kesempatan menyimak banyak-banyak.
     Kita kadang-kadang tercengang menyaksikan orang-orang pribumi yang tidak bersekolah, tetapi mereka lancar sekali mempergunakan beberapa bahasa asing. Ini dimungkinkan karena hidup langsung didaerah bahasa-bahasa tersebut dalam waktu yang lama dan memberi kesempatan yang cukup bagi telinga dan otak mereka menyimak bahasa-bahasa tersebut. Kita dapat meniru kondisi-kondisi ideal orang-orang pribumi ini dengan memanfaatkan program-program radio,televisi,rekaman-rekaman serta mendengarkan kuliah-kuliah yang merupakan bahan mentah yang memuaskan yang dapat dipergunakan oleh otak untuk mengasimilasikan,memilih, serta menyimpan data-data penting mengenai bahasa.
2)      Tenang dan santai.
     Kegelisahan-kegelisahan, sekalipun  dalam belajar bahasa, seakan-akan memutuskan upaya-upaya otak kita untuk melakukan  tugasnya, oleh karena itu, dalam hal menyimak pun diperlukan ketenangan dan kesantaian.
3)      Jangan memasang rintangan bagi bunyi.
     Orang-orang yang bermukim didekat rel kereta api yang bising cenderung untuk melindungi diri mereka dengan “tabir bunyi”, penghalang secara mental, sehingga mereka tidak mendengar lagi kereta api lewat. Beberapa orang cenderung memasang penghalang atau rintangan bunyi bagi bahasa-bahasa asing dan akibatnya mereka tidak lagi mengasimilasikan bahasa itu sedemikian rupa sehingga hal itu seolah-olah banyak menolong mereka pada satu tingkat kesadaran. Akan tetapi, dalam beberapa contoh, orang-orang ini dapat mempergunakan bahasa asing dengan lancar sekali kalau mereka mabuk atau sakit jiwa. Dengan perkataan lain, pada saat orang itu mabuk atau sakit jiwa, seolah-olah rintangan yang ada selama ini telah dapat diobrak atau diterobos.
4)      Berikanlah waktu yang cukup bagi telinga dan otak.
     Pada akhir minggu kebanyakan orang bertanggapan mereka haruslah mulai berbicara suatu bahasa asing. Tentu saja tanpa asing mereka dapat memakai beberapa ekspresi,tetapi untuk memanfaatkan “passive learning” dengan sebaik-baiknya seseorang haruslah memberi kesempatan bagi otak untuk bekerja beberapa bulan.
5)      Beri kesempatan bagi otak dan telinga bekerja, sementara mengerjakan sesuatu yang lain (Nida dalam Tarigan, 1987:39-40)
     Suatu cara yang baik kita ialah memasang rekaman dalam suatu bahasa, sementara kita bercukur, makan ,membaca koran sore, ataupun pada saat bermain dengan anak-anak. Kita akan dapat memberi perhatian yang serius sepanjang waktu. Oleh sebab itu, berilah kesempatan menyimak bagi telinga dan otak secara santai. Banyak orang menganggap sepele hal itu, tetapi sebenarnya sangat penting dalam belajar bahasa, terlebih-lebih bahasa asing. Jangan dilupakan bahwa pada saat tidur pun otak kita tetap aktif.
  
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
     Menyimak merupakan suatu proses sebagai sebuah proses , peristiwa menyimak diawali dengan kegiatan mendengarkan bunyi bahasa secara langsung atau tidak langsung.
     Bunyi bahasa yang ditangkap oleh telinga diidentifikasi jenis dan pengelompokkannya menjadi suku kata , frase , klausa , kalima dan wacana . Jeda dan intonasi juga ikut diperhatikan oleh penyimak.
     Bunyi bahasa yang diterima kemudian ditafsirkan maknanya dan dinilai kebenarannya agar dapat diputuskan , diterima. Dengan kata lain menyimak merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan mendengarkan bunyi bahasa. ,mengidentifikasi , menafsirkan, menilai , dan meraksi atas makna yang terkandung di dalam wacana lisan.
      Tujuan utama menyimak antara lain untuk mendapatkan fakta , menganalisis fakta , mengevaluasi fakta , mendapatkan inspirasi , mendapatkan hiburan , dan memperbaiki kemampuan berbicara

 DAFTAR PUSTAKA
1.      Tarigan,Prof. Dr. Henry Guntur 1986.”Menyimak sebagai suatu keterampilan berbahasa”. Bandung: Penerbit Angkasa.





