Sunday, December 16, 2012
Sastra Sebagai Suatu Pemberi Kebenaran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Ketika
kita membaca suatu karya sastra sepertinya kita tengah berada di tempat cerita
itu berlangsung dan seolah-olah ikut secara aktif mengalami atau setidaknya
menyaksikan peristiwa-peristiwa yang dinarasikan oleh penulisnya.
Kenyataan-kenyataan
yang digambarkan berhasil menyedot perhatian kita untuk tetap menyimak jalan
cerita. Seakan-akan kita tak mau ketinggalan barang sedetik pun
kejadian-kejadian yang sedang diceritakan. Kita menyaksikan
peristiwa-peristiwa, tingkah-laku para tokoh cerita yang sepertinya benar-benar
hidup dan terjadi.
Bagaimana
ini tampak sedemikian nyata dalam gambaran benak kita? Mengapa sepertinya ada
sebuah dunia, orang-orang yang hidup melakukan perbuatan-perbuatan tertentu
yang mana kita sebagai pembaca terserap ke dalamnya? Apakah peristiwa-peristiwa
yang disajikan dalam cerita benar-benar faktual? Ataukah hanya rekayasa
pengarangnya saja?
Dan juga
kita perlu mengetahui apakah kebenaran didalam sebuah karya sastra itu dapat di
pertanggung jawabkan dan sebenarnya apa saja yang di maksud sastra sebagai
pemberi kebenaran itu. Mari kita selidiki satu persatu tentang permasalahan
tersebut.
1.2 RUMUSAN
MASLAH
a. Apa sebenarnya sastra dan kebenaran itu
b. Apa saja kebenaran yang terdapat
didalam karya sastra tersebut
c. Seperti apa sastra yang dimaksud
pemberi kebenaran
1.3 TUJUAN MASALAH
a. Untuk mengetahui apa sastra dan seperti
apa yang dimaksud kebenaran dan sastra
b. Untuk mengetahui apa saja yang
terkandung dalamn kebenaran sastra itu kebenaran fisikional
atau factual
atau factual
c. Agar memahami yang dimkasud sastra
pemberi kebenaran itu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
SASTRA DAN KEBENARAN
Seseorang yang ingin
memahami "kesiapan" sastrawan tentu perlu membaca karyanya. Hal itu
dapat dilakukan jika sastrawan itu mampu mengutarakan pikiran dan perasaanya
dengan baik dan jelas. Kejelasan pengungkapan khazanah batin sastrawan ke dalam
karyanya itu tentu bergantung pada kepiawaiannya memberdayakan bahasa sebagai
sarananya.
Betapa pun hebatnya gejolak
imajinasi atau ide sastrawan, ia tidak akan mampu menuangkannya sama persis
dengan apa yang dirasakannya. Hal itu boleh jadi disebabkan oleh minimnya
penguasaan bahasa sastrawan dan/atau keterbatasan bahasa itu sendiri sebagai
sarana. Selain itu, apa yang terungkap dalam karya itu bukanlah semata-mata
hasil pengamatan sastrawan, tetapi juga apa yang dirasakan dan ditafsirkannya
tentang objek yang dihadapinya. Karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa seni
merupakan tiruan alam tidak sepenuhnya benar.
Bila karya sastra bukan
semata-mata tiruan alam, berarti sastra itu tidak bisa dipandang sebagai
sesuatu yang memperjuangkan kebenaran. Akan tetapi, dalam kenyataannya, ukuran
kebenaran sering diterapkan orang dalam menilai suatu karya sastra. Penikmat
sastra acapkali menghubungkan peristiwa yang tertuang dalam karya sastra dengan
kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Tanggung jawab moral
terhadap kebenaran itu memang harus ada dalam diri sastrawan melalui karyanya.
Jika tidak, penikmat sastra alam menolaknya. Untuk itu, yang perlu dipersoalkan
adalah pengertian kebenaran dalam karya sastra itu.
Kebenaran dalam karya
sastra bukan kebenaran yang sama persis dengan kebenaran dalam kehidupan
sehari-hari, kebenaran pelambangan, kebenaran ideal, atau kebenaran yang
sepatutnya terjadi. Patokan semacam itu akan dapat membantu pemahaman para
penikmat sastra dalam menerima cerita dongeng atau cerita kepahlawanan yang
berbaur dengan kesaktian dan keajaiban, sebagaimana terlihat dalam epos
"Ramayana" dan "Mahabarata".
Kebenaran sastra tidak sama dengan
kebenaran agama, hukum dan undang-undang (Gama, Singgalang, 11/06/06).
Kebenaran sastra melingkupi tiga dimensi silendris: sastra itu sendiri (teks),
pengarang sebagai pencipta sastra dan pembaca sebagai penikmat sastra. Ketiga
unsur tersebut memiliki hubungan yang erat, tetapi masing-masingnya memiliki
hak otonom. Setiap pengarang memiliki hak untuk menulis apa saja. Pembaca juga
bebas memahami atau mengintepretasi teks sastra sesuai persepsinya
sendiri-sendiri. Jadi, tidak ada pemaksaan untuk memahami dan tidak ada yang
berhak mengatakan bahwa pemahaman mereka paling benar.
Menikmati karya sastra sebenarnya merupakan rekreasi untuk menyelami pikiran penulisnya. Pikiran-pikiran penulis disuguhkan untuk dinikmati pembacanya. Tentunya, seorang pembaca dengan pembaca yang lain akan menemukan titik pandang berbeda dari suguhan yang sama. Itulah uniknya karya sastra. Tetapi, ada kalanya intepretasi pembaca menimbulkan suasana tidak menyenangkan bagi pembaca lainnya. Pembaca A mengintepretasi begini, sedangkan pembaca B mengintepretasi begitu. Terjadilah perbedaan persepsi. Itu hal yang wajar. Beda pendapat biasa. Yang tidak wajar dan tidak biasa adalah penghakiman yang membabi buta. Ramai-ramai karya yang berhaluan ini dilarang, yang berhaluan itu dibredel bahkan dibakar.
Menikmati karya sastra sebenarnya merupakan rekreasi untuk menyelami pikiran penulisnya. Pikiran-pikiran penulis disuguhkan untuk dinikmati pembacanya. Tentunya, seorang pembaca dengan pembaca yang lain akan menemukan titik pandang berbeda dari suguhan yang sama. Itulah uniknya karya sastra. Tetapi, ada kalanya intepretasi pembaca menimbulkan suasana tidak menyenangkan bagi pembaca lainnya. Pembaca A mengintepretasi begini, sedangkan pembaca B mengintepretasi begitu. Terjadilah perbedaan persepsi. Itu hal yang wajar. Beda pendapat biasa. Yang tidak wajar dan tidak biasa adalah penghakiman yang membabi buta. Ramai-ramai karya yang berhaluan ini dilarang, yang berhaluan itu dibredel bahkan dibakar.
2.2
KEBENARAN DIDALAM SASTRA
Sastra
sebagai karya seni sesungguhnya tidak terlepas dari imajinasi. Suatu karya
sastra adalah hasil olah imajinasi penulisnya, biar pun kisah yang disajikan
mungkin saja berasal dari pengalaman yang benar-benar dialami, pernah
disaksikan orang-orang tertentu, singkatnya cerita-cerita yang kita kenal
sebagai ”True Story” atau yang diangkat dari peristiwa khusus yang pernah
terjadi dalam kehidupan pribadi orang-orang tertentu. Bahkan, sebuah biografi
yang berisi catatan kehidupan tokoh tertentu sekali pun, tak akan bisa terlepas
dari peran imajinasi pengarangnya. Apa artinya ini? Apakah semua yang
dikisahkan kembali berarti sebuah kebohongan artistik hasil olah imajinasi
penulis semata? Apa nama jenis kenyataan dalam karya-karya sastra itu? Mari
kita cermati penjelasan ”Paus Sastra Indonesia” sehubungan dengan
pertanyaan-pertanyaan ini.
