Sunday, December 16, 2012

Sastra Sebagai Suatu Pemberi Kebenaran


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
     Ketika kita membaca suatu karya sastra sepertinya kita tengah berada di tempat cerita itu berlangsung dan seolah-olah ikut secara aktif mengalami atau setidaknya menyaksikan peristiwa-peristiwa yang dinarasikan oleh penulisnya.
     Kenyataan-kenyataan yang digambarkan berhasil menyedot perhatian kita untuk tetap menyimak jalan cerita. Seakan-akan kita tak mau ketinggalan barang sedetik pun kejadian-kejadian yang sedang diceritakan. Kita menyaksikan peristiwa-peristiwa, tingkah-laku para tokoh cerita yang sepertinya benar-benar hidup dan terjadi.
     Bagaimana ini tampak sedemikian nyata dalam gambaran benak kita? Mengapa sepertinya ada sebuah dunia, orang-orang yang hidup melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang mana kita sebagai pembaca terserap ke dalamnya? Apakah peristiwa-peristiwa yang disajikan dalam cerita benar-benar faktual? Ataukah hanya rekayasa pengarangnya saja?
     Dan juga kita perlu mengetahui apakah kebenaran didalam sebuah karya sastra itu dapat di pertanggung jawabkan dan sebenarnya apa saja yang di maksud sastra sebagai pemberi kebenaran itu. Mari kita selidiki satu persatu tentang permasalahan tersebut.

1.2 RUMUSAN MASLAH
a. Apa sebenarnya sastra dan kebenaran itu
b. Apa saja kebenaran yang terdapat didalam karya  sastra tersebut
c. Seperti apa sastra yang dimaksud pemberi kebenaran

1.3 TUJUAN MASALAH
a. Untuk mengetahui apa sastra dan seperti apa yang dimaksud kebenaran dan sastra
b. Untuk mengetahui apa saja yang terkandung dalamn kebenaran sastra itu kebenaran fisikional
    atau factual
c. Agar memahami yang dimkasud sastra pemberi kebenaran itu.





BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SASTRA DAN KEBENARAN
     Seseorang yang ingin memahami "kesiapan" sastrawan tentu perlu membaca karyanya. Hal itu dapat dilakukan jika sastrawan itu mampu mengutarakan pikiran dan perasaanya dengan baik dan jelas. Kejelasan pengungkapan khazanah batin sastrawan ke dalam karyanya itu tentu bergantung pada kepiawaiannya memberdayakan bahasa sebagai sarananya.
     Betapa pun hebatnya gejolak imajinasi atau ide sastrawan, ia tidak akan mampu menuangkannya sama persis dengan apa yang dirasakannya. Hal itu boleh jadi disebabkan oleh minimnya penguasaan bahasa sastrawan dan/atau keterbatasan bahasa itu sendiri sebagai sarana. Selain itu, apa yang terungkap dalam karya itu bukanlah semata-mata hasil pengamatan sastrawan, tetapi juga apa yang dirasakan dan ditafsirkannya tentang objek yang dihadapinya. Karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa seni merupakan tiruan alam tidak sepenuhnya benar.
     Bila karya sastra bukan semata-mata tiruan alam, berarti sastra itu tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang memperjuangkan kebenaran. Akan tetapi, dalam kenyataannya, ukuran kebenaran sering diterapkan orang dalam menilai suatu karya sastra. Penikmat sastra acapkali menghubungkan peristiwa yang tertuang dalam karya sastra dengan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
    Tanggung jawab moral terhadap kebenaran itu memang harus ada dalam diri sastrawan melalui karyanya. Jika tidak, penikmat sastra alam menolaknya. Untuk itu, yang perlu dipersoalkan adalah pengertian kebenaran dalam karya sastra itu.
     Kebenaran dalam karya sastra bukan kebenaran yang sama persis dengan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, kebenaran pelambangan, kebenaran ideal, atau kebenaran yang sepatutnya terjadi. Patokan semacam itu akan dapat membantu pemahaman para penikmat sastra dalam menerima cerita dongeng atau cerita kepahlawanan yang berbaur dengan kesaktian dan keajaiban, sebagaimana terlihat dalam epos "Ramayana" dan "Mahabarata".
     Kebenaran sastra tidak sama dengan kebenaran agama, hukum dan undang-undang (Gama, Singgalang, 11/06/06). Kebenaran sastra melingkupi tiga dimensi silendris: sastra itu sendiri (teks), pengarang sebagai pencipta sastra dan pembaca sebagai penikmat sastra. Ketiga unsur tersebut memiliki hubungan yang erat, tetapi masing-masingnya memiliki hak otonom. Setiap pengarang memiliki hak untuk menulis apa saja. Pembaca juga bebas memahami atau mengintepretasi teks sastra sesuai persepsinya sendiri-sendiri. Jadi, tidak ada pemaksaan untuk memahami dan tidak ada yang berhak mengatakan bahwa pemahaman mereka paling benar.