Pedoman EYD yang disempurnakan


I.                   PEMAKAIAN HURUF

A. Huruf Abjad
     Abjad yang digunakan dalam ejaan bahasa Indonesia terdiri atas huruf yang berikut. Nama tiap huruf disertakan di kolom ketiga.

B. Huruf Vokal
Huruf yang melambangkan vokal dalam bahasa Indonesia terdiri atas huruf a, e, i, o, dan u.

Huruf Vokal
Contoh Pemakaian dalam Kata
Posisi Awal
Posisi
Tengah
Posisi Akhir
a
e*

i
o
u
api
enak
emas
itu
oleh
ulang
padi
petak
kena
simpan
kota
bumi
lusa
sore
tipe
murni
radio
ibu


Keterangan:
* Untuk keperluan pelafalan kata yang benar, tanda aksen ( ) dapat digunakan
    jika ejaan kata menimbulkan keraguan.

C. Huruf Konsonan
     Huruf yang melambangkan konsonan dalam bahasa Indonesia terdiri atas huruf-huruf b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z.

D. Huruf Diftong
     Di dalam bahasa Indonesia terdapat diftong yang dilambangkan dengan ai, au, dan oi.

Huruf Diftong
Contoh Pemakaian dalam Kata
Posisi Awal
Posisi
Tengah
Posisi Akhir
ai
au
oi
ain
aula
-
malaikat
saudara
boikot
pandai
harimau
amboi











E. Gabungan Huruf Konsonan
     Gabungan huruf konsonan kh, ng, ny, dan sy masing-masing melambangkan satu bunyi konsonan.

Gabungan Huruf Konsonan
Contoh Pemakaian dalam Kata
Posisi Awal
Posisi
Tengah
Posisi Akhir
kh
ng
ny
sy
khusus
ngilu
nyata
syarat
akhir
bangun
banyak
isyarat
Tarikh
senang
-
Arasy

Catatan:
      Nama orang, badan hukum, dan nama diri yang lain ditulis sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, kecuali jika ada pertimbangan khusus.

F. Huruf Kapital

1.      Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat.

2.      Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung.

3.      Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam kata dan ungkapan yang berhubungan dengan agama, kitab suci, dan Tuhan, termasuk kata ganti untuk Tuhan.


G. Huruf Miring
1.      Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama buku,
   majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan.

Catatan:
     Judul skripsi, tesis, atau disertasi yang belum diterbitkan dan dirujuk dalam tulisan tidak ditulis dengan huruf miring, tetapi diapit dengan tanda petik.

2.   Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menegaskan atau
   mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata.

    Buatlah kalimat dengan menggunakan ungkapan berlepas tangan.

3. A.      Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan kata atau
       ungkapan yang bukan bahasa Indonesia.

    B.      Ungkapan asing yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia
            penulisannya diperlakukan sebagai kata Indonesia.



Catatan:
     Dalam tulisan tangan atau ketikan, huruf atau kata yang akan dicetak miring digaris bawahi.

H. Huruf Tebal
1.      Huruf tebal dalam cetakan dipakai untuk menuliskan judul buku,
    bab, bagian bab, daftar isi, daftar tabel, daftar lambang, daftar pustaka,
   indeks, dan lampiran

2.      Huruf tebal tidak dipakai dalam cetakan untuk menegaskan atau
   mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata; untuk
  keperluan itu digunakan huruf miring.

