MASYARAKAT BAHASA
Kata masyarakat bersifat relatif, dapat
menyangkut masyarakat luas maupun sekelompok kecil orang. Misalnya: masyarakat
Jawa Barat, masyarakat pendidikan.
Jika suatu kelompok orang atau suatu
masyarakat mempunyai verbal repertoire yang relatif sama serta mereka mempunyai
penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di
dalam masyarakat itu, maka kelompok orang tsb adalah sebuah masyarakat
bahasa/tutur (Speech Commnunity)
Ë
Fishman
(1976) mengemukakan bhw masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang
anggota-anggotanya mengenal minimal satu variasi bahasa beserta norma-norma
yang sesuai dengan penggunaannya.
Pada pokoknya masyarakat bahasa itu
terbentuk karena adanya saling pengertian (mutual intelligibility),
terutama karena adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik. Memiliki
persamaan nilai terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang ada dalam masyarakat
tersebut.
MASYARAKAT BAHASA BERDASARKAN SIKAP SOSIAL
Model paguyuban bahasa yang klasik
tidak dapat mencakup perubahan dialek perkotaan yang cepat. Bentuk yang
diidealisasikan tidak cukup mencerminkan realitas. Labov menyimpulkan
bahwa anggota masyarakat bahasa perkotaan lebih diikat oleh sikap dan
prasangka yang sama dalam berbahasa, yang luar biasa stabil dibandingkan
dengan ikatan pemakaian bahasa yang sama (1972:293).
Menurut Labov pada
kenyataannya sangat jelas bahwa masyarakat bahasa
didefinisikan sebagai sekelompok penutur yang memiliki sederetan sikap
sosial terhadap bahasa. Misalnya, seorang yang berasal dari New York
(orang dari kota besar) memiliki gambaran yang jelas tentang norma-norma bahasa
dan ia mengetahui jika ia menyimpang dari norma yang ada. Terdapat
perbedaan antara (1) apa yang dikatakan, (2) apa yang diyakini, dan (3) apa
yang diyakini untuk dikatakan.
Titik tolak Labov adalah orientasi
ke status yang dimulai dari kelompok sosial (kelompok makro) dan pada tiap
kelompok berkembang ke arah yang sama. Penyimpangan norma pada lapisan
sosial bawah lebih jauh dibandingkan dengan lapisan sosial menengah
dan atas karena itu mereka juga memiliki lebih banyak variasi.
Seberapa jauh konep makro kuantitatif
mencerminkan realitas sosial yang masih harus didiskusikan. Hal itu dapat
dilakukan pada data empiris dalam jumlah yang besar. Hymes (1972) juga
memberikan pendapatnya tentang definisi dasar masyarakat bahasa. Mereka
menekankan bahwa perasaan menjadi anggota suatu paguyuban lebih menentukan
daripada definisi linguistik.
MASYARAKAT BAHASA BERDASARKAN INTERAKSI
Gumpertz mendefinisikan masyarakat
bahasa (pada masa yang lampau) ke arah komunikatif interaksi, yang dalam
analisis fungsional berpangkal pada varietas bahasa suatu masyarakat
bahasa yang khas sebagai kelompok sosial, dan bukan dari kesatuan bahasa.
Definisi Gumpertz juga memungkinkan beberapa varietas bahasa hidup
berdampingan: kita definisikan masyarakat bahasa sebagai kelompok sosial yang
monolingual atau multilingual, yang merupakan satu kesatuan karena sering
terjadi interaksi sosial dan yang dipisahkan dari sekelilingnya
oleh interaksi sosial yang melemah. Masyarakat bahasa dapat terdiri
atas kelompok kecil yang hubungannya bersemuka atau terdiri dari seluruh
bahasa, tergantung dari tingkat abstraksi yang akan dicapai (Gumpertz
1962:101).
Selanjutnya
Gumpertz menyatakan bahwa dari segi fungsi tidak ada perbedaan antara
bilingualisme dengan bidialektalisme. Gumpertz dalam definisi selanjutnya
tentang masyarakat bahasa menekankan bahwa di samping
kriteria interaksi juga berperan persamaan dan perbedaan varietas sebagai unsur
sosial definisi umum analisis bahasa: masyarakat bahasa adalah
sekelompok manusia yang terbentuk melalui interaksi bahasa yang teratur
dan sering dengan bantuan persediaan tanda-tanda bahasa yang dimiliki
bersama dan yang dipisahkan dari kelompok lain karena perbedaan-perbedaan dalam
berbahasa (Gumpertz, 1968:14). Konsep Gumpertz memiliki keuntungan sebagai
berikut: a) untuk satu masyarakat bahasa tidak hanya berlaku satu bahasa, b)
penekanan pada interaksi dan komunikasi sebagai unsur pembentuk masyarakat
bahasa sebagai hasil bilingualisme, dengan sendirinya tidak terjadi tumpang
tindih, dan c) kompleksitas masyarakat perkotaan telah diperhitungkan dalam
konsep.
