Thursday, January 17, 2013

Bahasa dan Faktor-Faktor Bahasa


MASYARAKAT BAHASA

     Kata masyarakat bersifat relatif, dapat menyangkut masyarakat luas maupun sekelompok kecil orang. Misalnya: masyarakat Jawa Barat, masyarakat pendidikan.

     Jika suatu kelompok orang atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoire yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu, maka kelompok orang tsb adalah sebuah masyarakat bahasa/tutur (Speech Commnunity)

Ë Fishman (1976) mengemukakan bhw masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya mengenal minimal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya.
     Pada pokoknya masyarakat bahasa itu terbentuk karena adanya saling pengertian (mutual intelligibility), terutama karena adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik. Memiliki persamaan nilai terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang ada dalam masyarakat tersebut.

MASYARAKAT BAHASA BERDASARKAN SIKAP SOSIAL
     Model paguyuban  bahasa yang klasik tidak dapat mencakup perubahan dialek perkotaan yang cepat. Bentuk yang diidealisasikan  tidak cukup mencerminkan realitas. Labov menyimpulkan bahwa anggota masyarakat bahasa perkotaan lebih diikat oleh sikap  dan prasangka yang sama dalam berbahasa, yang luar biasa stabil dibandingkan dengan  ikatan pemakaian bahasa yang sama (1972:293).
  Menurut Labov pada kenyataannya   sangat  jelas bahwa masyarakat bahasa didefinisikan sebagai sekelompok  penutur yang memiliki sederetan sikap sosial terhadap bahasa.  Misalnya, seorang yang berasal dari New York (orang dari kota besar) memiliki gambaran yang jelas tentang norma-norma bahasa dan ia  mengetahui jika ia menyimpang dari norma yang ada. Terdapat perbedaan antara (1) apa yang dikatakan, (2) apa yang diyakini, dan (3) apa yang  diyakini untuk dikatakan.
     Titik tolak Labov  adalah orientasi ke status yang dimulai dari kelompok sosial (kelompok makro) dan pada tiap kelompok  berkembang ke arah yang sama. Penyimpangan norma pada lapisan sosial bawah  lebih jauh dibandingkan  dengan lapisan sosial menengah dan atas  karena itu mereka juga  memiliki lebih banyak variasi.
     Seberapa jauh konep makro kuantitatif mencerminkan realitas sosial yang masih harus didiskusikan. Hal itu dapat dilakukan pada data empiris dalam jumlah yang besar. Hymes (1972) juga memberikan  pendapatnya tentang definisi dasar masyarakat bahasa. Mereka menekankan bahwa perasaan menjadi anggota suatu paguyuban lebih menentukan daripada  definisi linguistik.
MASYARAKAT BAHASA BERDASARKAN INTERAKSI
     Gumpertz mendefinisikan  masyarakat bahasa (pada masa yang lampau) ke arah komunikatif interaksi, yang dalam analisis  fungsional berpangkal pada varietas bahasa suatu masyarakat bahasa yang khas sebagai kelompok sosial, dan bukan dari kesatuan bahasa. Definisi Gumpertz juga memungkinkan beberapa varietas bahasa hidup berdampingan: kita definisikan masyarakat bahasa sebagai kelompok sosial yang monolingual atau multilingual, yang merupakan satu kesatuan  karena sering terjadi interaksi sosial  dan yang dipisahkan dari sekelilingnya oleh  interaksi sosial yang melemah. Masyarakat bahasa  dapat terdiri atas  kelompok kecil yang hubungannya bersemuka atau terdiri dari seluruh bahasa, tergantung dari tingkat abstraksi yang akan dicapai (Gumpertz 1962:101).
     Selanjutnya  Gumpertz menyatakan bahwa dari segi fungsi tidak ada perbedaan antara bilingualisme dengan bidialektalisme. Gumpertz dalam definisi selanjutnya tentang masyarakat bahasa menekankan bahwa  di samping kriteria interaksi juga berperan persamaan dan perbedaan varietas sebagai unsur sosial definisi umum  analisis bahasa: masyarakat bahasa  adalah sekelompok manusia yang terbentuk  melalui interaksi bahasa yang teratur dan sering dengan bantuan persediaan tanda-tanda bahasa yang dimiliki  bersama dan yang dipisahkan dari kelompok lain karena perbedaan-perbedaan dalam berbahasa (Gumpertz, 1968:14). Konsep Gumpertz memiliki keuntungan sebagai berikut: a) untuk satu masyarakat bahasa tidak hanya berlaku satu bahasa, b) penekanan pada interaksi dan komunikasi sebagai unsur pembentuk masyarakat bahasa sebagai hasil bilingualisme, dengan sendirinya tidak terjadi tumpang tindih, dan c) kompleksitas masyarakat perkotaan telah diperhitungkan dalam konsep.