Catatan:
     Dalam tulisan tangan atau ketikan manual, huruf atau kata yang akan dicetak dengan huruf tebal diberi garis bawah ganda.



II. PENULISAN KATA
A. Kata Dasar
Kata yang berupa kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan.

B. Kata Turunan
1. A. Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran) ditulis serangkai dengan
        bentuk dasarnya.
       B.      Imbuhan dirangkaikan dengan tanda hubung jika ditambahkan
          pada bentuk singkatan atau kata dasar yang bukan bahasa Indonesia.

2. Jika bentuk dasarnya berupa gabungan kata, awalan atau akhiran
   ditulis serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau
   mendahuluinya.

3. Jika bentuk dasar yang berupa gabungan kata mendapat awalan dan
    akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu ditulis serangkai.

4.      Jika salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam
   kombinasi, gabungan kata itu ditulis serangkai.

Catatan:
(1)        Jika bentuk terikat diikuti oleh kata yang huruf awalnya huruf kapital, tanda hubung (-) digunakan di antara kedua unsur itu.

(2)      Jika kata maha sebagai unsur gabungan merujuk kepada Tuhan
      yang diikuti oleh kata berimbuhan, gabungan itu ditulis terpisah dan
     unsur-unsurnya dimulai dengan huruf kapital.

(3)      Jika kata maha, sebagai unsur gabungan, merujuk kepada Tuhan
     dan diikuti oleh kata dasar, kecuali kata esa, gabungan itu ditulis
     serangkai.

C. Bentuk Ulang
1.      Bentuk ulang ditulis dengan menggunakan tanda hubung di antara
   unsur-unsurnya.
Catatan:
(1)        Bentuk ulang gabungan kata ditulis dengan mengulang unsur pertama saja.

(2)        Bentuk ulang gabungan kata yang unsur keduanya adjektiva ditulis dengan mengulang unsur pertama atau unsur keduanya dengan makna yang berbeda.

2. Awalan dan akhiran ditulis serangkai dengan bentuk ulang.

Catatan:
     Angka 2 dapat digunakan dalam penulisan bentuk ulang untuk keperluan khusus, seperti dalam pembuatan catatan rapat atau kuliah.

B.     Gabungan Kata

1. Unsur-unsur gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk ditulis terpisah.

2.      Gabungan kata yang dapat menimbulkan kesalahan pengertian dapat ditulis dengan menambahkan tanda hubung di antara unsur-unsurnya untuk menegaskan pertalian unsur yang

3.      Gabungan kata yang dirasakan sudah padu benar ditulis serangkai.


C.    Suku Kata

1. Pemenggalan kata pada kata dasar dilakukan sebagai berikut.
    A.      Jika di tengah kata ada huruf vokal yang berurutan, pemenggalannya dilakukan di
       antara kedua huruf vokal itu.
    B. Huruf diftong ai, au, dan oi tidak dipenggal.
   
    C.     Jika di tengah kata dasar ada huruf konsonan (termasuk gabungan huruf konsonan) di
        antara dua buah huruf vokal, pemenggalannya dilakukan sebelum huruf konsonan itu.


2.      Pemenggalan kata dengan awalan, akhiran, atau partikel dilakukan di antara bentuk dasar dan imbuhan atau partikel itu.

Catatan:
(1) Pemenggalan kata berimbuhan yang bentuk dasarnya mengalami perubahan dilakukan
      seperti pada kata dasar.
(2) Akhiran -i tidak dipisahkan pada pergantian baris.
(3) Pemenggalan kata bersisipan dilakukan seperti pada kata dasar.
(4) Pemenggalan tidak dilakukan pada suku kata yang terdiri atas satu vokal.

3.      Jika sebuah kata terdiri atas dua unsur atau lebih dan salah satu unsurnya itu dapat
    bergabung dengan unsur lain, pemenggalannya dilakukan di antara unsur-unsur itu. Tiap-
    tiap unsur gabungan itu dipenggal seperti pada kata dasar.