Pernyataan
H.B. Jassin di atas sangat jelas menerangkan bahwa seorang penulis adalah juga
seorang seniman kata-kata. Kenyataan-kenyataan artistik adalah sifat dan ciri
khas dari fakta-fakta yang tersaji dalam cerita fiksi. Sebagai seorang seniman,
ia memanfaatkan imajinasinya untuk merangkai cerita, dan dengan cita rasa,
pandangan pribadi nilai-nilai estetika, penulis karya fiksi membangun sifat
keartistikan cerita fiksinya. Cerita tersebut kemudian memiliki tokohnya.
Lagi-lagi penulis yang seniman tadi memberdayakan imajinasinya untuk membuat
tiruan tingkah-laku (mimesis) seolah-olah tokoh cerita dalam karyanya adalah
”orang yang hidup” sebagaimana yang lazim ditemukan di kenyataan faktual
sehari-hari. Penulis berimajinasi tentang rangkaian kalimat-kalimat yang akan
diucapkan tokoh ceritanya. Ia kemudian menggunakan kutipan-kutipan langsung
dengan tujuan agar tokoh ceritanya tampak sebagai ”orang hidup yang bisa
berbicara” dan ”berinteraksi dengan lingkungan sosialnya melalui penjelasan
ilustratif.” Bagaimana dengan tempat, suasana dan kejadian dalam cerita
sepertinya hal yang nyata terjadi? Penulis melalui pengaturan tahap-tahap
berjalannya peristiwa fiksi (plot / alur cerita) dalam ceritanya telah
menentukan secara sepihak sehubungan dengan setting of place and time,
nuance of fictional incidents, maka kita bisa melihat bahwa tokoh cerita
menunjukkan perbuatan tertentu yang dilakukannya ada dalam suasana, waktu dan
tempat yang tertentu pula.
Lalu,
bagaimana bila sebuah cerita yang tersaji dalam cerpen, novel atau drama yang
diangkat atau mengambil sumber dari pengalaman pribadi seseorang?
Tetap
saja penulis yang menuliskan cerita-cerita yang dipandang sebagai ”Kisah-Kisah
Nyata” sebenarnya telah merubahnya menjadi cerita fiksi disebabkan oleh
pemanfaatan daya imajinasinya. Bila cerita-cerita itu hampir mirip dengan
kejadian-kejadian tertentu yang telah terjadi, penulis cerita melakukan suatu
upaya kembali ke masa lalu untuk menjadikan pengalaman-pengalaman tertentu yang
dialami sebagai rujuk acuan penulisan cerita. Kemudian, dengan bahan kenangan
pengalaman masa lalu tersebut, penulis cerita berimajinasi dalam rangka
penyusunan kembali peristiwa-peristiwa masa lalu ke dalam bentuk sebuah kisah
fiksi yang meniru kenyataan sebenarnya yang disajikan kembali dalam bentuk baru
yaitu ”Kisah-Kisah Nyata”.
Perkataan
seorang filsuf Perancis, Rene Descartes, sehubungan dengan ini. De Omnibus
Dubitandum – Segala sesuatu harus diragukan. Mengapa segala sesuatu harus
diragukan bila itu adalah fakta-fakta masa lalu yang diceritakan kembali?
Manusia
sebagai individu berinteraksi dengan equilibirium sosialnya. Ia adalah pribadi
dengan segala model tingkah laku dan perbuatannya yang tipikal. Ia adalah
individu yang memiliki persepsi, jenis penalaran dan kesimpulan pribadi yang
dibuatnya berdasarkan pandangan personalnya (subjektifitas). Ketika ada suatu peristiwa
yang mengandung kenyataan faktual (benar-benar terjadi) tengah dialami, ada
suatu upaya mencermati melalui penalaran koginitif guna mengenali dan menilai
”apa sesungguhnya yang tengah terjadi di hadapannya itu”, mempersepsikan dari
sudut pandang subjektifitasnya, terakhir membuat kesimpulan yang sekali lagi
sangat bersifat subjektif bukan obyektif demi menyimpannya dalam kesan-kesan
menarik di ruang memori jangka panjangnya / kenangan. Saat ia berupaya untuk
memaparkannya kembali dalam bentuk penyampaian dengan komunikasi verbal
(ucapan-ucapan diartikulasikannya), maka kenyataan faktual dari peristiwa yang
pernah dilihat dan dialaminya itu telah terkontaminasi oleh subjektifitas
pribadinya, sehingga kebenaran yang disajikannya bukanlah kebenaran apa adanya.
Hal ini disebabkan baik oleh pengurangan maupun penambahan fakta-fakta yang
sedang ia sampaikan kembali melalui komunikasi verbalnya. Untuk itulah,
Descartes mengatakan secara tersirat bahwa kebenaran yang disampaikan kembali
secara subjektif mesti diperiksa lagi keabsahannya – segala sesuatu harus
diragukan.
Sebagai
kesimpulannya, bahwa semua karya sastra adalah karya seni dalam berbagai
jenrenya yang khas memiliki kenyataan artistik dengan kandungan nilai-nilai
estetika tersendiri produk dari cita rasa kesenian dan olah imajinasi penulis
sebagai seniman kata-kata. Kebenaran dalam karya sastra adalah suatu kebenaran
fiksional atau ’kebenaran serba-mungkin’ yang mana kemungkinan memang ada dalam
kenyataan faktual sehari-hari, atau kemungkinan hanyalah rekayasa dari daya
imajinasi intellektual penulisnya.
2.3 SASTRA
PEMBERI KEBENARAN
Dalam kenyataan, ukuran kebenaran merupakan ukuran
yang sering digunakan dalam menilai suatu karya sastra. Memang tanggung jawab
terhadap kebenaran ini harus ada pada setiap sastrawan dengan hasil karyanya.
Kebenaran yang dimaksudkan bukanlah kebenaran yang klop dengan kenyataan
pengalaman sehari-hari. Tetapi lebih luas dari itu, yaitu kebenaran yang ideal,
kebenaran yang bukan saja bertumpu pada kehidupan nyata yang terjadi sekarang.
Tetapi juga kebenaran yang sepatutnya terjadi, kebenaran yang diinginkan.
Penafsiran kebenaran yang lebih luas adalah
kebenaran yang mencakup segi perlambangan (the criterion of symbolic truth) . Dalam
pengertian kebenaran semacam itu membantu memberikan jawaban yang wajar tentang
mengapa kita dapat menerima cerita-cerita dongeng atau kepahlawanan yang
diperbaurkan dengan keajaiban, sebagai suatu bentuk karya sastra yang bernilai.
Wellek dan Warren (1990:32) menyatakan bahwa kebenaran
sastra tampaknya merupakan kebenaran dalam sastra yang menurut filsafat dalam
wujud konseptual sistematis dari luar bidang sastra yang dituangkan dalam wujud
sastra.
Pembenaran pernyataan Wellek dan Warren dalam hal
kebenaran ditegaskan melalui pernyataan selanjutnya tentang pengetahuan,
kebenaran, kognisi, dan kebijaksanaan. Perlu ditekankan sekali lagi, kebenaran
yang dimaksudkan adalah kebenaran yang dibatasi pada hal-hal yang dapat
dibuktikan secara metodis oleh siapa pun secara deduktif.
T.S. Eliot agak ragu mengenai hal ini, menurutnya,
kebenaran merupakan wilayah para pemikir sistematis, sedangkan sastrawan bukan
pemikir, meskipun pada dasarnya dapat menjadi pemikir.
