BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Ketika
kita membaca suatu karya sastra sepertinya kita tengah berada di tempat cerita
itu berlangsung dan seolah-olah ikut secara aktif mengalami atau setidaknya
menyaksikan peristiwa-peristiwa yang dinarasikan oleh penulisnya.
Kenyataan-kenyataan
yang digambarkan berhasil menyedot perhatian kita untuk tetap menyimak jalan
cerita. Seakan-akan kita tak mau ketinggalan barang sedetik pun
kejadian-kejadian yang sedang diceritakan. Kita menyaksikan
peristiwa-peristiwa, tingkah-laku para tokoh cerita yang sepertinya benar-benar
hidup dan terjadi.
Bagaimana
ini tampak sedemikian nyata dalam gambaran benak kita? Mengapa sepertinya ada
sebuah dunia, orang-orang yang hidup melakukan perbuatan-perbuatan tertentu
yang mana kita sebagai pembaca terserap ke dalamnya? Apakah peristiwa-peristiwa
yang disajikan dalam cerita benar-benar faktual? Ataukah hanya rekayasa
pengarangnya saja?
Dan juga
kita perlu mengetahui apakah kebenaran didalam sebuah karya sastra itu dapat di
pertanggung jawabkan dan sebenarnya apa saja yang di maksud sastra sebagai
pemberi kebenaran itu. Mari kita selidiki satu persatu tentang permasalahan
tersebut.
1.2 RUMUSAN
MASLAH
a. Apa sebenarnya sastra dan kebenaran itu
b. Apa saja kebenaran yang terdapat
didalam karya sastra tersebut
c. Seperti apa sastra yang dimaksud
pemberi kebenaran
1.3 TUJUAN MASALAH
a. Untuk mengetahui apa sastra dan seperti
apa yang dimaksud kebenaran dan sastra
b. Untuk mengetahui apa saja yang
terkandung dalamn kebenaran sastra itu kebenaran fisikional
atau factual
atau factual
c. Agar memahami yang dimkasud sastra
pemberi kebenaran itu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
SASTRA DAN KEBENARAN
Seseorang yang ingin
memahami "kesiapan" sastrawan tentu perlu membaca karyanya. Hal itu
dapat dilakukan jika sastrawan itu mampu mengutarakan pikiran dan perasaanya
dengan baik dan jelas. Kejelasan pengungkapan khazanah batin sastrawan ke dalam
karyanya itu tentu bergantung pada kepiawaiannya memberdayakan bahasa sebagai
sarananya.
Betapa pun hebatnya gejolak
imajinasi atau ide sastrawan, ia tidak akan mampu menuangkannya sama persis
dengan apa yang dirasakannya. Hal itu boleh jadi disebabkan oleh minimnya
penguasaan bahasa sastrawan dan/atau keterbatasan bahasa itu sendiri sebagai
sarana. Selain itu, apa yang terungkap dalam karya itu bukanlah semata-mata
hasil pengamatan sastrawan, tetapi juga apa yang dirasakan dan ditafsirkannya
tentang objek yang dihadapinya. Karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa seni
merupakan tiruan alam tidak sepenuhnya benar.
Bila karya sastra bukan
semata-mata tiruan alam, berarti sastra itu tidak bisa dipandang sebagai
sesuatu yang memperjuangkan kebenaran. Akan tetapi, dalam kenyataannya, ukuran
kebenaran sering diterapkan orang dalam menilai suatu karya sastra. Penikmat
sastra acapkali menghubungkan peristiwa yang tertuang dalam karya sastra dengan
kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Tanggung jawab moral
terhadap kebenaran itu memang harus ada dalam diri sastrawan melalui karyanya.
Jika tidak, penikmat sastra alam menolaknya. Untuk itu, yang perlu dipersoalkan
adalah pengertian kebenaran dalam karya sastra itu.
Kebenaran dalam karya
sastra bukan kebenaran yang sama persis dengan kebenaran dalam kehidupan
sehari-hari, kebenaran pelambangan, kebenaran ideal, atau kebenaran yang
sepatutnya terjadi. Patokan semacam itu akan dapat membantu pemahaman para
penikmat sastra dalam menerima cerita dongeng atau cerita kepahlawanan yang
berbaur dengan kesaktian dan keajaiban, sebagaimana terlihat dalam epos
"Ramayana" dan "Mahabarata".
Kebenaran sastra tidak sama dengan
kebenaran agama, hukum dan undang-undang (Gama, Singgalang, 11/06/06).