4.      Nama orang, badan hukum, atau nama diri lain yang terdiri atas dua unsur atau lebih
    dipenggal pada akhir baris di antara unsur-unsurnya (tanpa tanda pisah). Unsur nama yang
    berupa singkatan tidak dipisahkan.

F. Kata Depan di, ke, dan dari
     Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali di dalam gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata, seperti kepada dan daripada.


G. Partikel
1. Partikel -lah, -kah, dan -tah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.

2. Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya.

3. Partikel per yang berarti demi, tiap’, atau mulaiditulis terpisah dari kata yang
    mengikutinya.

H. Singkatan dan Akronim
1. Singkatan ialah bentuk singkat yang terdiri atas satu huruf atau lebih.
    A.      Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat diikuti dengan
       tanda titik di belakang tiap-tiap singkatan itu.

   B.     Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi,   
       serta nama dokumen resmi yang terdiri atas gabungan huruf awal kata ditulis dengan    
       huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik.

   C. 1) Singkatan kata yang berupa gabungan huruf diikuti dengan tanda titik.
        2) Singkatan gabungan kata yang terdiri atas tiga huruf diakhiri dengan tanda titik.

   D.      Singkatan gabungan kata yang terdiri atas dua huruf (lazim digunakan dalam surat
        menyurat) masing-masing diikuti oleh tanda titik.

    E.      Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak
       diikuti tanda dengan titik.

2. Akronim ialah singkatan dari dua kata atau lebih yang diperlakukan sebagai sebuah kata.
    A.      Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal unsur-unsur nama diri ditulis
       seluruhnya dengan huruf kapital tanpa tanda titik.
    B.      Akronim nama diri yang berupa singkatan dari beberapa unsur ditulis dengan huruf
       awal kapital.

    C.      Akronim bukan nama diri yang berupa singkatan dari dua kata atau lebih ditulis 
       dengan huruf kecil.



Catatan:
     Jika pembentukan akronim dianggap perlu, hendaknya diperhatikan syarat-syarat berikut.
(1)      Jumlah suku kata akronim tidak melebihi jumlah suku kata yang lazim pada
     kata Indonesia (tidak lebih dari tiga suku kata).

(2)      Akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan
     konsonan yang sesuai dengan pola kata bahasa Indonesia yang lazim agar mudah
    diucapkan dan diingat.

I. Angka dan Bilangan
     Bilangan dapat dinyatakan dengan angka atau kata. Angka dipakai sebagai lambang bilangan atau nomor.

1.           Bilangan dalam teks yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf, kecuali jika bilangan itu dipakai secara berurutan seperti dalam perincian atau paparan.

  2.    Bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf, jika lebih dari dua kata, susunan
        kalimat diubah agar bilangan yang tidak dapat ditulis dengan huruf itu tidak ada pada
        awal kalimat.

  3.     Angka yang menunjukkan bilangan utuh besar dapat dieja sebagian supaya lebih
       mudah dibaca.

  4.      Angka digunakan untuk menyatakan (a) ukuran panjang, berat, luas, dan isi; (b) satuan
     waktu; (c) nilai uang; dan (d) jumlah.

      Catatan:
      (1) Penulisan lambang mata uang, seperti Rp, US$, £, dan ¥ tidak diakhiri dengan
      tanda titik dan tidak ada spasi antara lambang itu dan angka yang mengikutinya.

   5.      Angka digunakan untuk melambangkan nomor jalan, rumah, apartemen, atau kamar.

   6. Angka digunakan untuk menomori bagian karangan atau ayat kitab suci.

   7. Penulisan bilangan dengan huruf dilakukan sebagai berikut.
      A. Bilangan utuh
      B. Bilangan pecahan


     Catatan:
     (1)      Pada penulisan bilangan pecahan dengan mesin tik, spasi digunakan di antara
           bilangan utuh dan bilangan pecahan.
     (2)        Tanda hubung dapat digunakan dalam penulisan lambang bilangan dengan huruf
           yang dapat menimbulkan salah pengertian.