     Jika kita mengemukakan satu kota besar sebagai satu masyarakat bahasa yang penduduknya menggunakan sebagian besar dari waktu mereka untuk berkomunikasi dan varietas bahasa tentu saja sebagai bagian  pembentuk kota dan orang selalu menunjuk pada lembaga, data dan lokasi, pola mobilitas, bentuk-bentuk interaksi sosial yang khas untuk kehidupan perkotaan, terlihat bahwa masyarakat bahasa merupakan satu istilah yang sangat umum. Supaya pengertian istilah masyarakat bahasa digunakan seperti yang dipakai oleh Gumpertz, harus kita tentukan keanggotaan tiap kelompok, terutama yang memiliki arti bagi mereka, hal ini berarti bahwa kita harus membentuk  tahap-tahap interaksi sosial dan  menganalisis kesatuan-kesatuan yang terbentuk. Mula-mula Gumpertz untuk dapat merealisasikan hal di atas menggunakan konsep peran sosial, kemudian ia memakai istilah  jaringan sosial untuk meneliti hubungan  antaranggota suatu jaringan  sosial. Tujuan konsep jaringan sosialuntuk menunjukkan mekanisme yang mempengaruhi repertoire bahasa penutur; yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial-ekologi.

     Sesuai dengan konsep (baru) Gumpertz  tentang masyarakat bahasa, ia membandingkan konsep kode bahasa  yang homogen dengan konsepnya  tentang repertoir verbal/linguistis yang  agaknya bertitik tolak dari tingkat langue ke parole. Keseluruhan  dialek dan varietasnya yang digunakan secara teratur dalam suatu masyarakat membentuk repertoire bahasa masyarakat ini.Repertoire merupakan kekhasan  penduduk suatu daerah, sedangkan  batas suatu bahasa dapat sama ataupun tidak sama dengan batas suatu kelompok sosial (1968:230).

     Keunggulan konsep repertoire bahasa, konsep tersebut memungkinkan kita untuk menghubungkan antara struktur sosial dan penggunaan bahasa suatu masyarakat bahasa di bawah satu kerangka relasi yang sama. Dalam hal ini, justru Kloss mengeritik istilah yang digunakan Gumpertz. Ia mengeritik bahwa Gumpertz memberikan makna lain pada istilah masyarakat bahasa yang diciptakan  oleh Kloss, masyarakat bahasa diartikan sama dengan  speech community yang digunakan oleh Bloomfield, sehingga menyebabkan kerancuan. Masyarakat bahasa menurut Kloss adalah keseluruhan penutur yang berbahasa ibu sama dan memiliki bersama diasistem tertentu  dalam perbedaan dialektal  dan sosiolektal.

     Kloss menekankan pentingnya satu istilah untuk keseluruhan manusia yang memiliki bahasa-bahasa ibu yang sama dan yang membentuk keadaan tersebut.  Ia mengusulkan istilah komunitas repertorium (paguyuban repertorium) (Kloss 1977:228). Dengan demikian, paguyuban bahasa berarti memiliki bahasa ibu yang sama atau yang mirip. Dalam  kepustakaan yang berbahasa Jerman  digunakan istilah paguyuban pertuturan (sprechgemeinschaft) untuk paguyuban repertorium (repertoiregemeinschaft),yang berarti sekelompok penutur yang  tidak hanya memiliki varietasrepertorium yang sama, tetapi juga kriteria  yang sama untuk mengukur penerapan  kaidah-kaidah tersebut secara sosial. Dalam etnografi komunikasi konsep paguyuban pertuturan mencakup keseluruhan kebiasaan komunikasi suatu paguyuban, dalam hal ini termasuk bahasa sebagai alat komunikasi dikaitkan dengan yang lain (Coulmas 1979:10).