Baik di kalangan kebudayaan timur maupun barat sejak
dahulu sudah ada anggapan bahwa seorang yang akrab dengan sastra akan lebih
utuh kemanusiaannya. Mengapa? Karena sastra menunjang daya kreatif, dapat
menjembatani pertentangan-pertentangan dan ingin mengungkapkan yang tidak
terungkap. Dunia nyata yang dipaparkan dan sebuah karya sastra tidak hanya
terbatas pada satu aspek kenyataan, melainkan berbagai ragam segi.
Kebenaran
sastra yang tidak pernah bermakna tunggal itu ditegaskan pula oleh Hall (1983:VI)
yang mengatakan bahwa kebenaran sastra merupakan kebenaran yang “inexact,
changeable, and subject to argument” karena kodrat sastra yang
merepresentasikan manusia dengan segala kehidupannya yang juga ambigius,
komplek, dan mudah berubah-ubah. Kebenaran seperti ini rupa-rupanya tidak hanya
dimonopoli oleh sastra.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kebenaran
dalam karya sastra bukan kebenaran yang sama persis dengan kebenaran dalam
kehidupan sehari-hari, kebenaran pelambangan, kebenaran ideal, atau kebenaran
yang sepatutnya terjadi.
Kebenaran sastra tidak sama dengan
kebenaran agama, hukum dan undang-undang (Gama, Singgalang, 11/06/06).
Kebenaran sastra melingkupi tiga dimensi silendris: sastra itu sendiri (teks),
pengarang sebagai pencipta sastra dan pembaca sebagai penikmat sastra. Ketiga unsur
tersebut memiliki hubungan yang erat, tetapi masing-masingnya memiliki hak
otonom.
Karya
sastra adalah karya seni dalam berbagai jenrenya yang khas memiliki kenyataan
artistik dengan kandungan nilai-nilai estetika tersendiri produk dari cita rasa
kesenian dan olah imajinasi penulis sebagai seniman kata-kata. Kebenaran dalam
karya sastra adalah suatu kebenaran fiksional atau ’kebenaran serba-mungkin’
yang mana kemungkinan memang ada dalam kenyataan faktual sehari-hari, atau
kemungkinan hanyalah rekayasa dari daya imajinasi intellektual penulisnya.
SUMBER:
bahasa.kompasiana.com/.../kebenaran-dalam-karya-sastra-faktual-atau fisikional
Ragam Menyimak
Ragam Menyimak
Seperti yang diketahui bahwa tujuan
menyimak adalah untuk memperoleh informasi, menangkap isi, serta memahami makna
komunikasi yang hendak disampaikan sang pembicara melalui ujaran. Inilah yang
merupakan tujuan umum. Di samping tujuan umum itu terdapat pula berbagai tujuan
khusus, yang menyebabkan adanya aneka ragam menyimak, yaitu:
A. Menyimak
Ekstensif, yang terdiri atas; menyimak sosial, menyimak sekunder,
menyimak estetik, dan menyimak pasif.
menyimak estetik, dan menyimak pasif.
B. Menyimak
Intensif, yang terdiri atas; menyimak kritis, menyimak konsentratif,
menyimak kreatif, menyimak eksplorasif, menyimak interogatif, dan menyimak
selektif (Tarigan, 1987:35).
menyimak kreatif, menyimak eksplorasif, menyimak interogatif, dan menyimak
selektif (Tarigan, 1987:35).
A. Menyimak Ekstensif
Menyimak Ekstensif (extensive learning) adalah
sejenis kegiatan menyimak mengenai hal-hal yang lebih umum dan lebih bebas
terhadap suatu ujaran, tidak perlu dibawah bimbingan langsung dari seorang guru
(Tarigan, 1987:35-36).
Penggunaan yang paling dasar adalah untuk menangkap
atau mengingat kembali bahan yang telah dikenal atau diketahui dalam suatu
lingkungan baru dengan cara baru. Keuntungan mengingatkan bahan lama kepada
para siswa, bahwa mereka melihat hal itu secara wajar dalam lingkungan yang
asli dan alamiah, bukan hanya sekedar dalam hubungan kelas, tempat pertama kali
disajikan secara formal.
Menyimak ekstensif adalah proses menyimak yang
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti: menyimak radio, televisi,
percakapan orang di pasar, pengumuman, dan sebagainya. Menyimak seperti ini
sering pula diartikan sebagai kegiatan menyimak yang berhubungan dengan hal-hal
yang umum dan bebas terhadap suatu bahasa. Dalam prosesnya di sekolah tidak
perlu langsung di bawah bimbingan guru. Pelaksanaannya tidak terlalu dituntut
untuk memahami isi bahan simakan. Bahan simakan perlu dipahami secara sepintas,
umum, garis besarnya saja atau butir-butir yang penting saja. Jenis menyimak
ekstensif dapat dibagi empat:
Yang
termasuk kelompok menyimak ekstensif sebagai berikut :
1.
Menyimak Sosial
Menyimak Sosial (social listening) atau menyimak
konversasional (conversational listening) ataupun menyimak sopan (courtreous
listening) biasanya berlangsung dalam situasi-situasi sosial tempat orang-orang
mengobrol atau bercengkrama mengenai hal-hal yang menarik perhatian semua orang
yang hadir dan saling mendengarkan satu sama lain untuk membuat
responsi-responsi yang wajar, mengikuti hal-hal yang menarik, dan
memperlihatkan perhatian yang wajar terhadap apa-apa yang dikemukakan (Dawson
dalam Tarigan,1987:37).
Dapat dikemukakan bahwa menyimak sosial paling sedikit
mencakup dua hal,yaitu :
(i) Menyimak secara sopan santun dan penuh perhatian terhadap percakapan atau
obrolan dalam situasi-situasi sosial dengan suatu maksud,
(i) Menyimak secara sopan santun dan penuh perhatian terhadap percakapan atau
obrolan dalam situasi-situasi sosial dengan suatu maksud,
(ii) Menyimak
serta memahami peranan-peranan pembicara dalam proses
komunikasi tersebut. Orang-orang yang dapat menaati kedua hal tersebut
dikatakan sebagai anggota-anggota masyrakat yang baik
komunikasi tersebut. Orang-orang yang dapat menaati kedua hal tersebut
dikatakan sebagai anggota-anggota masyrakat yang baik
2.
Menyimak Sekunder
Tarigan (1987:38) menyatakan bahwa “menyimak
sekunder (secondary listening) adalah sejenis kegiatan menyimak secara
kebetulan (casual listening) dan secara ekstensif (extensive listening).”
Menyimak ini lebih bersifat umum tanpa ada bimbingan. Apa yang didengar oleh
penyimak bukan menjadi tujuan utama.
Contoh
:
a. Sambil
menikmati musik, sementara kita ikut berpartisipasi dalam kegiatan menulis atau
melukis.
b. Pada
acara-acara radio yang terdengar sayup-sayup, sementara kita menulis surat
kepada teman.
3.
Menyimak Estetik
Menyimak estetik (aesthetic listening) atau menyimak
apresiatif (appreciational listening) adalah fase terakhir dari kegiatan
menyimak kebetulan dan termasuk ke dalam menyimak ekstensif (Tarigan, 1987:38).
Menyimak estetik mencakup menyimak musik, puisi, menikmati cerita, teka-teki
yang dapat mengapresiasikan terhadap suatu hal tertentu. Menyimak estetik
bertujuan untuk siswa agar dapat menyimak musik, puisi, dan drama. Sehingga
dapat menikmati dan mengapresiasikan cerita-ceritanya dalam lakon-lakon yang
dibacakan atau diceritakan oleh guru atau siswa.
4.
Menyimak pasif
Menyimak pasif (passive listening) adalah penyerapan
suatu ajaran tanpa upaya sadar yang biasanya menandai upaya-upaya kita pada
saat belajar dengan kurang teliti, tergesa-gesa, menghapal luar kepala,
berlatih santai, serta menguasai sesuatu bahasa. Untuk melakukan hal ini, perlu
mempergunakan teknik-teknik tertentu yang bermanfaat, antara lain:
1) Berilah
otak dan telinga kesempatan menyimak banyak-banyak.