Jika kita
mengemukakan satu kota besar sebagai satu masyarakat bahasa yang penduduknya
menggunakan sebagian besar dari waktu mereka untuk berkomunikasi dan varietas
bahasa tentu saja sebagai bagian pembentuk kota dan orang selalu menunjuk
pada lembaga, data dan lokasi, pola mobilitas, bentuk-bentuk interaksi sosial
yang khas untuk kehidupan perkotaan, terlihat bahwa masyarakat bahasa merupakan satu istilah yang sangat
umum. Supaya pengertian istilah masyarakat bahasa digunakan seperti yang
dipakai oleh Gumpertz, harus kita tentukan keanggotaan tiap kelompok, terutama
yang memiliki arti bagi mereka, hal ini berarti bahwa kita harus
membentuk tahap-tahap interaksi sosial dan menganalisis
kesatuan-kesatuan yang terbentuk. Mula-mula Gumpertz untuk dapat merealisasikan
hal di atas menggunakan konsep peran
sosial, kemudian ia memakai istilah jaringan sosial untuk meneliti
hubungan antaranggota suatu jaringan sosial. Tujuan konsep jaringan sosialuntuk
menunjukkan mekanisme yang mempengaruhi repertoire bahasa penutur; yang disebabkan oleh
faktor-faktor sosial-ekologi.
Sesuai dengan
konsep (baru) Gumpertz tentang masyarakat bahasa, ia membandingkan konsep
kode bahasa yang homogen dengan konsepnya tentang repertoir verbal/linguistis
yang agaknya bertitik tolak dari tingkat langue ke parole. Keseluruhan dialek dan
varietasnya yang digunakan secara teratur dalam suatu masyarakat membentuk repertoire bahasa masyarakat ini.Repertoire merupakan kekhasan penduduk
suatu daerah, sedangkan batas suatu bahasa dapat sama ataupun tidak sama
dengan batas suatu kelompok sosial (1968:230).
Keunggulan
konsep repertoire bahasa, konsep tersebut memungkinkan
kita untuk menghubungkan antara struktur sosial dan penggunaan bahasa suatu
masyarakat bahasa di bawah satu kerangka relasi yang sama. Dalam hal ini,
justru Kloss mengeritik istilah yang digunakan Gumpertz. Ia mengeritik bahwa
Gumpertz memberikan makna lain pada istilah masyarakat bahasa yang
diciptakan oleh Kloss, masyarakat bahasa diartikan sama dengan speech community yang digunakan oleh Bloomfield,
sehingga menyebabkan kerancuan. Masyarakat bahasa menurut Kloss adalah
keseluruhan penutur yang berbahasa ibu sama dan memiliki bersama diasistem
tertentu dalam perbedaan dialektal dan sosiolektal.
Kloss
menekankan pentingnya satu istilah untuk keseluruhan manusia yang memiliki
bahasa-bahasa ibu yang sama dan yang membentuk keadaan tersebut. Ia
mengusulkan istilah komunitas repertorium (paguyuban repertorium) (Kloss
1977:228). Dengan demikian, paguyuban bahasa berarti memiliki bahasa ibu yang
sama atau yang mirip. Dalam kepustakaan yang berbahasa Jerman
digunakan istilah paguyuban pertuturan (sprechgemeinschaft) untuk
paguyuban repertorium (repertoiregemeinschaft),yang
berarti sekelompok penutur yang tidak hanya memiliki varietasrepertorium yang sama, tetapi juga kriteria
yang sama untuk mengukur penerapan kaidah-kaidah tersebut secara
sosial. Dalam etnografi komunikasi konsep paguyuban
pertuturan mencakup
keseluruhan kebiasaan komunikasi suatu paguyuban, dalam hal ini termasuk bahasa
sebagai alat komunikasi dikaitkan dengan yang lain (Coulmas 1979:10).
MASYARAKAT BAHASA BERDASARKAN JARINGAN SOSIAL
Jaringan
sosial sebagai substratum paguyuban bahasa sebagai titik tolak
analisis bahasa dalam sosiolinguistik dikenalkan untuk menganalisis
komunikasi sehari-hari dan konvensi interaksi. Dalam hal ini jaringan
hubungan seorang individu termasuk di dalamnya dan kesatuan kelompok
sosialnya merupakan phenomena dalam berbagai tataran abstraksi.
Gumpertz memperhitungkan hal ini dan
memasukkan dalam konsep mikronya, paguyuban bahasa (pada tataran abstraksi yang
terendah), dan konsep jaringan sosial. Dengan bantuan konsep ini sebagai
soerang linguis, ia akan meneliti perilaku bahasa dalam suatu paguyuban dengan
memperhatikan interpretasi norma dan nilai yang sesuai dengan kenyataan.