MASYARAKAT BAHASA BERDASARKAN JARINGAN SOSIAL

     Jaringan sosial sebagai substratum paguyuban bahasa sebagai titik tolak analisis bahasa dalam  sosiolinguistik dikenalkan untuk menganalisis komunikasi  sehari-hari dan konvensi interaksi. Dalam hal ini jaringan hubungan seorang individu  termasuk di dalamnya dan kesatuan  kelompok sosialnya  merupakan phenomena dalam berbagai  tataran abstraksi.
     Gumpertz memperhitungkan hal ini dan memasukkan dalam konsep mikronya, paguyuban bahasa (pada tataran abstraksi yang terendah), dan konsep jaringan sosial. Dengan bantuan konsep ini sebagai soerang linguis, ia akan meneliti perilaku bahasa dalam suatu paguyuban dengan memperhatikan interpretasi norma dan nilai yang sesuai dengan kenyataan.
     Paguyuban bahasa terdiri atas sederet satuan dasar, jaringan-jaringan yang dapat diikuti  oleh seorang anggota  paguyuban dalam berbagai  tingkat dan lebih dari satu peran. Salah satu penyebab utama dikenalkannya konsep jaringan  sosial dalam kerangka studi  paguyuban bahasa karena  konsep makro yang  tradisional untuk menganalisis  paguyuban yang berubah dengan lambat dan agak statis (suku-suku bangsa, paguyuban-paguyuban pedesaan) tidak tepat untuk menganalisis agregat kota yang berubah dengan cepat. Konsep jaringan sosial mencoba mencakup variabel manusia sebagai  makhluk sosial yang dipengaruhi oleh orang lain dan mempengaruhi orang lain.

     Jika Gumpertz membedakan antara biner antara jaringan sosial tertutup dengan terbuka, Milroy (1980, passim) mengembangkan perbedaan biner terbuka, tertutup dalam suatu kesinambungan, mulai lebih terbuka atau agak terbuka dipertentangkan dengan lebih tertutup atau agak tertutup dengan menggunakan parameter rapatnya, kelompok dan keanekaragaman. Suatu paguyuban lebih rapat, jika antar anggotanya lebih terikat. Rapatnya jaringan sosial berfungsi sebagai mekanisme pelestarian norma, kelompok merupakan segmen jaringan dengan kerapatan yang tinggi. Hubungan sosial dalam kelompok lebih rapat daripada di luar kelompok. Keanekaragaman sebagai ukuran kekhasan interaksi suatu jaringan: apakah ikatan antaranggota hanya berdasarkan satu fungsi (uniplex) atau berdasarkan fungsi ganda (multiplex).

     Penting untuk pembatas jaringan selain bentuk interaksi, bentuk kunjungan, hubungan kekerabatan, hal-hal yang oleh Gumpertz disebut self recruitmentpaguyuban (1971:297). Dengan demikian, kelompok jaringan tertutup (atau yang oleh saviller-Troike (1982:20) disebut hand shelled communities) cenderung seragam dalam penggunaan bahasa, a.l. karena wilayah yang ketat  daripada jaringan terbuka (soft shelled communities) yang ikatan antaranggotanya  lebih longgar dan batas  wilayah tidak ketat. Manfaat alat analisis jaringan terutama karena kemungkinan yang dimilikinya untuk menggabungkan varietas dalam struktur sosial dengan varietas dalam penggunaan bahasa, artinya varietas yang disebabkan oleh lingkungan dan tahap abstraksi yang rendah dihubungkan dengan varietas bahasa.