     Menikmati karya sastra sebenarnya merupakan rekreasi untuk menyelami pikiran penulisnya. Pikiran-pikiran penulis disuguhkan untuk dinikmati pembacanya. Tentunya, seorang pembaca dengan pembaca yang lain akan menemukan titik pandang berbeda dari suguhan yang sama. Itulah uniknya karya sastra. Tetapi, ada kalanya intepretasi pembaca menimbulkan suasana tidak menyenangkan bagi pembaca lainnya. Pembaca A mengintepretasi begini, sedangkan pembaca B mengintepretasi begitu. Terjadilah perbedaan persepsi. Itu hal yang wajar. Beda pendapat biasa. Yang tidak wajar dan tidak biasa adalah penghakiman yang membabi buta. Ramai-ramai karya yang berhaluan ini dilarang, yang berhaluan itu dibredel bahkan dibakar.


2.2 KEBENARAN DIDALAM SASTRA
     Sastra sebagai karya seni sesungguhnya tidak terlepas dari imajinasi. Suatu karya sastra adalah hasil olah imajinasi penulisnya, biar pun kisah yang disajikan mungkin saja berasal dari pengalaman yang benar-benar dialami, pernah disaksikan orang-orang tertentu, singkatnya cerita-cerita yang kita kenal sebagai ”True Story” atau yang diangkat dari peristiwa khusus yang pernah terjadi dalam kehidupan pribadi orang-orang tertentu. Bahkan, sebuah biografi yang berisi catatan kehidupan tokoh tertentu sekali pun, tak akan bisa terlepas dari peran imajinasi pengarangnya. Apa artinya ini? Apakah semua yang dikisahkan kembali berarti sebuah kebohongan artistik hasil olah imajinasi penulis semata? Apa nama jenis kenyataan dalam karya-karya sastra itu? Mari kita cermati penjelasan ”Paus Sastra Indonesia” sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan ini.
     Pernyataan H.B. Jassin di atas sangat jelas menerangkan bahwa seorang penulis adalah juga seorang seniman kata-kata. Kenyataan-kenyataan artistik adalah sifat dan ciri khas dari fakta-fakta yang tersaji dalam cerita fiksi. Sebagai seorang seniman, ia memanfaatkan imajinasinya untuk merangkai cerita, dan dengan cita rasa, pandangan pribadi nilai-nilai estetika, penulis karya fiksi membangun sifat keartistikan cerita fiksinya. Cerita tersebut kemudian memiliki tokohnya. Lagi-lagi penulis yang seniman tadi memberdayakan imajinasinya untuk membuat tiruan tingkah-laku (mimesis) seolah-olah tokoh cerita dalam karyanya adalah ”orang yang hidup” sebagaimana yang lazim ditemukan di kenyataan faktual sehari-hari. Penulis berimajinasi tentang rangkaian kalimat-kalimat yang akan diucapkan tokoh ceritanya. Ia kemudian menggunakan kutipan-kutipan langsung dengan tujuan agar tokoh ceritanya tampak sebagai ”orang hidup yang bisa berbicara” dan ”berinteraksi dengan lingkungan sosialnya melalui penjelasan ilustratif.” Bagaimana dengan tempat, suasana dan kejadian dalam cerita sepertinya hal yang nyata terjadi? Penulis melalui pengaturan tahap-tahap berjalannya peristiwa fiksi (plot / alur cerita) dalam ceritanya telah menentukan secara sepihak sehubungan dengan setting of place and time, nuance of fictional incidents, maka kita bisa melihat bahwa tokoh cerita menunjukkan perbuatan tertentu yang dilakukannya ada dalam suasana, waktu dan tempat yang tertentu pula.