Paguyuban
bahasa terdiri atas sederet satuan dasar, jaringan-jaringan yang dapat
diikuti oleh seorang anggota paguyuban dalam berbagai tingkat
dan lebih dari satu peran. Salah satu penyebab utama dikenalkannya konsep
jaringan sosial dalam kerangka studi paguyuban bahasa karena
konsep makro yang tradisional untuk menganalisis paguyuban yang
berubah dengan lambat dan agak statis (suku-suku bangsa, paguyuban-paguyuban
pedesaan) tidak tepat untuk menganalisis agregat kota yang berubah dengan cepat. Konsep
jaringan sosial mencoba mencakup variabel manusia sebagai makhluk sosial
yang dipengaruhi oleh orang lain dan mempengaruhi orang lain.
Jika Gumpertz
membedakan antara biner antara jaringan sosial tertutup dengan
terbuka, Milroy (1980, passim) mengembangkan perbedaan biner terbuka, tertutup dalam suatu
kesinambungan, mulai lebih terbuka atau agak terbuka dipertentangkan dengan
lebih tertutup atau agak tertutup dengan menggunakan parameter rapatnya, kelompok dan keanekaragaman.
Suatu paguyuban lebih rapat, jika antar anggotanya lebih terikat. Rapatnya
jaringan sosial berfungsi sebagai mekanisme pelestarian norma, kelompok
merupakan segmen jaringan dengan kerapatan yang tinggi. Hubungan sosial dalam
kelompok lebih rapat daripada di luar kelompok. Keanekaragaman sebagai ukuran
kekhasan interaksi suatu jaringan: apakah ikatan antaranggota hanya berdasarkan
satu fungsi (uniplex) atau berdasarkan fungsi ganda (multiplex).
Penting untuk
pembatas jaringan selain bentuk interaksi, bentuk kunjungan, hubungan
kekerabatan, hal-hal yang oleh Gumpertz disebut self recruitmentpaguyuban
(1971:297). Dengan demikian, kelompok jaringan tertutup (atau yang oleh
saviller-Troike (1982:20) disebut hand
shelled communities) cenderung seragam dalam penggunaan bahasa, a.l.
karena wilayah yang ketat daripada jaringan terbuka (soft shelled
communities) yang ikatan antaranggotanya lebih longgar dan
batas wilayah tidak ketat. Manfaat alat analisis jaringan terutama karena kemungkinan yang
dimilikinya untuk menggabungkan varietas dalam struktur sosial dengan varietas
dalam penggunaan bahasa, artinya varietas yang disebabkan oleh lingkungan dan
tahap abstraksi yang rendah dihubungkan dengan varietas bahasa.
MASYARAKAT BAHASA SEBAGAI INTERPRETASI
SUBJEKTIF-PSIKOLOGIS
Bolinger
(1975:33) menunjukkan kompleksitas yang bersifat psikologis dan ciri
subjektif konsep paguyuban
bahasa, ia
mengemukakan: tidak ada batas untuk cara manusia berkelompok guna mencari jati
diri, keamanan, keuntungan, hiburan, kepercayaan atau tujuan lain secara
bersama, sebagai akibat hal ini tidak ada batasan sehubungan dengan
jumlah dan keanekaragaman paguyuban bahasa yang kita jumpai dalam
masyarakat kita. Setiap populasi menurut definisi Bolinger dapat
terdiri atas sejumlah besar paguyuban bahasa, yang sehubungan dengan keanggotaan dan varietas bahasanya tumpang tindih.
Realitas
psikologis paguyuban bahasa yang tergantung dari interpretasi
angota-anggotanya diperhitungkan dalam pendapat Le Page (1968), baginya
keberadaan kelompok sebagai paguyuban bahasa dengan ciri-ciri khusus yang
digolongkan oleh penutur sendiri, bukan oleh sosiolog penting. Tergantung
bagaimana seorang penutur menempatkan dirinya dalam ruang yang multidimensi (Hudson, 1980:27), ia ikut
berpartisipasi dalam berbagai paguyuban bahasa yang dimensi atau perbandingan
luasnya ditentukan oleh kelompok di sekelilingnya. Setiap penutur
menciptakan sistem perilaku bahasanya yang mirip dengan kelompok tempat
ia ingin mengidentifikasikan dirinya dari waktu ke waktu, dengan syarat a) ia
dapat mengidentifikasikan dirinya ke kelompok tersebut, b) ia memiliki
kesempatan dan kemampuan untuk mengamati dan menganalisis perilaku mereka, c)
memiliki motivasi yang kuat dan merasa berkewajiban untuk memilih dan mengubah
perilakunya, dan d) ia masih sanggup menyesuaikan perilakunya.