Kebenaran sastra melingkupi tiga dimensi silendris: sastra itu sendiri (teks),
pengarang sebagai pencipta sastra dan pembaca sebagai penikmat sastra. Ketiga
unsur tersebut memiliki hubungan yang erat, tetapi masing-masingnya memiliki
hak otonom. Setiap pengarang memiliki hak untuk menulis apa saja. Pembaca juga
bebas memahami atau mengintepretasi teks sastra sesuai persepsinya
sendiri-sendiri. Jadi, tidak ada pemaksaan untuk memahami dan tidak ada yang
berhak mengatakan bahwa pemahaman mereka paling benar.
Menikmati karya sastra sebenarnya merupakan rekreasi untuk menyelami pikiran penulisnya. Pikiran-pikiran penulis disuguhkan untuk dinikmati pembacanya. Tentunya, seorang pembaca dengan pembaca yang lain akan menemukan titik pandang berbeda dari suguhan yang sama. Itulah uniknya karya sastra. Tetapi, ada kalanya intepretasi pembaca menimbulkan suasana tidak menyenangkan bagi pembaca lainnya. Pembaca A mengintepretasi begini, sedangkan pembaca B mengintepretasi begitu. Terjadilah perbedaan persepsi. Itu hal yang wajar. Beda pendapat biasa. Yang tidak wajar dan tidak biasa adalah penghakiman yang membabi buta. Ramai-ramai karya yang berhaluan ini dilarang, yang berhaluan itu dibredel bahkan dibakar.
Menikmati karya sastra sebenarnya merupakan rekreasi untuk menyelami pikiran penulisnya. Pikiran-pikiran penulis disuguhkan untuk dinikmati pembacanya. Tentunya, seorang pembaca dengan pembaca yang lain akan menemukan titik pandang berbeda dari suguhan yang sama. Itulah uniknya karya sastra. Tetapi, ada kalanya intepretasi pembaca menimbulkan suasana tidak menyenangkan bagi pembaca lainnya. Pembaca A mengintepretasi begini, sedangkan pembaca B mengintepretasi begitu. Terjadilah perbedaan persepsi. Itu hal yang wajar. Beda pendapat biasa. Yang tidak wajar dan tidak biasa adalah penghakiman yang membabi buta. Ramai-ramai karya yang berhaluan ini dilarang, yang berhaluan itu dibredel bahkan dibakar.
2.2
KEBENARAN DIDALAM SASTRA
Sastra
sebagai karya seni sesungguhnya tidak terlepas dari imajinasi. Suatu karya
sastra adalah hasil olah imajinasi penulisnya, biar pun kisah yang disajikan
mungkin saja berasal dari pengalaman yang benar-benar dialami, pernah
disaksikan orang-orang tertentu, singkatnya cerita-cerita yang kita kenal
sebagai ”True Story” atau yang diangkat dari peristiwa khusus yang pernah
terjadi dalam kehidupan pribadi orang-orang tertentu. Bahkan, sebuah biografi
yang berisi catatan kehidupan tokoh tertentu sekali pun, tak akan bisa terlepas
dari peran imajinasi pengarangnya. Apa artinya ini? Apakah semua yang
dikisahkan kembali berarti sebuah kebohongan artistik hasil olah imajinasi
penulis semata? Apa nama jenis kenyataan dalam karya-karya sastra itu? Mari
kita cermati penjelasan ”Paus Sastra Indonesia” sehubungan dengan
pertanyaan-pertanyaan ini.
Pernyataan
H.B. Jassin di atas sangat jelas menerangkan bahwa seorang penulis adalah juga
seorang seniman kata-kata. Kenyataan-kenyataan artistik adalah sifat dan ciri
khas dari fakta-fakta yang tersaji dalam cerita fiksi. Sebagai seorang seniman,
ia memanfaatkan imajinasinya untuk merangkai cerita, dan dengan cita rasa,
pandangan pribadi nilai-nilai estetika, penulis karya fiksi membangun sifat
keartistikan cerita fiksinya. Cerita tersebut kemudian memiliki tokohnya.