     Lalu, bagaimana bila sebuah cerita yang tersaji dalam cerpen, novel atau drama yang diangkat atau mengambil sumber dari pengalaman pribadi seseorang?
     Tetap saja penulis yang menuliskan cerita-cerita yang dipandang sebagai ”Kisah-Kisah Nyata” sebenarnya telah merubahnya menjadi cerita fiksi disebabkan oleh pemanfaatan daya imajinasinya. Bila cerita-cerita itu hampir mirip dengan kejadian-kejadian tertentu yang telah terjadi, penulis cerita melakukan suatu upaya kembali ke masa lalu untuk menjadikan pengalaman-pengalaman tertentu yang dialami sebagai rujuk acuan penulisan cerita. Kemudian, dengan bahan kenangan pengalaman masa lalu tersebut, penulis cerita berimajinasi dalam rangka penyusunan kembali peristiwa-peristiwa masa lalu ke dalam bentuk sebuah kisah fiksi yang meniru kenyataan sebenarnya yang disajikan kembali dalam bentuk baru yaitu ”Kisah-Kisah Nyata”.
     Perkataan seorang filsuf Perancis, Rene Descartes, sehubungan dengan ini. De Omnibus Dubitandum – Segala sesuatu harus diragukan. Mengapa segala sesuatu harus diragukan bila itu adalah fakta-fakta masa lalu yang diceritakan kembali?
     Manusia sebagai individu berinteraksi dengan equilibirium sosialnya. Ia adalah pribadi dengan segala model tingkah laku dan perbuatannya yang tipikal. Ia adalah individu yang memiliki persepsi, jenis penalaran dan kesimpulan pribadi yang dibuatnya berdasarkan pandangan personalnya (subjektifitas). Ketika ada suatu peristiwa yang mengandung kenyataan faktual (benar-benar terjadi) tengah dialami, ada suatu upaya mencermati melalui penalaran koginitif guna mengenali dan menilai ”apa sesungguhnya yang tengah terjadi di hadapannya itu”, mempersepsikan dari sudut pandang subjektifitasnya, terakhir membuat kesimpulan yang sekali lagi sangat bersifat subjektif bukan obyektif demi menyimpannya dalam kesan-kesan menarik di ruang memori jangka panjangnya / kenangan. Saat ia berupaya untuk memaparkannya kembali dalam bentuk penyampaian dengan komunikasi verbal (ucapan-ucapan diartikulasikannya), maka kenyataan faktual dari peristiwa yang pernah dilihat dan dialaminya itu telah terkontaminasi oleh subjektifitas pribadinya, sehingga kebenaran yang disajikannya bukanlah kebenaran apa adanya. Hal ini disebabkan baik oleh pengurangan maupun penambahan fakta-fakta yang sedang ia sampaikan kembali melalui komunikasi verbalnya. Untuk itulah, Descartes mengatakan secara tersirat bahwa kebenaran yang disampaikan kembali secara subjektif mesti diperiksa lagi keabsahannya – segala sesuatu harus diragukan.
     Sebagai kesimpulannya, bahwa semua karya sastra adalah karya seni dalam berbagai jenrenya yang khas memiliki kenyataan artistik dengan kandungan nilai-nilai estetika tersendiri produk dari cita rasa kesenian dan olah imajinasi penulis sebagai seniman kata-kata. Kebenaran dalam karya sastra adalah suatu kebenaran fiksional atau ’kebenaran serba-mungkin’ yang mana kemungkinan memang ada dalam kenyataan faktual sehari-hari, atau kemungkinan hanyalah rekayasa dari daya imajinasi intellektual penulisnya.