Kita
kadang-kadang tercengang menyaksikan orang-orang pribumi yang tidak bersekolah, tetapi
mereka lancar sekali mempergunakan beberapa bahasa asing. Ini dimungkinkan
karena hidup langsung didaerah bahasa-bahasa tersebut dalam waktu yang lama dan
memberi kesempatan yang cukup bagi telinga dan otak mereka menyimak
bahasa-bahasa tersebut. Kita dapat meniru kondisi-kondisi ideal orang-orang
pribumi ini dengan memanfaatkan program-program radio,televisi,rekaman-rekaman
serta mendengarkan kuliah-kuliah yang merupakan bahan mentah yang memuaskan
yang dapat dipergunakan oleh otak untuk mengasimilasikan,memilih, serta
menyimpan data-data penting mengenai bahasa.
2) Tenang
dan santai.
Kegelisahan-kegelisahan,
sekalipun dalam belajar bahasa,
seakan-akan memutuskan upaya-upaya otak kita untuk melakukan tugasnya, oleh karena itu, dalam hal menyimak
pun diperlukan ketenangan dan kesantaian.
3) Jangan
memasang rintangan bagi bunyi.
Orang-orang
yang bermukim didekat rel kereta api yang bising cenderung untuk melindungi
diri mereka dengan “tabir bunyi”, penghalang secara mental, sehingga mereka
tidak mendengar lagi kereta api lewat. Beberapa orang cenderung memasang
penghalang atau rintangan bunyi bagi bahasa-bahasa asing dan akibatnya mereka
tidak lagi mengasimilasikan bahasa itu sedemikian rupa sehingga hal itu
seolah-olah banyak menolong mereka pada satu tingkat kesadaran. Akan tetapi,
dalam beberapa contoh, orang-orang ini dapat mempergunakan bahasa asing dengan
lancar sekali kalau mereka mabuk atau sakit jiwa. Dengan perkataan lain, pada
saat orang itu mabuk atau sakit jiwa, seolah-olah rintangan yang ada selama ini
telah dapat diobrak atau diterobos.
4) Berikanlah
waktu yang cukup bagi telinga dan otak.
Pada
akhir minggu kebanyakan orang bertanggapan mereka haruslah mulai berbicara
suatu bahasa asing. Tentu saja tanpa asing mereka dapat memakai beberapa
ekspresi,tetapi untuk memanfaatkan “passive
learning” dengan sebaik-baiknya seseorang haruslah memberi kesempatan bagi
otak untuk bekerja beberapa bulan.
5) Beri
kesempatan bagi otak dan telinga bekerja, sementara mengerjakan sesuatu yang
lain (Nida dalam Tarigan, 1987:39-40)
Suatu
cara yang baik kita ialah memasang rekaman dalam suatu bahasa, sementara kita
bercukur, makan ,membaca koran sore, ataupun pada saat bermain dengan
anak-anak. Kita akan dapat memberi perhatian yang serius sepanjang waktu. Oleh
sebab itu, berilah kesempatan menyimak bagi telinga dan otak secara santai.
Banyak orang menganggap sepele hal itu, tetapi sebenarnya sangat penting dalam
belajar bahasa, terlebih-lebih bahasa asing. Jangan dilupakan bahwa pada saat
tidur pun otak kita tetap aktif.
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Menyimak merupakan suatu proses sebagai sebuah proses , peristiwa
menyimak diawali dengan kegiatan mendengarkan bunyi bahasa secara langsung atau
tidak langsung.
Bunyi bahasa yang ditangkap oleh telinga diidentifikasi jenis dan pengelompokkannya menjadi suku kata , frase , klausa , kalima dan wacana . Jeda dan intonasi juga ikut diperhatikan oleh penyimak.
Bunyi bahasa yang ditangkap oleh telinga diidentifikasi jenis dan pengelompokkannya menjadi suku kata , frase , klausa , kalima dan wacana . Jeda dan intonasi juga ikut diperhatikan oleh penyimak.
Bunyi
bahasa yang diterima kemudian ditafsirkan maknanya dan dinilai kebenarannya
agar dapat diputuskan , diterima. Dengan kata lain menyimak merupakan suatu
proses yang mencakup kegiatan mendengarkan bunyi bahasa. ,mengidentifikasi ,
menafsirkan, menilai , dan meraksi atas makna yang terkandung di dalam wacana
lisan.
Tujuan utama menyimak antara lain untuk
mendapatkan fakta , menganalisis fakta , mengevaluasi fakta , mendapatkan
inspirasi , mendapatkan hiburan , dan memperbaiki kemampuan berbicara
DAFTAR
PUSTAKA
1. Tarigan,Prof.
Dr. Henry Guntur 1986.”Menyimak sebagai suatu keterampilan berbahasa”. Bandung: Penerbit Angkasa.
Pedoman EYD yang disempurnakan
I.
PEMAKAIAN HURUF
A. Huruf Abjad
Abjad yang
digunakan dalam ejaan bahasa Indonesia terdiri atas huruf yang berikut. Nama tiap
huruf disertakan di kolom ketiga.
B. Huruf Vokal
Huruf yang melambangkan vokal dalam bahasa Indonesia
terdiri atas huruf a, e, i, o, dan u.
Huruf
Vokal
|
Contoh
Pemakaian dalam Kata
|
||
Posisi
Awal
|
Posisi
Tengah
|
Posisi
Akhir
|
|
a
e*
i
o
u
|
api
enak
emas
itu
oleh
ulang
|
padi
petak
kena
simpan
kota
bumi
|
lusa
sore
tipe
murni
radio
ibu
|
Keterangan:
* Untuk keperluan pelafalan kata yang benar, tanda aksen
( ′ ) dapat digunakan
jika ejaan kata menimbulkan keraguan.
jika ejaan kata menimbulkan keraguan.
C. Huruf Konsonan
Huruf yang
melambangkan konsonan dalam bahasa Indonesia terdiri atas huruf-huruf b, c,
d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z.
D. Huruf Diftong
Di dalam
bahasa Indonesia terdapat diftong yang dilambangkan dengan ai, au, dan oi.
Huruf
Diftong
|
Contoh
Pemakaian dalam Kata
|
||
Posisi
Awal
|
Posisi
Tengah
|
Posisi
Akhir
|
|
ai
au
oi
|
ain
aula
-
|
malaikat
saudara
boikot
|
pandai
harimau
amboi
|
E. Gabungan Huruf Konsonan
Gabungan huruf
konsonan kh, ng, ny, dan sy masing-masing melambangkan satu bunyi
konsonan.
Gabungan
Huruf Konsonan
|
Contoh
Pemakaian dalam Kata
|
||
Posisi
Awal
|
Posisi
Tengah
|
Posisi
Akhir
|
|
kh
ng
ny
sy
|
khusus
ngilu
nyata
syarat
|
akhir
bangun
banyak
isyarat
|
Tarikh
senang
-
Arasy
|
Catatan:
Nama orang, badan hukum, dan nama diri yang
lain ditulis sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, kecuali
jika ada pertimbangan khusus.
F. Huruf Kapital
1. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf
pertama kata pada awal kalimat.
2.
Huruf kapital
dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung.
3.
Huruf kapital
dipakai sebagai huruf pertama dalam kata dan ungkapan yang berhubungan dengan
agama, kitab suci, dan Tuhan, termasuk kata ganti untuk Tuhan.
G. Huruf Miring
1. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk
menuliskan nama buku,
majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan.
majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan.