MASYARAKAT BAHASA SEBAGAI INTERPRETASI SUBJEKTIF-PSIKOLOGIS

     Bolinger (1975:33) menunjukkan kompleksitas  yang bersifat psikologis dan ciri subjektif konsep paguyuban bahasa, ia mengemukakan: tidak ada batas untuk cara manusia berkelompok guna mencari jati diri, keamanan, keuntungan, hiburan, kepercayaan atau tujuan lain secara bersama, sebagai akibat hal ini tidak ada batasan sehubungan dengan jumlah  dan keanekaragaman paguyuban bahasa yang kita jumpai dalam masyarakat kita. Setiap populasi  menurut definisi Bolinger  dapat terdiri atas sejumlah  besar paguyuban bahasa, yang sehubungan dengan keanggotaan  dan varietas bahasanya  tumpang tindih.
     Realitas psikologis  paguyuban bahasa yang tergantung dari interpretasi angota-anggotanya diperhitungkan dalam pendapat Le Page (1968), baginya keberadaan kelompok  sebagai paguyuban bahasa dengan ciri-ciri khusus yang digolongkan oleh penutur sendiri, bukan oleh sosiolog penting. Tergantung bagaimana seorang penutur menempatkan dirinya dalam ruang yang multidimensi (Hudson, 1980:27), ia ikut berpartisipasi dalam berbagai paguyuban bahasa yang dimensi atau perbandingan luasnya ditentukan oleh kelompok  di sekelilingnya. Setiap penutur menciptakan sistem perilaku  bahasanya yang mirip dengan kelompok tempat ia ingin mengidentifikasikan dirinya dari waktu ke waktu, dengan syarat a) ia dapat mengidentifikasikan dirinya ke kelompok tersebut, b) ia memiliki kesempatan dan kemampuan untuk mengamati dan menganalisis perilaku mereka, c) memiliki motivasi yang kuat dan merasa berkewajiban untuk memilih dan mengubah perilakunya, dan d) ia masih sanggup menyesuaikan perilakunya.
     Le Page menginterpretasikan ujaran manusia sebagai pernyataan jati diri individu karena itu individu adalah sah sebagai titik tolak penelitian sosiolinguistik. Le Page dapat membuktikan bahwa  analisis perilaku bahasa individu tidak berarti suatu kekacauan. Dasar pandangan yang multidimensi diperoleh melalui kajian paguyuban yang multilingual, dalam kajian ini perlu memperhatikan sejumlah sumber yang mempengaruhi penggunaan bahasa seseorang. Ia menekankan bahwa seorang penutur  merupakan dasar sumber bahasa yang ada dan digunakan untuk mengidentifikasikan dengan paguyuban-paguyuban tertentu.
MASYARAKAT BAHASA DI INDONESIA
     Tanggal 18 Maret 1996 Prof. Dr. Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia membuka dengan resmi Seminar Kebahasaan dan kesusasteraan menyangkut bahasa Indonesia , Malaysia, dan Brunai Darusalam. Seminar diadakan di Padang, Sumatra Barat selama 3 hari. Pada acara pembukaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. mengungkapkan data-daya tentang profil kemampuan berbahasa Indonesia sebagai berikut.
     Jumlah penutur bahasa Indonesia sebesar 153 juta di antara ±175 juta penduduk Indonesia di atas 5 tahun pada tahun 1995 merupakan “masyarakat bahasa Indonesia” di Indonesia.
     Dari bahasa-bahasa yang ada di Indonesia terdapat 11 bahasa utama dengan patokan jumlah penutur > 1 juta orang. jika penutur > 10 juta orang dipakai sebagai rujukan, maka hanya 4 masyarakat bahasa paling utama, yaitu masyarakat bahasa Indonesia,  Jawa, Sunda, dan Melayu.
     Jika fungsi bahasa yang dipakai sebagai rujukan, maka 19 bahasa yang lebih berperan di Indonesia, karena digunakan untuk lebih dari satu tujuan, yaitu : bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Malay Dialects, Madura, Makasar, Minangkabau, Batak, Bali, Aceh, Sasak, Mandaar, Minahasa, Gorontalo, Halmahera, Nias, Sangir, Toraja, dan Bima.
     Bila bahasa tulisan yang dijadikan patokan, maka hanya terdapat 13 masyarakat bahasa di Indonesia, yaitu: bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Madura, Makasar, Minangkabau, Batak, Bali, Aceh, Sasak, Nias, Sangir, dan Toraja.

VARIASI BAHASA DAN STATUS SOSIAL BAHASA

Ë Chaer& Agustina(2004) mengatakan bahwa variasi atau ragam bahasa dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa

Ë Perbedaan 2 macam variasi bahasa berdasarkan status pemakainya, yaitu :
1) Variasi bahasa tinggi (T) digunakan dalam situasi resmi.
2) Variasi bahasa rendah (R) digunakan dalam situasi tidak formal.

VARIASI DARI SEGI PENUTUR

A.     Idiolek yaitu variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Variasi ini berkenaan dengan warna suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dsb.
B.     Dialek yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu.
C.     Kronolek atau dialek temporal yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu.
D.     Sosiolek atau dialek sosial yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya.

VARIASI DARI SEGI PEMAKAIAN

A.     Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam, atau register.
B.     Variasi ini dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan.
C.     Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya bidang sastra, perikanan, jurnalis.
VARIASI DARI SEGI KEFORMALAN

A.     Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalamsituasi-situasi khidmat, dan upacara-upacara esmi.
B.     Ragam resmi atau formal yaitu variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dsb.
C.     Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim digunakan dalam pembicaraan biasa disekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi.
D.     Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu beristirahat, berolahraga, dsb.
E.      Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antar anggota keluarga, antar teman yang sudah karib.