Lagi-lagi penulis yang seniman tadi memberdayakan imajinasinya untuk membuat
tiruan tingkah-laku (mimesis) seolah-olah tokoh cerita dalam karyanya adalah
”orang yang hidup” sebagaimana yang lazim ditemukan di kenyataan faktual
sehari-hari. Penulis berimajinasi tentang rangkaian kalimat-kalimat yang akan
diucapkan tokoh ceritanya. Ia kemudian menggunakan kutipan-kutipan langsung
dengan tujuan agar tokoh ceritanya tampak sebagai ”orang hidup yang bisa
berbicara” dan ”berinteraksi dengan lingkungan sosialnya melalui penjelasan
ilustratif.” Bagaimana dengan tempat, suasana dan kejadian dalam cerita
sepertinya hal yang nyata terjadi? Penulis melalui pengaturan tahap-tahap
berjalannya peristiwa fiksi (plot / alur cerita) dalam ceritanya telah
menentukan secara sepihak sehubungan dengan setting of place and time,
nuance of fictional incidents, maka kita bisa melihat bahwa tokoh cerita
menunjukkan perbuatan tertentu yang dilakukannya ada dalam suasana, waktu dan
tempat yang tertentu pula.
Lalu,
bagaimana bila sebuah cerita yang tersaji dalam cerpen, novel atau drama yang
diangkat atau mengambil sumber dari pengalaman pribadi seseorang?
Tetap
saja penulis yang menuliskan cerita-cerita yang dipandang sebagai ”Kisah-Kisah
Nyata” sebenarnya telah merubahnya menjadi cerita fiksi disebabkan oleh
pemanfaatan daya imajinasinya. Bila cerita-cerita itu hampir mirip dengan
kejadian-kejadian tertentu yang telah terjadi, penulis cerita melakukan suatu
upaya kembali ke masa lalu untuk menjadikan pengalaman-pengalaman tertentu yang
dialami sebagai rujuk acuan penulisan cerita. Kemudian, dengan bahan kenangan
pengalaman masa lalu tersebut, penulis cerita berimajinasi dalam rangka
penyusunan kembali peristiwa-peristiwa masa lalu ke dalam bentuk sebuah kisah
fiksi yang meniru kenyataan sebenarnya yang disajikan kembali dalam bentuk baru
yaitu ”Kisah-Kisah Nyata”.
Perkataan
seorang filsuf Perancis, Rene Descartes, sehubungan dengan ini. De Omnibus
Dubitandum – Segala sesuatu harus diragukan. Mengapa segala sesuatu harus
diragukan bila itu adalah fakta-fakta masa lalu yang diceritakan kembali?
Manusia
sebagai individu berinteraksi dengan equilibirium sosialnya. Ia adalah pribadi
dengan segala model tingkah laku dan perbuatannya yang tipikal. Ia adalah
individu yang memiliki persepsi, jenis penalaran dan kesimpulan pribadi yang
dibuatnya berdasarkan pandangan personalnya (subjektifitas). Ketika ada suatu peristiwa
yang mengandung kenyataan faktual (benar-benar terjadi) tengah dialami, ada
suatu upaya mencermati melalui penalaran koginitif guna mengenali dan menilai
”apa sesungguhnya yang tengah terjadi di hadapannya itu”, mempersepsikan dari
sudut pandang subjektifitasnya, terakhir membuat kesimpulan yang sekali lagi
sangat bersifat subjektif bukan obyektif demi menyimpannya dalam kesan-kesan
menarik di ruang memori jangka panjangnya / kenangan. Saat ia berupaya untuk
memaparkannya kembali dalam bentuk penyampaian dengan komunikasi verbal
(ucapan-ucapan diartikulasikannya), maka kenyataan faktual dari peristiwa yang
pernah dilihat dan dialaminya itu telah terkontaminasi oleh subjektifitas
pribadinya, sehingga kebenaran yang disajikannya bukanlah kebenaran apa adanya.
Hal ini disebabkan baik oleh pengurangan maupun penambahan fakta-fakta yang
sedang ia sampaikan kembali melalui komunikasi verbalnya. Untuk itulah,
Descartes mengatakan secara tersirat bahwa kebenaran yang disampaikan kembali
secara subjektif mesti diperiksa lagi keabsahannya – segala sesuatu harus
diragukan.
Sebagai
kesimpulannya, bahwa semua karya sastra adalah karya seni dalam berbagai
jenrenya yang khas memiliki kenyataan artistik dengan kandungan nilai-nilai
estetika tersendiri produk dari cita rasa kesenian dan olah imajinasi penulis
sebagai seniman kata-kata. Kebenaran dalam karya sastra adalah suatu kebenaran
fiksional atau ’kebenaran serba-mungkin’ yang mana kemungkinan memang ada dalam
kenyataan faktual sehari-hari, atau kemungkinan hanyalah rekayasa dari daya
imajinasi intellektual penulisnya.