8. Penulisan bilangan tingkat dapat dilakukan dengan cara berikut.
     Misalnya:
      A.      pada awal abad XX (angka Romawai kapital) dalam kehidupan pada abad ke-20 ini
        (huruf dan angka Arab) pada awal abad kedua puluh (huruf)
     
      B.     kantor di tingkat II gedung itu (angka Romawi) di tingkat ke-2 gedung itu (huruf    
          dan angka Arab) di tingkat kedua gedung itu (huruf)

9. Penulisan bilangan yang mendapat akhiran -an mengikuti cara berikut.

10.      Bilangan tidak perlu ditulis dengan angka dan huruf sekaligus dalam teks (kecuali di
      dalam dokumen resmi, seperti akta dan kuitansi).

11.      Jika bilangan dilambangkan dengan angka dan huruf, penulisannya harus tepat.
     
     Catatan:
     (1) Angka Romawi tidak digunakan untuk menyatakan jumlah.
     (2) Angka Romawi digunakan untuk menyatakan penomoran bab (dalam terbitan atau
           produk perundang-undangan) dan nomor jalan.
     (3) Angka Romawi kecil digunakan untuk penomoran halaman sebelum Bab I dalam
           naskah dan buku.


J. Kata Ganti ku-, kau-, -ku, -mu, dan -nya
     Kata ganti ku- dan kau- ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya; -ku, -mu, dan –nya ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.

Catatan:
     Kata-kata ganti itu (-ku, -mu, dan -nya) dirangkaikan dengan tanda hubung apabila
digabung dengan bentuk yang berupa singkatan atau kata yang diawali dengan huruf
kapital.

K. Kata si dan sang
Kata si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.

Catatan:
Huruf awal si dan sang ditulis dengan huruf kapital jika kata-kata itu diperlakukan
sebagai unsur nama diri.


III. PEMAKAIAN TANDA BACA

A. Tanda Titik (.)
     1. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan.

     2. Tanda titik dipakai di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar, atau
         daftar.
 
    3. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan
         waktu.

    4. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan 
         jangka waktu.

    5. Tanda titik dipakai dalam daftar pustaka di antara nama penulis, judul tulisan yang tidak
        berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru, dan tempat terbit.
        Catatan:
        Urutan informasi mengenai daftar pustaka tergantung pada lembaga yang bersangkutan.

    6. Tanda titik dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya yang
        menunjukkan jumlah.
         Catatan:
        (1) Tanda titik tidak dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya yang
             tidak menunjukkan jumlah.
            Misalnya:
            Dia lahir pada tahun 1956 di Bandung.

       (2) Tanda titik tidak dipakai pada akhir judul yang merupakan kepala karangan atau
             kepala ilustrasi, tabel, dan sebagainya.
            Misalnya:
            Acara Kunjungan Menteri Pendidikan Nasional
            Bentuk dan Kedaulatan (Bab I UUD 1945)
      
      (3) Tanda titik tidak dipakai di belakang (a) nama dan alamat penerima surat, (b) nama
            dan alamat pengirim surat, dan (c) di belakang tanggal surat.
             Misalnya:
             Yth. Kepala Kantor Penempatan Tenaga
             Jalan Cikini 71
             Jakarta
             21 April 2008
      
     (4) Pemisahan bilangan ribuan atau kelipatannya dan desimal dilakukan sebagai berikut.
           Rp200.250,75 $ 50,000.508.750 m 8,750 m

7. Tanda titik dipakai pada penulisan singkatan

B. Tanda Koma (,)
1. Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.

2. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara
    berikutnya yang didahului dengan kata seperti tetapi, melainkan, sedangkan, dan kecuali.

3. Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat
    itu mendahului induk kalimatnya.
   Catatan:
   Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika
   anak kalimat itu mengiringi induk kalimatnya.
   Misalnya:
   Saya akan datang kalau ada undangan.
   Dia mempunyai banyak teman karena tidak congkak.
    Kita harus membaca banyak buku agar memiliki wawasan yang luas.

4. Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang
     terdapat pada awal kalimat, seperti oleh karena itu, jadi, dengan demikian, sehubungan
     dengan itu, dan meskipun begitu.

5. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seru, seperti o, ya, wah, aduh,dan kasihan,
   
atau kata-kata yang digunakan sebagai sapaan, seperti Bu, Dik, atau Mas dari kata lain
   
yang terdapat di dalam kalimat.

6. Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat.

7. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang
     mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau
     tanda seru.

8. Tanda koma dipakai di antara (a) nama dan alamat, (b) bagian-bagian alamat, (c) tempat
    dan tanggal, serta (d) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.

9. Tanda koma dipakai untuk memisahkan bagian nama yang dibalik susunannya dalam
     daftar pustaka.

10. Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki atau catatan akhir.

11. Tanda koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk
     membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.

12. Tanda koma dipakai di muka angka desimal atau di antara rupiah dan sen yang
     dinyatakan dengan angka.

13. Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak
      membatasi.

14. Tanda koma dapat dipakaiuntuk menghindari salah baca/salah pengertiandi belakang
      keterangan yang terdapat pada awal kalimat.

      Misalnya:
      Dalam pengembangan bahasa, kita dapat memanfaatkan bahasa-nahasa di kawasan 
      nusantara ini.Atas perhatian Saudara, kami ucapan terima kasih. Bandingkan dengan: 
      Kita dapat memanfaatkan bahasa-bahasa di kawasan nusantara ini dalam 29 
      pengembangan kosakata. Kami ucapkan terima kasih atas perhatian Saudara.









C. Tanda Titik Koma (;)
1. Tanda titik koma dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat   
     yang setara di dalam kalimat majemuk setara.
2. Tanda titik koma digunakan untuk mengakhiri pernyataan perincian dalam kalimat yang  
     berupa frasa atau kelompok kata. Dalam hubungan itu, sebelum perincian terakhir tidak
     perlu digunakan kata dan.

3. Tanda titik koma digunakan untuk memisahkan dua kalimat setara atau lebih apabila
     unsur-unsur setiap bagian itu dipisah oleh tanda baca dan kata hubung.

D. Tanda Titik Dua (:)
1. Tanda titik dua dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap yang diikuti rangkaian atau
     pemerian.

     Catatan:
     Tanda titik dua tidak dipakai jika rangkaian atau pemerian itu merupakan pelengkap yang
     mengakhiri pernyataan.

     Misalnya:
     Kita memerlukan kursi, meja, dan lemari.
     Fakultas itu mempunyai Jurusan Ekonomi Umum dan Jurusan Ekonomi Perusahaan.

2. Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian.

3. Tanda titik dua dapat dipakai dalam naskah drama sesudah kata yang menunjukkan pelaku
    dalam percakapan.

4. Tanda titik dua dipakai di antara (a) jilid atau nomor dan halaman, (b) bab dan ayat dalam
     kitab suci, (c) judul dan anak judul suatu karangan, serta (d) nama kota dan penerbit buku
    acuan dalam karangan.


E. Tanda Hubung (-)
1. Tanda hubung menyambung suku-suku kata yang terpisah oleh pergantian baris.

2. Tanda hubung menyambung awalan dengan bagian kata yang mengikutinya atau akhiran
    dengan bagian kata yang mendahuluinya pada pergantian baris.

3. Tanda hubung digunakan untuk menyambung unsur-unsur kata ulang.

4. Tanda hubung digunakan untuk menyambung bagian-bagian tanggal dan huruf dalam
     kata yang dieja satu-satu.

5. Tanda hubung boleh dipakai untuk memperjelas (a) hubungan bagian-bagian kata atau   
     ungkapan dan (b) penghilangan bagian frasa atau kelompok kata.