PENGGUNAAN BAHASA
     Hymes (1974) seorang pakar sosiolinguistik mengatakan bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan unsur yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni:

1.      Setting and Scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan,
2.      Paticipants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan,
3.      Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan
4.      Act Sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan,
5.      Key, yaitu menunjuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan,
6.      Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan apakah secara lisan atau tulisan
7.      Norms, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan,
8.      Genres, yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan.




KONTAK BAHASA

     Dalam masyarakat yang terbuka artinya yang para anggotanya dapat menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain. Dan akan terjadi kontak bahasa. Kasus-kasus yang terjadi karena adanya kontak bahasa misalnya interferensi, integrasi, alih kode (code switching) dan campur kode (code-mixing).

     Interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan, sehingga adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang sedang digunakan itu.

     Alih kode yaitu beralihnya penggunaan suatu kode (entah bahasa ataupun ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang lain (bahasa atau ragam bahasa lain) karena alasan tertentu.

     Campur kode pengertiannya sama dengan alih kode, namun dalam campur kode tidak ada alasan yang mendasari.

BAHASA DAN BUDAYA

     Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis hanya ada pada manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk lambang atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu semua. Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi. Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam dan dialami penuturnya. Dengan kata lain, budaya yang ada di sekeliling bahasa tersebut akan ikut menentukan wajah dari bahasa itu.
     Istilah bahasa dalam bahasa Indonesia, sama dengan language, dalam bahasa Inggris, taal dalam bahasa Belanda, sprache dalam bahasa Jerman, lughatun dalam bahasa Arab dan bhasa dalam bahasa Sansekerta. Istilah-istilah tersebut, masing-masing mempunyai aspek tersendiri, sesuai dengan pemakainya, untuk menyebutkan suatu unsur kebudayaan yang mempunyai aspek yang sangat luas, sehingga merupakan konsep yang tidak mudah didefinisikan. Seperti yang diungkapkan oleh para ahli:
1.      Menurut Sturtevent berpendapat bahwa bahasa adalah sistem lambang sewenang-wenang, berupa bunyi yang digunakan oleh anggota-anggota suatu kelompok sosisal untuk kerjasama dan saling berhubungan.
2.      Menurut Chomsky language is a set of sentences, each finite length and contructed out of a finite set of elements.
3.      Menurut Keraf, bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia
     Masih banyak lagi definisi tentang bahasa yang dikemukakan oleh para ahli bahasa. Setiap batasan yang dikemukakan tersebut, pada umumnya memiliki konsep-konsep yang sama, meskipun terdapat perbedaaan dan penekanannya. Terlepas dari kemungkinan perbedaan tersebut, dapat disimpulkan sebagaimana dinyatakan Linda Thomas dan Shan Wareing dalam bukunya Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan bahwa salah satu cara dalam menelaah bahasa adalah dengan memandangnya sebagai cara sistematis untuk mengabungkan unit-unit kecil menjadi unit-unit yang lebih besar dengan tujuan komunikasi. Sebagai contoh, kita menggabungkan bunyi-bunyi bahasa (fonem) menjadi kata (butir leksikal) sesuai dengan aturan dari bahasa yang kita gunakan. Butir-butir leksikal ini kemudian digabungkan lagi untuk membuat struktur tata bahasa, sesuai dengan aturan-aturan sintaksis dalam bahasa.
     Dengan demikian bahasa merupakan ujaran yang diucapkan secara lisan, verbal secara arbitrer. Lambang, simbol, dan tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa mengandung makna yang berkaitan dengan situasi hidup dan pengalaman nyata manusia.

FENOMENA ANTARA BAHASA DAN BUDAYA
     Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar persona. Komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, makna tidak pernah bersifat absolut; selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu bahasa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya.

     Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.11 Umpamanya kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk kepada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish; dalam bahasa banjar disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukan hanya berarti ikan atau fish. Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk (teman pemakan nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe sering juga disebut iwak.