2.3 SASTRA PEMBERI KEBENARAN
Dalam kenyataan, ukuran kebenaran merupakan ukuran yang sering digunakan dalam menilai suatu karya sastra. Memang tanggung jawab terhadap kebenaran ini harus ada pada setiap sastrawan dengan hasil karyanya. Kebenaran yang dimaksudkan bukanlah kebenaran yang klop dengan kenyataan pengalaman sehari-hari. Tetapi lebih luas dari itu, yaitu kebenaran yang ideal, kebenaran yang bukan saja bertumpu pada kehidupan nyata yang terjadi sekarang. Tetapi juga kebenaran yang sepatutnya terjadi, kebenaran yang diinginkan.
Penafsiran kebenaran yang lebih luas adalah kebenaran yang mencakup segi perlambangan (the criterion of symbolic truth) . Dalam pengertian kebenaran semacam itu membantu memberikan jawaban yang wajar tentang mengapa kita dapat menerima cerita-cerita dongeng atau kepahlawanan yang diperbaurkan dengan keajaiban, sebagai suatu bentuk karya sastra yang bernilai.
Wellek dan Warren (1990:32) menyatakan bahwa kebenaran sastra tampaknya merupakan kebenaran dalam sastra yang menurut filsafat dalam wujud konseptual sistematis dari luar bidang sastra yang dituangkan dalam wujud sastra.
Pembenaran pernyataan Wellek dan Warren dalam hal kebenaran ditegaskan melalui pernyataan selanjutnya tentang pengetahuan, kebenaran, kognisi, dan kebijaksanaan. Perlu ditekankan sekali lagi, kebenaran yang dimaksudkan adalah kebenaran yang dibatasi pada hal-hal yang dapat dibuktikan secara metodis oleh siapa pun secara deduktif.
T.S. Eliot agak ragu mengenai hal ini, menurutnya, kebenaran merupakan wilayah para pemikir sistematis, sedangkan sastrawan bukan pemikir, meskipun pada dasarnya dapat menjadi pemikir.
Baik di kalangan kebudayaan timur maupun barat sejak dahulu sudah ada anggapan bahwa seorang yang akrab dengan sastra akan lebih utuh kemanusiaannya. Mengapa? Karena sastra menunjang daya kreatif, dapat menjembatani pertentangan-pertentangan dan ingin mengungkapkan yang tidak terungkap. Dunia nyata yang dipaparkan dan sebuah karya sastra tidak hanya terbatas pada satu aspek kenyataan, melainkan berbagai ragam segi.
     Kebenaran sastra yang tidak pernah bermakna tunggal itu ditegaskan pula oleh Hall (1983:VI) yang mengatakan bahwa kebenaran sastra merupakan kebenaran yang “inexact, changeable, and subject to argument” karena kodrat sastra yang merepresentasikan manusia dengan segala kehidupannya yang juga ambigius, komplek, dan mudah berubah-ubah. Kebenaran seperti ini rupa-rupanya tidak hanya dimonopoli oleh sastra.


BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN 
     Kebenaran dalam karya sastra bukan kebenaran yang sama persis dengan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, kebenaran pelambangan, kebenaran ideal, atau kebenaran yang sepatutnya terjadi.
     Kebenaran sastra tidak sama dengan kebenaran agama, hukum dan undang-undang (Gama, Singgalang, 11/06/06). Kebenaran sastra melingkupi tiga dimensi silendris: sastra itu sendiri (teks), pengarang sebagai pencipta sastra dan pembaca sebagai penikmat sastra. Ketiga unsur tersebut memiliki hubungan yang erat, tetapi masing-masingnya memiliki hak otonom.
     Karya sastra adalah karya seni dalam berbagai jenrenya yang khas memiliki kenyataan artistik dengan kandungan nilai-nilai estetika tersendiri produk dari cita rasa kesenian dan olah imajinasi penulis sebagai seniman kata-kata. Kebenaran dalam karya sastra adalah suatu kebenaran fiksional atau ’kebenaran serba-mungkin’ yang mana kemungkinan memang ada dalam kenyataan faktual sehari-hari, atau kemungkinan hanyalah rekayasa dari daya imajinasi intellektual penulisnya.



SUMBER:
bahasa.kompasiana.com/.../kebenaran-dalam-karya-sastra-faktual-atau fisikional

No comments:

Klasifikasi Bunyi

  Klasifikasi Bunyi A.     Vokal dan Konsonan Pada umumnya bunyi bahasa dibedakan atas vokal dan konsonan. Bunyi vokal dihasilkan den...