6. Tanda hubung dipakai untuk merangkai

7. Tanda hubung dipakai untuk merangkai unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa   
     asing.
F. Tanda Pisah ()
1. Tanda pisah dipakai untuk membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi
    penjelasan di luar bangun utama kalimat.

2. Tanda pisah dipakai untuk menegaskan adanya keterangan aposisi atau keterangan yang 
     lain sehingga kalimat menjadi lebih jelas.

3. Tanda pisah dipakai di antara dua bilangan, tanggal, atau tempat dengan arti 'sampai  
    dengan' atau 'sampai ke'.

Catatan:
(1) Tanda pisah tunggal dapat digunakan untuk memisahkan keterangan tambahan
pada akhir kalimat.
Misalnya:
Kita memerlukan alat tulispena, pensil, dan kertas.
(Bandingkan dengan Bab III, Huruf D, kaidah 1.)

(2) Dalam pengetikan, tanda pisah dinyatakan dengan dua buah tanda hubung
tanpa spasi sebelum dan sesudahnya.


G. Tanda Tanya (?)
1. Tanda tanya dipakai pada akhir kalimat tanya.

2. Tanda tanya dipakai di dalam tanda kurung untuk menyatakan bagian kalimat yang
     disangsikan atau yang kurang dapat dibuktikan kebenarannya.


H. Tanda Seru (!)
     Tanda seru dipakai untuk mengakhiri ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, ataupun emosi yang kuat.


I. Tanda Elipsis (...)
1. Tanda elipsis dipakai dalam kalimat yang terputus-putus.

2. Tanda elipsis dipakai untuk menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau naskah ada 
     bagian yang dihilangkan.


     Catatan:
(1) Tanda elipsis itu didahului dan diikuti dengan spasi.

(2) Jika bagian yang dihilangkan mengakhiri sebuah kalimat, perlu dipakai 4 tanda titik: 3
     tanda titik untuk menandai penghilangan teks dan 1 tanda titik untuk 33 menandai akhir
     kalimat.

(3) Tanda elipsis pada akhir kalimat tidak diikuti dengan spasi.
Misalnya:
Dalam tulisan, tanda baca harus digunakan dengan cermat ....

J. Tanda Petik (" ")
1. Tanda petik dipakai untuk mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan,
     naskah, atau bahan tertulis lain.

2. Tanda petik dipakai untuk mengapit judul puisi, karangan, atau bab buku yang dipakai
     dalam kalimat.

3. Tanda petik dipakai untuk mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal atau kata yang
     mempunyai arti khusus.

Catatan:
(1) Tanda petik penutup mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan langsung.
Misalnya:
Kata dia, "Saya juga minta satu."
Dia bertanya, "Apakah saya boleh ikut?"

(2) Tanda baca penutup kalimat atau bagian kalimat ditempatkan di belakang tanda
petik yang mengapit kata atau ungkapan yang dipakai dengan arti khusus pada
ujung kalimat atau bagian kalimat.

Misalnya:
Bang Komar sering disebut "pahlawan"; ia sendiri tidak tahu sebabnya.
Karena warna kulitnya, dia mendapat julukan "Si Hitam".

(3) Tanda petik pembuka dan tanda petik penutup pada pasangan tanda petik itu
ditulis sama tinggi di sebelah atas baris.

(4) Tanda petik (") dapat digunakan sebagai pengganti idem atau sda. (sama dengan di
atas) atau kelompok kata di atasnya dalam penyajian yang berbentuk daftar.

Misalnya:
zaman bukan jaman
asas " azas
plaza " plasa
jadwal " jadual
bus " bis


K. Tanda Petik Tunggal (' ')
1. Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit petikan yang terdapat di dalam petikan lain.

2. Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit makna kata atau ungkapan.

3. Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit makna, kata atau ungkapan bahasa daerah
     atau bahasa asing (Lihat pemakaian tanda kurung, Bab III, Huruf M)


L. Tanda Kurung (( ))
1. Tanda kurung dipakai untuk mengapit tambahan keterangan atau penjelasan.

Catatan:
Dalam penulisan didahulukan bentuk lengkap setelah itu bentuk singkatnya.

Misalnya:
     Saya sedang mengurus perpanjangan kartu tanda penduduk (KTP). KTP itu
merupakan tanda pengenal dalam berbagai keperluan.

2. Tanda kurung dipakai untuk mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan bagian
     utama kalimat.

3. Tanda kurung dipakai untuk mengapit huruf atau kata yang kehadirannya di dalam teks
     dapat dihilangkan.

4. Tanda kurung dipakai untuk mengapit angka atau huruf yang memerinci urutan
      keterangan.

Catatan:
Tanda kurung tunggal dapat dipakai untuk mengiringi angka atau huruf yang
menyatakan perincian yang disusun ke bawah.

Misalnya:
Kemarin kakak saya membeli
1) buku,
2) pensil, dan
3) tas sekolah.

Dia senang dengan mata pelajaran
a) fisika,
b) biologi, dan
c) kimia.


M. Tanda Kurung Siku ([ ])
1. Tanda kurung siku dipakai untuk mengapit huruf, kata, atau kelompok kata sebagai koreksi
    atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat yang ditulis orang lain. Tanda itu
    menyatakan bahwa kesalahan atau kekurangan itu memang terdapat di dalam naskah asli.

2. Tanda kurung siku dipakai untuk mengapit keterangan dalam kalimat penjelas yang sudah
    bertanda kurung.


N. Tanda Garis Miring (/)
1. Tanda garis miring dipakai di dalam nomor surat, nomor pada alamat, dan penandaan masa
     satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwim atau tahun ajaran.

2. Tanda garis miring dipakai sebagai pengganti kata atau, tiap, dan ataupun.
Catatan:
Tanda garis miring ganda (//) dapat digunakan untuk membatasi penggalan- penggalan dalam kalimat untuk memudahkan pembacaan naskah.
O. Tanda Penyingkat atau Apostrof (')
Tanda penyingkat menunjukkan penghilangan bagian kata atau bagian angka tahun.

Misalnya:
Dia 'kan sudah kusurati. ('kan: bukan)
Malam 'lah tiba. ('lah: telah)
1 Januari '08 ('08: 2008)





IV. PENULISAN UNSUR SERAPAN

     Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari pelbagai bahasa, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa asing, seperti Sanskerta, Arab, Portugis, Belanda, Cina, dan Inggris. Berdasarkan taraf integrasinya, unsur serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibagi menjadi dua kelompok besar.

Pertama, unsur asing yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti reshuffle, shuttle cock, dan de l'homme par l'homme. Unsur-unsur itu dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi cara pengucapan dan penulisannya masih mengikuti cara asing.

Kedua, unsur asing yang penulisan dan pengucapannya disesuaikan
dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal itu, diusahakan ejaannya disesuaikan dengan
Pedoman Umum Pembentukan Istilah Edisi Ketiga agar bentuk Indonesianya masih dapat
dibandingkan dengan bentuk asalnya.

Catatan:
1. Unsur serapan yang sudah lazim dieja sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia tidak perlu
    lagi diubah.
   Misalnya:
   bengkel, kabar, nalar, paham, perlu, sirsak
2. Sekalipun dalam ejaan yang disempurnakan huruf q dan x diterima sebagai bagian abjad
     bahasa Indonesia, unsur yang mengandung kedua huruf itu diindonesiakan menurut kaidah    
     yang dipaparkan di atas. Kedua huruf itu dipergunakan dalam penggunaan tertentu saja,   
    seperti dalam pembedaan nama dan istilah khusus. 

Klasifikasi Bunyi

  Klasifikasi Bunyi A.     Vokal dan Konsonan Pada umumnya bunyi bahasa dibedakan atas vokal dan konsonan. Bunyi vokal dihasilkan den...