     Mengapa hal ini bisa terjadi ? semua ini karena bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Dalam budaya masyarakat inggris yang tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi.
    Karena itu, kata rice pada konteks tertentu berarti nasi pada konteks lain berarti gabah dan pada konteks lain lagi berarti beras atau padi. Lalu karena makan nasi bukan merupakan budaya Inggris, maka dalam bahasa Inggris dan juga bahasa lain yang masyakatnya tidak berbudaya makan nasi; tidak ada kata yang menyatakan lauk atau iwak (bahasa Jawa).

     Contoh lain dalam budaya Inggris pembedaan kata saudara (orang yang lahir dari rahim yang sama) berdasarkan jenis kelamin: brother dan sister. Padahal budaya Indonesia membedakan berdasarkan usia: yang lebih tua disebut kakak dan yang lebih muda disebut adik. Maka itu brother dan sister dalam bahasa Inggris bisa berarti kakak dan bisa juga berarti adik.

Antara Bahasa dan Budaya
     Sosiolinguistik bukanlah sekedar pembahasan “campuran” antara ilmu bahasa dan sosiologi atau ilmu sosial lainnya, tetapi di dalamnya juga mencakup prinsip-prinsip setiap aspek kehidupan yang berkaitan dengan fungsi sosial dan kultural. Oleh karena itu, agar pembahasan di sini tidak meluas, kami membatasinya pada “Bahasa dan Budaya” sebagai aspek kultural kehidupan sehari-hari.
     Banyak ahli dan peneliti sepakat bahwa bahasa dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebut saja di antaranya Suryadi, dosen Politeknik Medan, dalam makalahnya Hubungan Antara Bahasa dan Budaya, yang disampaikan dalam seminar nasional “Budaya Etnik III” di Universitas Sumatera Utara 25 April 2009 kemarin. Ia menyebutkan bahwa bahasa adalah produk budaya pemakai bahasa. Sebelumnya, pakar-pakar linguistik juga sudah sepakat antara bahasa dan budaya memiliki kajian erat. Kajian yang sangat terkenal dalam hal ini adalah teori Sapir-Whorf. Kedua ahli ini menyatakan, “Jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya” (Chaer, 2003:61).

     Sementara itu, Piaget, seorang sarjana Perancis, menyebutkan bahwa budaya (pikiran) akan membentuk bahasa seseorang. Dari sinilah lahirteori pertumbuhan kognisi oleh Piaget. Sedikit berbeda dengan itu, Vigotsky, sarjana Rusia, berbendapat bahwa perkembangan bahasa lebih awal satu tahap sebelum berkembangnya pemikiran (budaya) yang kemudian keduanya bertemu sehingga melahirkan pikiran berbasa dan bahasa berpikir.
     Noam Chomsky juga sepakat bahwa kajian bahasa memiliki erat kaitan dengan budaya. Demikian halnya dengan Eric Lenneberg yang memiliki kesamaan pandangan dengan teori kebahasaan yang dikemukakan oleh Chomsky dan Piaget (Chaer, 2003:52-58).
     Lantas, bagaimanakan hubungan dan keterkaitan antara bahasa dan budaya, inilah yang akan kami coba ulas dalam tulisan singkat berikut ini, tentunya berdasarkan teori-teori yang sudah ada dan mengaitkan sedikit dengan lokalitas keacehan sebagai tempat (daerah) masalah ini kita diskusikan.