Catatan:
Judul skripsi, tesis, atau disertasi yang
belum diterbitkan dan dirujuk dalam tulisan tidak ditulis dengan huruf
miring, tetapi diapit dengan tanda petik.
2. Huruf
miring dalam cetakan dipakai untuk menegaskan atau
mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata.
mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata.
Buatlah kalimat dengan menggunakan ungkapan
berlepas tangan.
3. A. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk
menuliskan kata atau
ungkapan yang bukan bahasa Indonesia.
ungkapan yang bukan bahasa Indonesia.
B. Ungkapan asing yang telah diserap ke dalam
bahasa Indonesia
penulisannya diperlakukan sebagai kata Indonesia.
penulisannya diperlakukan sebagai kata Indonesia.
Catatan:
Dalam tulisan tangan atau ketikan, huruf
atau kata yang akan dicetak miring digaris bawahi.
H. Huruf Tebal
1. Huruf tebal dalam cetakan dipakai untuk
menuliskan judul buku,
bab, bagian bab, daftar isi, daftar tabel, daftar lambang, daftar pustaka,
indeks, dan lampiran
bab, bagian bab, daftar isi, daftar tabel, daftar lambang, daftar pustaka,
indeks, dan lampiran
2. Huruf tebal tidak dipakai dalam cetakan
untuk menegaskan atau
mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata; untuk
keperluan itu digunakan huruf miring.
mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata; untuk
keperluan itu digunakan huruf miring.
Catatan:
Dalam tulisan tangan atau ketikan manual,
huruf atau kata yang akan dicetak dengan huruf tebal diberi garis bawah ganda.
II. PENULISAN KATA
A. Kata Dasar
Kata
yang berupa kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan.
B. Kata Turunan
1. A. Imbuhan
(awalan, sisipan, akhiran) ditulis serangkai dengan
bentuk dasarnya.
bentuk dasarnya.
B. Imbuhan dirangkaikan dengan tanda hubung jika
ditambahkan
pada bentuk singkatan atau kata dasar yang bukan bahasa Indonesia.
pada bentuk singkatan atau kata dasar yang bukan bahasa Indonesia.
2. Jika
bentuk dasarnya berupa gabungan kata, awalan atau akhiran
ditulis serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau
mendahuluinya.
ditulis serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau
mendahuluinya.
3. Jika
bentuk dasar yang berupa gabungan kata mendapat awalan dan
akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu ditulis serangkai.
akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu ditulis serangkai.
4.
Jika salah satu
unsur gabungan kata hanya dipakai dalam
kombinasi, gabungan kata itu ditulis serangkai.
kombinasi, gabungan kata itu ditulis serangkai.
Catatan:
(1) Jika bentuk terikat diikuti oleh kata yang
huruf awalnya huruf kapital, tanda hubung (-) digunakan di antara kedua unsur
itu.
(2) Jika kata maha sebagai unsur
gabungan merujuk kepada Tuhan
yang diikuti oleh kata berimbuhan, gabungan itu ditulis terpisah dan
unsur-unsurnya dimulai dengan huruf kapital.
yang diikuti oleh kata berimbuhan, gabungan itu ditulis terpisah dan
unsur-unsurnya dimulai dengan huruf kapital.
(3) Jika kata maha, sebagai unsur
gabungan, merujuk kepada Tuhan
dan diikuti oleh kata dasar, kecuali kata esa, gabungan itu ditulis
serangkai.
dan diikuti oleh kata dasar, kecuali kata esa, gabungan itu ditulis
serangkai.
C. Bentuk Ulang
1. Bentuk ulang ditulis dengan menggunakan
tanda hubung di antara
unsur-unsurnya.
unsur-unsurnya.
Catatan:
(1) Bentuk ulang gabungan kata ditulis dengan
mengulang unsur pertama saja.
(2) Bentuk ulang gabungan kata yang unsur keduanya
adjektiva ditulis dengan mengulang unsur pertama atau unsur keduanya dengan
makna yang berbeda.
2.
Awalan dan akhiran ditulis serangkai dengan bentuk ulang.
Catatan:
Angka 2 dapat digunakan dalam penulisan
bentuk ulang untuk keperluan khusus, seperti dalam pembuatan catatan rapat atau
kuliah.
B.
Gabungan Kata
1. Unsur-unsur
gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk ditulis terpisah.
2.
Gabungan
kata yang dapat menimbulkan kesalahan pengertian dapat ditulis dengan
menambahkan tanda hubung di antara unsur-unsurnya untuk menegaskan pertalian
unsur yang
3.
Gabungan
kata yang dirasakan sudah padu benar ditulis serangkai.
C.
Suku Kata
1. Pemenggalan
kata pada kata dasar dilakukan sebagai berikut.
A.
Jika di tengah kata ada huruf vokal yang berurutan, pemenggalannya
dilakukan di
antara kedua huruf vokal itu.
antara kedua huruf vokal itu.
B. Huruf diftong ai, au, dan oi tidak
dipenggal.
C. Jika di tengah kata dasar ada huruf
konsonan (termasuk gabungan huruf konsonan) di
antara dua buah huruf vokal, pemenggalannya dilakukan sebelum huruf konsonan itu.
antara dua buah huruf vokal, pemenggalannya dilakukan sebelum huruf konsonan itu.
2.
Pemenggalan
kata dengan awalan, akhiran, atau partikel dilakukan di antara bentuk dasar dan
imbuhan atau partikel itu.
Catatan:
(1) Pemenggalan kata berimbuhan yang
bentuk dasarnya mengalami perubahan dilakukan
seperti pada kata dasar.
seperti pada kata dasar.
(2) Akhiran -i tidak dipisahkan
pada pergantian baris.
(3) Pemenggalan kata bersisipan
dilakukan seperti pada kata dasar.
(4) Pemenggalan tidak dilakukan pada
suku kata yang terdiri atas satu vokal.
3. Jika sebuah kata terdiri atas dua unsur
atau lebih dan salah satu unsurnya itu dapat
bergabung dengan unsur lain, pemenggalannya dilakukan di antara unsur-unsur itu. Tiap-
tiap unsur gabungan itu dipenggal seperti pada kata dasar.
bergabung dengan unsur lain, pemenggalannya dilakukan di antara unsur-unsur itu. Tiap-
tiap unsur gabungan itu dipenggal seperti pada kata dasar.
4. Nama orang, badan hukum, atau nama diri
lain yang terdiri atas dua unsur atau lebih
dipenggal pada akhir baris di antara unsur-unsurnya (tanpa tanda pisah). Unsur nama yang
berupa singkatan tidak dipisahkan.
dipenggal pada akhir baris di antara unsur-unsurnya (tanpa tanda pisah). Unsur nama yang
berupa singkatan tidak dipisahkan.
F. Kata Depan di,
ke, dan dari
Kata depan di, ke, dan dari ditulis
terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali di dalam gabungan kata yang sudah
lazim dianggap sebagai satu kata, seperti kepada dan daripada.
G. Partikel
1. Partikel -lah,
-kah, dan -tah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
2. Partikel pun
ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya.
3. Partikel per
yang berarti ‘demi’, ‘tiap’, atau ‘mulai’
ditulis terpisah dari kata yang
mengikutinya.
mengikutinya.
H. Singkatan dan
Akronim
1. Singkatan
ialah bentuk singkat yang terdiri atas satu huruf atau lebih.
A.
Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat diikuti
dengan
tanda titik di belakang tiap-tiap singkatan itu.
tanda titik di belakang tiap-tiap singkatan itu.
B.
Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau
organisasi,
serta nama dokumen resmi yang terdiri atas gabungan huruf awal kata ditulis dengan
huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik.
serta nama dokumen resmi yang terdiri atas gabungan huruf awal kata ditulis dengan
huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik.
C. 1) Singkatan kata yang berupa gabungan
huruf diikuti dengan tanda titik.