2.3 SASTRA
PEMBERI KEBENARAN
Dalam kenyataan, ukuran kebenaran merupakan ukuran
yang sering digunakan dalam menilai suatu karya sastra. Memang tanggung jawab
terhadap kebenaran ini harus ada pada setiap sastrawan dengan hasil karyanya.
Kebenaran yang dimaksudkan bukanlah kebenaran yang klop dengan kenyataan
pengalaman sehari-hari. Tetapi lebih luas dari itu, yaitu kebenaran yang ideal,
kebenaran yang bukan saja bertumpu pada kehidupan nyata yang terjadi sekarang.
Tetapi juga kebenaran yang sepatutnya terjadi, kebenaran yang diinginkan.
Penafsiran kebenaran yang lebih luas adalah
kebenaran yang mencakup segi perlambangan (the criterion of symbolic truth) . Dalam
pengertian kebenaran semacam itu membantu memberikan jawaban yang wajar tentang
mengapa kita dapat menerima cerita-cerita dongeng atau kepahlawanan yang
diperbaurkan dengan keajaiban, sebagai suatu bentuk karya sastra yang bernilai.
Wellek dan Warren (1990:32) menyatakan bahwa kebenaran
sastra tampaknya merupakan kebenaran dalam sastra yang menurut filsafat dalam
wujud konseptual sistematis dari luar bidang sastra yang dituangkan dalam wujud
sastra.
Pembenaran pernyataan Wellek dan Warren dalam hal
kebenaran ditegaskan melalui pernyataan selanjutnya tentang pengetahuan,
kebenaran, kognisi, dan kebijaksanaan. Perlu ditekankan sekali lagi, kebenaran
yang dimaksudkan adalah kebenaran yang dibatasi pada hal-hal yang dapat
dibuktikan secara metodis oleh siapa pun secara deduktif.
T.S. Eliot agak ragu mengenai hal ini, menurutnya,
kebenaran merupakan wilayah para pemikir sistematis, sedangkan sastrawan bukan
pemikir, meskipun pada dasarnya dapat menjadi pemikir.
Baik di kalangan kebudayaan timur maupun barat sejak
dahulu sudah ada anggapan bahwa seorang yang akrab dengan sastra akan lebih
utuh kemanusiaannya. Mengapa? Karena sastra menunjang daya kreatif, dapat
menjembatani pertentangan-pertentangan dan ingin mengungkapkan yang tidak
terungkap. Dunia nyata yang dipaparkan dan sebuah karya sastra tidak hanya
terbatas pada satu aspek kenyataan, melainkan berbagai ragam segi.
Kebenaran
sastra yang tidak pernah bermakna tunggal itu ditegaskan pula oleh Hall (1983:VI)
yang mengatakan bahwa kebenaran sastra merupakan kebenaran yang “inexact,
changeable, and subject to argument” karena kodrat sastra yang
merepresentasikan manusia dengan segala kehidupannya yang juga ambigius,
komplek, dan mudah berubah-ubah. Kebenaran seperti ini rupa-rupanya tidak hanya
dimonopoli oleh sastra.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kebenaran
dalam karya sastra bukan kebenaran yang sama persis dengan kebenaran dalam
kehidupan sehari-hari, kebenaran pelambangan, kebenaran ideal, atau kebenaran
yang sepatutnya terjadi.
Kebenaran sastra tidak sama dengan
kebenaran agama, hukum dan undang-undang (Gama, Singgalang, 11/06/06).
Kebenaran sastra melingkupi tiga dimensi silendris: sastra itu sendiri (teks),
pengarang sebagai pencipta sastra dan pembaca sebagai penikmat sastra. Ketiga unsur
tersebut memiliki hubungan yang erat, tetapi masing-masingnya memiliki hak
otonom.
Karya
sastra adalah karya seni dalam berbagai jenrenya yang khas memiliki kenyataan
artistik dengan kandungan nilai-nilai estetika tersendiri produk dari cita rasa
kesenian dan olah imajinasi penulis sebagai seniman kata-kata. Kebenaran dalam
karya sastra adalah suatu kebenaran fiksional atau ’kebenaran serba-mungkin’
yang mana kemungkinan memang ada dalam kenyataan faktual sehari-hari, atau
kemungkinan hanyalah rekayasa dari daya imajinasi intellektual penulisnya.
SUMBER:
bahasa.kompasiana.com/.../kebenaran-dalam-karya-sastra-faktual-atau fisikional
No comments:
Post a Comment