HUBUNGAN BAHASA DAN BUDAYA
     Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal untuk komunikasi. Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri”. Chaer mengemukakan definisi bahasa itu berdasarkan pandangan Barber (1964:21), Wardhaugh (1997:3), Trager (1949:18), de Saussure (1996:16), dan Bolinger (1975:15), yang kemudian, Badudu (1989:3) dan Keraf (1984:16) juga sepakat bahwa bahasa adalah alat komunikasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III (2005:88) disebutkan bahwa:
1.      bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota satu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri;
2.      bahasa merupakan percapakan (perkataan) yang baik.
     Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi.
     Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI, 2005:169). Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan.
     Setelah para ahli sepakat menyataka bahwa bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi). Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan pentur disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu berada.
     Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan bicara tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda pengetahuan, dan lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan bahasa. Kata “Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda dalam konteks budaya berbeda. Sebutan “Bapak” di negara yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris tidak cenderung digunakan. Masyarakat penutur bahasa Inggris akan langsung menggunakan sebutan nama diri/nama orang kepada lawan bicara yang lebih tua sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat penutur bahasa Inggris ini tentu saja tabu jika dipakai oleh penutur bahasa Melayu atau Indonesia. Bahkan, akan lebih tabu lagi jika dipakai dalam masyarakat Aceh yang terkenal kental adat istiadatnya dalam menghormati orang lebih tua. Contoh lainnya dalam bahasa Inggris adalah kata “mati”. Bahasa Indonesia memiliki beberapa kata yang memiliki makna yang sama dengan maksud kata “mati” misalmampus, meninggal dunia, punah, mangkat, wafat, tewas, lenyap, dsb., sedangkan dalam bahasa Inggris hanya ada dua kata saja, yaitu die danpass away.
     Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantuk pada budaya tempat bahasa itu digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan & Partana (2002: 20) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah yang bersangkutan.
     Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bali misalnya, terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa ‘jangan menganggap diri ini mampu’ mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa mampu; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso biso, nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada ungkapan ubiet takalon geuhön tatijik ‘kecil kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut memiliki ciri khas budaya masing-masing penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.
     Penelitian Dede Oetomo pada tahun 1987 (Sumarsono dan Partana, 2002:336) menyebutkan bahwa bahasa juga dapat mempengaruhi kelompok. Anggapan ini berdasarkan pengamatannya terhadap etnik Cina di Pasuruan dengan melihat tutur masyarakat Cina di sana sehari-hari. Ia berkesimpulan bahwa masyarakat Cina dapat dikelompokkan menjadiCina Totok dan Cina Pernakan. Ini menunjukkan bahwa bahasa itu dapat mencerminkan identitas kelompok.
     Bahasa yang tidak dapat terlepas dari budaya juga dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338). Berdasarkan penelitiannya pada tahun 1972 terhadap sebuah guyup di Norwegia yang menggunakan dialek lokal dan ragam regional bokmal (satu dari dua ragam baku bahasa Norwegia) terbukti bahwa masyarakat pengguna dialek masing-masing itu mengalami perbedaan penyampaian bahasa sebagai media komunikasi, terutama saat sampai pada di mana dan tujuan komunikatif apa mereka menggunakan bahasa tersebut.
 Ada bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para penutur dari kedua dialek berbeda itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap komunikasinya, yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut.


KLASIFIKASI BAHASA

     Menurut Greenberg suatu klasifikasi yang baik harus memenuhi persyaratan nonarbiter, ekshaustik, dan unik.Yang dimaksud nonarbiter adalah bahwa kriteria klasifikasi itu tidak boleh semaunya,hanya harus ada satu kriteria dan hasilnya akan ekshaustik.Artinya, setelah klasifikasi dilakukan tidak ada lagi sisanya.Bahasa yang ada dapat masuk kedalam salah satu kelompok yang lain.

     Didalam membuat praktek membuat klasifikasi ada tiga persyaratan yang diajukan oleh Greenberg itu tidak dapat dilaksanakan,sebab banyak sekali ciri-ciri bahasa yang dapat digunakan untuk membuat klasifikasi itu,antara lain:

Ø  Pendekatan genetik
Ø  Pendekatan tiologis                  
Ø  Pendekatan sosiolingiistik


KLASIFIKASI GENETIS

     Klasifikasi ini disebut juga klasifikasi geneologis artinya suatu bahasa berasal atau diturunkan dari bahasa yang lebih tua.Suatu bahasa proto(bahasa tua,bahasa semula). Akan pecah dan menurunkan dua bahasa baru atau lebih.Teori menurut A.Schlercher memberi gambaran seperti batang pohon yang berbalik teori ini bernama teori batang pohon(bahas jerman: stammabaumtheorie), pada tahun 1866.kemudian dilengkapi oleh S.Schmidt pada tahun 1872.Dengan teori gelombang maksudnya adalah perkembangan atau perpecahan bahasa itu dapat diumpamakan seperti gelobang yang disebabkan oleh sebuah batu yang dijatuhkan ketengah kolam.