2) Singkatan gabungan kata yang terdiri
atas tiga huruf diakhiri dengan tanda titik.
D.
Singkatan gabungan kata yang terdiri atas dua huruf (lazim digunakan
dalam surat
menyurat) masing-masing diikuti oleh tanda titik.
menyurat) masing-masing diikuti oleh tanda titik.
E.
Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata
uang tidak
diikuti tanda dengan titik.
diikuti tanda dengan titik.
2. Akronim ialah
singkatan dari dua kata atau lebih yang diperlakukan sebagai sebuah kata.
A.
Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal unsur-unsur nama diri
ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital tanpa tanda titik.
seluruhnya dengan huruf kapital tanpa tanda titik.
B.
Akronim nama diri yang berupa singkatan dari beberapa unsur ditulis
dengan huruf
awal kapital.
awal kapital.
C.
Akronim bukan nama diri yang berupa singkatan dari dua kata atau lebih
ditulis
dengan huruf kecil.
dengan huruf kecil.
Catatan:
Jika pembentukan akronim dianggap perlu, hendaknya diperhatikan
syarat-syarat berikut.
(1)
Jumlah suku kata akronim tidak melebihi jumlah suku kata yang lazim pada
kata Indonesia (tidak lebih dari tiga suku kata).
kata Indonesia (tidak lebih dari tiga suku kata).
(2)
Akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan
konsonan yang sesuai dengan pola kata bahasa Indonesia yang lazim agar mudah
diucapkan dan diingat.
konsonan yang sesuai dengan pola kata bahasa Indonesia yang lazim agar mudah
diucapkan dan diingat.
I. Angka dan
Bilangan
Bilangan dapat dinyatakan dengan angka
atau kata. Angka dipakai sebagai lambang bilangan atau nomor.
1.
Bilangan dalam teks yang dapat dinyatakan
dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf, kecuali jika bilangan itu
dipakai secara berurutan seperti dalam perincian atau paparan.
2.
Bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf, jika lebih dari dua
kata, susunan
kalimat diubah agar bilangan yang tidak dapat ditulis dengan huruf itu tidak ada pada
awal kalimat.
kalimat diubah agar bilangan yang tidak dapat ditulis dengan huruf itu tidak ada pada
awal kalimat.
3.
Angka yang menunjukkan bilangan utuh besar dapat dieja sebagian supaya
lebih
mudah dibaca.
mudah dibaca.
4.
Angka digunakan untuk menyatakan (a) ukuran panjang, berat, luas, dan
isi; (b) satuan
waktu; (c) nilai uang; dan (d) jumlah.
waktu; (c) nilai uang; dan (d) jumlah.
Catatan:
(1) Penulisan lambang mata uang, seperti
Rp, US$, £, dan ¥ tidak diakhiri dengan
tanda titik dan tidak ada spasi antara
lambang itu dan angka yang mengikutinya.
5.
Angka digunakan untuk melambangkan nomor jalan, rumah, apartemen, atau
kamar.
6. Angka digunakan untuk menomori bagian
karangan atau ayat kitab suci.
7. Penulisan bilangan dengan huruf dilakukan
sebagai berikut.
A. Bilangan utuh
B. Bilangan pecahan
Catatan:
(1)
Pada penulisan bilangan pecahan dengan mesin tik, spasi digunakan di
antara
bilangan utuh dan bilangan pecahan.
bilangan utuh dan bilangan pecahan.
(2)
Tanda hubung dapat digunakan dalam penulisan lambang bilangan dengan
huruf
yang dapat menimbulkan salah pengertian.
yang dapat menimbulkan salah pengertian.
8. Penulisan
bilangan tingkat dapat dilakukan dengan cara berikut.
Misalnya:
A.
pada awal abad XX (angka Romawai kapital) dalam kehidupan pada
abad ke-20 ini
(huruf dan angka Arab) pada awal abad kedua puluh (huruf)
(huruf dan angka Arab) pada awal abad kedua puluh (huruf)
B.
kantor di tingkat II gedung itu (angka Romawi) di tingkat ke-2
gedung itu (huruf
dan angka Arab) di tingkat kedua gedung itu (huruf)
dan angka Arab) di tingkat kedua gedung itu (huruf)
9. Penulisan
bilangan yang mendapat akhiran -an mengikuti cara berikut.
10. Bilangan tidak perlu ditulis dengan angka
dan huruf sekaligus dalam teks (kecuali di
dalam dokumen resmi, seperti akta dan kuitansi).
dalam dokumen resmi, seperti akta dan kuitansi).
11. Jika bilangan dilambangkan dengan angka
dan huruf, penulisannya harus tepat.
Catatan:
(1) Angka Romawi tidak digunakan untuk
menyatakan jumlah.
(2) Angka Romawi digunakan untuk
menyatakan penomoran bab (dalam terbitan atau
produk perundang-undangan) dan nomor jalan.
produk perundang-undangan) dan nomor jalan.
(3)
Angka Romawi kecil digunakan untuk penomoran halaman sebelum Bab I dalam
naskah dan buku.
naskah dan buku.
J. Kata Ganti ku-,
kau-, -ku, -mu, dan -nya
Kata ganti ku- dan kau- ditulis
serangkai dengan kata yang mengikutinya; -ku, -mu, dan –nya ditulis
serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
Catatan:
Kata-kata ganti itu (-ku, -mu, dan -nya) dirangkaikan
dengan tanda hubung apabila
digabung dengan bentuk yang berupa
singkatan atau kata yang diawali dengan huruf
kapital.
K. Kata si dan
sang
Kata si dan
sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.
Catatan:
Huruf awal si dan sang ditulis
dengan huruf kapital jika kata-kata itu diperlakukan
sebagai unsur nama diri.
III.
PEMAKAIAN TANDA BACA
A. Tanda Titik
(.)
1. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat
yang bukan pertanyaan atau seruan.
2. Tanda titik dipakai di belakang angka
atau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar, atau
daftar.
daftar.
3.
Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang
menunjukkan
waktu.
4. Tanda titik dipakai untuk memisahkan
angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan
jangka waktu.
jangka waktu.
5. Tanda titik dipakai dalam daftar pustaka
di antara nama penulis, judul tulisan yang tidak
berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru, dan tempat terbit.
berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru, dan tempat terbit.
Catatan:
Urutan informasi mengenai daftar
pustaka tergantung pada lembaga yang bersangkutan.
6. Tanda titik dipakai untuk memisahkan
bilangan ribuan atau kelipatannya yang
menunjukkan jumlah.
menunjukkan jumlah.
Catatan:
(1) Tanda titik tidak dipakai untuk
memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya yang
tidak menunjukkan jumlah.
tidak menunjukkan jumlah.
Misalnya:
Dia lahir pada tahun 1956 di
Bandung.
(2) Tanda titik tidak dipakai pada akhir
judul yang merupakan kepala karangan atau
kepala ilustrasi, tabel, dan sebagainya.
kepala ilustrasi, tabel, dan sebagainya.
Misalnya:
Acara Kunjungan Menteri Pendidikan
Nasional
Bentuk dan Kedaulatan (Bab I UUD
1945)
(3)
Tanda titik tidak dipakai di belakang (a) nama dan alamat penerima surat, (b)
nama
dan alamat pengirim surat, dan (c) di belakang tanggal surat.
dan alamat pengirim surat, dan (c) di belakang tanggal surat.
Misalnya:
Yth. Kepala Kantor Penempatan
Tenaga
Jalan Cikini 71
Jakarta
21 April 2008
(4)
Pemisahan bilangan ribuan atau kelipatannya dan desimal dilakukan sebagai
berikut.
Rp200.250,75 $ 50,000.508.750 m 8,750 m
7. Tanda titik
dipakai pada penulisan singkatan
B. Tanda Koma
(,)
1. Tanda koma
dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.