     Penyebaran bahasa itu terjadi karena penuturnya menyebar atau berpindah tempat sebagai akibat adanya peperangan atau bencana alam.Sejauh ini hasil klasifikasi banyak diterima orang secara umum bahwa bahasa-bahasa yang ada didunia terbsgi dalam sebelas rumpun besar antara lain:

Ä  Rumpun indo eropa
Ä  Rumpun hamito-semit atau Afro-Asiatik
Ä  Rumpun Chari-Nil
Ä  Rumpun Dravida
Ä  Rumpun Austronesia
Ä  Rumpun Kaukarus
Ä  Rumpun Finno-Ugris
Ä  Rumpun Paleo Asiatis atau hiperbolis
Ä  Rumpun Ural-Altai
Ä  Rumpun Sino-Tibet
Ä  Rumpun Bahasa-bahasa indian

KLASIFIKASI TIPOLOGI

     Klasifikasi ini dilakukan berdasarkan kesamaan tipe atau pada sejumlah bahasa. Klasifikasi pada tataran morfologi yang telah dilakukan pada abad XIX secara garis besar dibagi menjadi 3 kelompok:

1.      Kelompok pertama menggunakan bentuk bahasa sebagai dasar klasifikasi.Yang mula-mula mengusulkan klasifikasi morfologi adalah Fredrich Von Schlegel.
2.      Menggunakan akar kata sebagai dasar klasifiaksi tokohnya adalah Franz Bopp.
3.      Menggunakan bentuk sintaksis senagai dasar klasifikasi dan tokohnya adalah H. Steinthan.

KLASIFIKASI AREAL

     Klasifikasi ini bersifat tertutup dilakukan berdasarkan adanya hubungan timbal balik antara bahasa yang satu dengan yang lain dalam suatu areal wilayah. Artinya belum menerima unsur-unsur luar. Klasifikasi ini pernah dilakukan oleh Wilhelm Schmidt dengan bukunya Diesprachfamilien Und Sprachenkreise Der Ende

KLASIFIKASI SOSIOLINGUISTIK

     Faktor-faktor yang berlaku dalam masyarakat berdasarkan status, fungsi, dan penilaian yang diberikan masyarakat terhadap bahasa itu. Klasifikasi ini pernah dilakukan oleh William A. Stuart tahun 1962 dalam artikelnya “An Outline Of Linguistic Tipology For Dercribing Multilingualism”. Klasifikasi dilakukan berdasarkan empat ciri :

F Historisitas : Berkenaan dengan sejarah pengembangan bahasa atau sejarah pemakaian bahasa.
F Standardisasi: Berkenaan dengan statusnya sebagai bahasa baku atau tidak baku.
F Vitalitas : Berkenaan apakah bahasa itu mempunyai penutur yang menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari secara aktif atau tidak.
F Homogenesitas:Berkenaan apakah leksikon dan tata bahasa itu diturunkan.

BAHASA TULIS DAN SISTEM AKSARA

     Bahasa adalah sebuah bunyi, jadi bahasa itu adalah apa yang dilesankan bagi linguistik bahasa lesan adalah primer, sedangkan bahasa tulis adalah sekunder. Banyak bahasa di dunia ini yang belum punya tradisi tulis aretinya bahasa itu hanya digunakan secara lesan. Meskipun dikatakan bahasa lisan adalah primer dan bahasa tulis skunder tetapi peranan atau fungsi dalam kehidupan modern sangat besar. Bahasa tulis dibuat dengan pemikiran dan pertimbangan sebab peluang kesalahan sengat besar dan tidak dapat langsung diperbaiki dibanding bahasa lisan.

     Para ahli dewasa ini memperkirakan tulisan itu berawal dan tumbuh dari gambar-gambar yang terdapat di gua-gua Altamira di Spanyol utara. Dalam pembicaraan mengenai bahasa tulos dan tulisan ditemukan istilah huruf, abjad, alfabet, aksara, graf dan grafem. Abjad atau alfabet adalah urutan huruf0huruf dalam suatu aksara. Aksara adalah keseluruhan sisitem tulisan. Graf adalah satuan terkecil dalam aksara yang belum ditentukan statusnya, sedangkan grafem adalah satuan terkecil dalam aksara yang menggambarkan fonem, suku kata atau morfem. Alograf adalah farian dari grafem. Dalam kehidupan manusia aksara ternyata tidak hanya dipakai untuk keperluan menulis dan membaca tapi juga telah berkembang menjadi suatu karya seni yang disebut kaligrafi atau dapat diartikan sebagai seni menulis indah. Ada pendapat umum mengatakan bahwa ejaan yang ideal adalah ejaan yang melambangkan tiap fonem hanya dengan satu huruf atau setiap huruf hanya dipakai untuk melambangkan suatu fonem.

No comments:

Klasifikasi Bunyi

  Klasifikasi Bunyi A.     Vokal dan Konsonan Pada umumnya bunyi bahasa dibedakan atas vokal dan konsonan. Bunyi vokal dihasilkan den...