2. Tanda koma
dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara
berikutnya yang didahului dengan kata seperti tetapi, melainkan, sedangkan, dan kecuali.
berikutnya yang didahului dengan kata seperti tetapi, melainkan, sedangkan, dan kecuali.
3. Tanda koma
dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat
itu mendahului induk kalimatnya.
itu mendahului induk kalimatnya.
Catatan:
Tanda koma tidak dipakai untuk
memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika
anak kalimat itu mengiringi induk
kalimatnya.
Misalnya:
Saya akan datang kalau ada undangan.
Dia mempunyai banyak teman karena tidak
congkak.
Kita harus membaca banyak buku agar
memiliki wawasan yang luas.
4. Tanda koma
dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang
terdapat pada awal kalimat, seperti oleh karena itu, jadi, dengan demikian, sehubungan
dengan itu, dan meskipun begitu.
terdapat pada awal kalimat, seperti oleh karena itu, jadi, dengan demikian, sehubungan
dengan itu, dan meskipun begitu.
5. Tanda koma
dipakai untuk memisahkan kata seru, seperti o, ya, wah, aduh,dan kasihan,
atau kata-kata yang digunakan sebagai sapaan, seperti Bu, Dik, atau Mas dari kata lain
yang terdapat di dalam kalimat.
atau kata-kata yang digunakan sebagai sapaan, seperti Bu, Dik, atau Mas dari kata lain
yang terdapat di dalam kalimat.
6. Tanda koma
dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat.
7. Tanda koma
tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang
mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau
tanda seru.
mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau
tanda seru.
8. Tanda koma
dipakai di antara (a) nama dan alamat, (b) bagian-bagian alamat, (c) tempat
dan tanggal, serta (d) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.
dan tanggal, serta (d) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.
9. Tanda koma
dipakai untuk memisahkan bagian nama yang dibalik susunannya dalam
daftar pustaka.
daftar pustaka.
10. Tanda koma
dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki atau catatan akhir.
11. Tanda koma
dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk
membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.
membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.
12. Tanda koma
dipakai di muka angka desimal atau di antara rupiah dan sen yang
dinyatakan dengan angka.
dinyatakan dengan angka.
13. Tanda koma
dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak
membatasi.
membatasi.
14. Tanda koma
dapat dipakai─untuk menghindari salah baca/salah
pengertian─di belakang
keterangan yang terdapat pada awal
kalimat.
Misalnya:
Dalam pengembangan bahasa, kita dapat
memanfaatkan bahasa-nahasa di kawasan
nusantara ini.Atas perhatian Saudara, kami ucapan terima kasih. Bandingkan dengan:
Kita dapat memanfaatkan bahasa-bahasa di kawasan nusantara ini dalam 29
pengembangan kosakata. Kami ucapkan terima kasih atas perhatian Saudara.
nusantara ini.Atas perhatian Saudara, kami ucapan terima kasih. Bandingkan dengan:
Kita dapat memanfaatkan bahasa-bahasa di kawasan nusantara ini dalam 29
pengembangan kosakata. Kami ucapkan terima kasih atas perhatian Saudara.
C. Tanda Titik
Koma (;)
1. Tanda titik
koma dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat
yang setara di dalam kalimat majemuk setara.
yang setara di dalam kalimat majemuk setara.
2. Tanda titik
koma digunakan untuk mengakhiri pernyataan perincian dalam kalimat yang
berupa frasa atau kelompok kata. Dalam hubungan itu, sebelum perincian terakhir tidak
perlu digunakan kata dan.
berupa frasa atau kelompok kata. Dalam hubungan itu, sebelum perincian terakhir tidak
perlu digunakan kata dan.
3. Tanda titik
koma digunakan untuk memisahkan dua kalimat setara atau lebih apabila
unsur-unsur setiap bagian itu dipisah oleh tanda baca dan kata hubung.
unsur-unsur setiap bagian itu dipisah oleh tanda baca dan kata hubung.
D. Tanda Titik
Dua (:)
1. Tanda titik
dua dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap yang diikuti rangkaian atau
pemerian.
pemerian.
Catatan:
Tanda titik dua tidak dipakai jika
rangkaian atau pemerian itu merupakan pelengkap yang
mengakhiri pernyataan.
mengakhiri pernyataan.
Misalnya:
Kita memerlukan kursi, meja, dan lemari.
Fakultas itu mempunyai Jurusan Ekonomi
Umum dan Jurusan Ekonomi Perusahaan.
2. Tanda titik
dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian.
3. Tanda titik
dua dapat dipakai dalam naskah drama sesudah kata yang menunjukkan pelaku
dalam percakapan.
dalam percakapan.
4. Tanda titik
dua dipakai di antara (a) jilid atau nomor dan halaman, (b) bab dan ayat dalam
kitab suci, (c) judul dan anak judul suatu karangan, serta (d) nama kota dan penerbit buku
acuan dalam karangan.
kitab suci, (c) judul dan anak judul suatu karangan, serta (d) nama kota dan penerbit buku
acuan dalam karangan.
E. Tanda Hubung (-)
1. Tanda hubung
menyambung suku-suku kata yang terpisah oleh pergantian baris.
2. Tanda hubung
menyambung awalan dengan bagian kata yang mengikutinya atau akhiran
dengan bagian kata yang mendahuluinya pada pergantian baris.
dengan bagian kata yang mendahuluinya pada pergantian baris.
3. Tanda hubung
digunakan untuk menyambung unsur-unsur kata ulang.
4. Tanda hubung
digunakan untuk menyambung bagian-bagian tanggal dan huruf dalam
kata yang dieja satu-satu.
kata yang dieja satu-satu.
5. Tanda hubung
boleh dipakai untuk memperjelas (a) hubungan bagian-bagian kata atau
ungkapan dan (b) penghilangan bagian frasa atau kelompok kata.
ungkapan dan (b) penghilangan bagian frasa atau kelompok kata.
6. Tanda hubung
dipakai untuk merangkai
7. Tanda hubung
dipakai untuk merangkai unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa
asing.
asing.
F. Tanda Pisah (─)
1. Tanda pisah
dipakai untuk membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi
penjelasan di luar bangun utama kalimat.
penjelasan di luar bangun utama kalimat.
2. Tanda pisah dipakai untuk menegaskan adanya keterangan aposisi atau keterangan yang
lain sehingga kalimat menjadi lebih jelas.
3. Tanda pisah
dipakai di antara dua bilangan, tanggal, atau tempat dengan arti 'sampai
dengan' atau 'sampai ke'.
dengan' atau 'sampai ke'.
Catatan:
(1) Tanda pisah tunggal dapat digunakan
untuk memisahkan keterangan tambahan
pada akhir kalimat.
Misalnya:
Kita memerlukan alat tulis─pena,
pensil, dan kertas.
(Bandingkan dengan Bab III, Huruf D,
kaidah 1.)
(2) Dalam pengetikan, tanda pisah
dinyatakan dengan dua buah tanda hubung
tanpa spasi sebelum dan sesudahnya.
G. Tanda Tanya
(?)
1. Tanda tanya
dipakai pada akhir kalimat tanya.
2. Tanda tanya dipakai di dalam tanda kurung untuk menyatakan bagian kalimat yang
disangsikan atau yang kurang dapat dibuktikan kebenarannya.
H. Tanda Seru
(!)
Tanda seru dipakai untuk mengakhiri
ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan
kesungguhan, ketidakpercayaan, ataupun emosi yang kuat.
I. Tanda Elipsis
(...)
1. Tanda elipsis
dipakai dalam kalimat yang terputus-putus.
2. Tanda elipsis
dipakai untuk menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau naskah ada
bagian yang dihilangkan.
bagian yang dihilangkan.
Catatan:
(1) Tanda
elipsis itu didahului dan diikuti dengan spasi.
(2) Jika bagian
yang dihilangkan mengakhiri sebuah kalimat, perlu dipakai 4 tanda titik: 3
tanda titik untuk menandai penghilangan teks dan 1 tanda titik untuk 33 menandai akhir
kalimat.
tanda titik untuk menandai penghilangan teks dan 1 tanda titik untuk 33 menandai akhir
kalimat.
(3) Tanda
elipsis pada akhir kalimat tidak diikuti dengan spasi.
Misalnya:
Dalam tulisan, tanda baca harus
digunakan dengan cermat ....
J. Tanda Petik
(" ")
1. Tanda petik
dipakai untuk mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan,
naskah, atau bahan tertulis lain.
naskah, atau bahan tertulis lain.
2. Tanda petik
dipakai untuk mengapit judul puisi, karangan, atau bab buku yang dipakai
dalam kalimat.
dalam kalimat.
3. Tanda petik
dipakai untuk mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal atau kata yang
mempunyai arti khusus.
mempunyai arti khusus.
Catatan:
(1) Tanda petik penutup mengikuti tanda
baca yang mengakhiri petikan langsung.
Misalnya:
Kata dia, "Saya juga minta
satu."
Dia bertanya, "Apakah saya boleh
ikut?"
(2) Tanda baca penutup kalimat atau
bagian kalimat ditempatkan di belakang tanda
petik yang mengapit kata atau ungkapan
yang dipakai dengan arti khusus pada
ujung kalimat atau bagian kalimat.
Misalnya:
Bang Komar sering disebut
"pahlawan"; ia sendiri tidak tahu sebabnya.
Karena warna kulitnya, dia mendapat
julukan "Si Hitam".
(3) Tanda petik pembuka dan tanda petik
penutup pada pasangan tanda petik itu
ditulis sama tinggi di sebelah atas
baris.
(4) Tanda petik (") dapat digunakan
sebagai pengganti idem atau sda. (sama dengan di
atas) atau kelompok kata di atasnya
dalam penyajian yang berbentuk daftar.
Misalnya:
zaman bukan jaman
asas " azas
plaza " plasa
jadwal " jadual
bus " bis
K. Tanda Petik Tunggal
(' ')
1. Tanda petik
tunggal dipakai untuk mengapit petikan yang terdapat di dalam petikan lain.
2. Tanda petik
tunggal dipakai untuk mengapit makna kata atau ungkapan.
3. Tanda petik
tunggal dipakai untuk mengapit makna, kata atau ungkapan bahasa daerah
atau bahasa asing (Lihat pemakaian tanda kurung, Bab III, Huruf M)
atau bahasa asing (Lihat pemakaian tanda kurung, Bab III, Huruf M)
L. Tanda Kurung
(( ))
1. Tanda kurung
dipakai untuk mengapit tambahan keterangan atau penjelasan.
Catatan:
Dalam penulisan didahulukan bentuk
lengkap setelah itu bentuk singkatnya.
Misalnya:
Saya sedang mengurus perpanjangan kartu tanda penduduk (KTP). KTP itu
merupakan tanda pengenal dalam berbagai
keperluan.
2. Tanda kurung
dipakai untuk mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan bagian
utama kalimat.
utama kalimat.
3. Tanda kurung
dipakai untuk mengapit huruf atau kata yang kehadirannya di dalam teks
dapat dihilangkan.
dapat dihilangkan.
4. Tanda kurung
dipakai untuk mengapit angka atau huruf yang memerinci urutan
keterangan.
keterangan.
Catatan:
Tanda kurung tunggal dapat dipakai untuk
mengiringi angka atau huruf yang
menyatakan perincian yang disusun ke
bawah.
Misalnya:
Kemarin kakak saya membeli
1) buku,
2) pensil, dan
3) tas sekolah.
Dia senang dengan mata pelajaran
a) fisika,
b) biologi, dan
c) kimia.
M. Tanda Kurung
Siku ([ ])
1. Tanda kurung
siku dipakai untuk mengapit huruf, kata, atau kelompok kata sebagai koreksi
atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat yang ditulis orang lain. Tanda itu
menyatakan bahwa kesalahan atau kekurangan itu memang terdapat di dalam naskah asli.
atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat yang ditulis orang lain. Tanda itu
menyatakan bahwa kesalahan atau kekurangan itu memang terdapat di dalam naskah asli.
2. Tanda kurung
siku dipakai untuk mengapit keterangan dalam kalimat penjelas yang sudah
bertanda kurung.
bertanda kurung.
N. Tanda Garis
Miring (/)
1. Tanda garis
miring dipakai di dalam nomor surat, nomor pada alamat, dan penandaan masa
satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwim atau tahun ajaran.
satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwim atau tahun ajaran.
2. Tanda garis
miring dipakai sebagai pengganti kata atau, tiap, dan ataupun.
Catatan:
Tanda garis miring ganda (//) dapat
digunakan untuk membatasi penggalan- penggalan dalam kalimat untuk memudahkan
pembacaan naskah.
O. Tanda
Penyingkat atau Apostrof (')
Tanda penyingkat
menunjukkan penghilangan bagian kata atau bagian angka tahun.
Misalnya:
Dia 'kan sudah kusurati. ('kan: bukan)
Malam 'lah tiba. ('lah: telah)
1 Januari '08 ('08: 2008)
IV.
PENULISAN UNSUR SERAPAN
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia
menyerap unsur dari pelbagai bahasa, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa
asing, seperti Sanskerta, Arab, Portugis, Belanda, Cina, dan Inggris.
Berdasarkan taraf integrasinya, unsur serapan dalam bahasa Indonesia dapat
dibagi menjadi dua kelompok besar.
Pertama, unsur
asing yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti reshuffle,
shuttle cock, dan de l'homme par l'homme. Unsur-unsur itu dipakai
dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi cara pengucapan dan penulisannya masih
mengikuti cara asing.
Kedua, unsur
asing yang penulisan dan pengucapannya disesuaikan
dengan kaidah
bahasa Indonesia. Dalam hal itu, diusahakan ejaannya disesuaikan dengan
Pedoman Umum
Pembentukan Istilah Edisi Ketiga agar bentuk Indonesianya masih dapat
dibandingkan
dengan bentuk asalnya.
Catatan:
1. Unsur serapan
yang sudah lazim dieja sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia tidak perlu
lagi diubah.
lagi diubah.
Misalnya:
bengkel, kabar, nalar, paham, perlu, sirsak
2. Sekalipun
dalam ejaan yang disempurnakan huruf q dan x diterima sebagai
bagian abjad
bahasa Indonesia, unsur yang mengandung kedua huruf itu diindonesiakan menurut kaidah
yang dipaparkan di atas. Kedua huruf itu dipergunakan dalam penggunaan tertentu saja,
seperti dalam pembedaan nama dan istilah khusus.
bahasa Indonesia, unsur yang mengandung kedua huruf itu diindonesiakan menurut kaidah
yang dipaparkan di atas. Kedua huruf itu dipergunakan dalam penggunaan tertentu saja,
seperti dalam pembedaan nama dan istilah khusus.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Klasifikasi Bunyi
Klasifikasi Bunyi A. Vokal dan Konsonan Pada umumnya bunyi bahasa dibedakan atas vokal dan konsonan. Bunyi vokal dihasilkan den...
-
“ TRADISI MELAYU ADAT MELAHIRKAN “ Pengenalan Anak atau zuriat adalah suatu karunia Tuhan yang tidak ternilai bagi setiap pasan...
-
1. Apa yang dimaksud dengan diftong, monoftong, diftongnisasi dan monoftongnisasi ? 2. Apa saja yang termasuk dalam diftong d...