Le Page menginterpretasikan ujaran manusia
sebagai pernyataan jati diri individu karena itu individu adalah sah sebagai
titik tolak penelitian sosiolinguistik. Le Page dapat membuktikan bahwa
analisis perilaku bahasa individu tidak berarti suatu kekacauan. Dasar
pandangan yang multidimensi diperoleh melalui kajian paguyuban yang
multilingual, dalam kajian ini perlu memperhatikan sejumlah sumber yang
mempengaruhi penggunaan bahasa seseorang. Ia menekankan bahwa seorang
penutur merupakan dasar sumber bahasa yang ada dan digunakan untuk
mengidentifikasikan dengan paguyuban-paguyuban tertentu.
MASYARAKAT BAHASA DI INDONESIA
Tanggal 18 Maret 1996 Prof. Dr. Wardiman
Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia membuka
dengan resmi Seminar Kebahasaan dan kesusasteraan menyangkut bahasa Indonesia ,
Malaysia, dan Brunai Darusalam. Seminar diadakan di Padang, Sumatra Barat
selama 3 hari. Pada acara pembukaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I.
mengungkapkan data-daya tentang profil kemampuan berbahasa Indonesia sebagai
berikut.
Jumlah penutur bahasa Indonesia sebesar
153 juta di antara ±175 juta penduduk Indonesia di atas 5 tahun pada tahun 1995
merupakan “masyarakat bahasa Indonesia” di Indonesia.
Dari bahasa-bahasa yang ada di Indonesia
terdapat 11 bahasa utama dengan patokan jumlah penutur > 1 juta orang. jika
penutur > 10 juta orang dipakai sebagai rujukan, maka hanya 4 masyarakat
bahasa paling utama, yaitu masyarakat bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, dan
Melayu.
Jika fungsi bahasa yang dipakai sebagai
rujukan, maka 19 bahasa yang lebih berperan di Indonesia, karena digunakan
untuk lebih dari satu tujuan, yaitu : bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Malay
Dialects, Madura, Makasar, Minangkabau, Batak, Bali, Aceh, Sasak, Mandaar,
Minahasa, Gorontalo, Halmahera, Nias, Sangir, Toraja, dan Bima.
Bila bahasa tulisan yang dijadikan
patokan, maka hanya terdapat 13 masyarakat bahasa di Indonesia, yaitu: bahasa
Indonesia, Jawa, Sunda, Madura, Makasar, Minangkabau, Batak, Bali, Aceh, Sasak,
Nias, Sangir, dan Toraja.
VARIASI BAHASA DAN STATUS SOSIAL
BAHASA
Ë
Chaer&
Agustina(2004) mengatakan bahwa variasi atau ragam bahasa dilihat sebagai akibat
adanya keragaman sosial penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa
Ë
Perbedaan 2 macam variasi bahasa berdasarkan status pemakainya, yaitu :
1) Variasi bahasa tinggi (T) digunakan dalam situasi resmi.
2) Variasi bahasa rendah (R) digunakan dalam situasi tidak formal.
VARIASI DARI SEGI PENUTUR
A.
Idiolek
yaitu variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Variasi ini berkenaan dengan warna
suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dsb.
B.
Dialek
yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang
berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu.
C.
Kronolek
atau dialek temporal yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada
masa tertentu.
D.
Sosiolek
atau dialek sosial yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan,
dan kelas sosial para penuturnya.
VARIASI DARI SEGI PEMAKAIAN
A.
Variasi
bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek,
ragam, atau register.
B.
Variasi
ini dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan,
dan sarana penggunaan.
C.
Variasi
bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk
keperluan atau bidang apa. Misalnya bidang sastra, perikanan, jurnalis.
VARIASI DARI SEGI KEFORMALAN
A.
Ragam
beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalamsituasi-situasi
khidmat, dan upacara-upacara esmi.
B.
Ragam
resmi atau formal yaitu variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan,
rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dsb.
C.
Ragam
usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim digunakan dalam pembicaraan
biasa disekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil
atau produksi.
D.
Ragam
santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak
resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu beristirahat,
berolahraga, dsb.
E.
Ragam
akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh penutur yang
hubungannya sudah akrab, seperti antar anggota keluarga, antar teman yang sudah
karib.
PENGGUNAAN BAHASA
Hymes (1974) seorang pakar sosiolinguistik
mengatakan bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan
delapan unsur yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni:
1. Setting and Scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan
tempat dan waktu terjadinya percakapan,
2. Paticipants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam
percakapan,
3. Ends,
yaitu maksud dan hasil percakapan
4. Act Sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk
dan isi percakapan,
5. Key,
yaitu menunjuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan,
6. Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur
percakapan apakah secara lisan atau tulisan
7. Norms,
yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan,
8. Genres, yaitu yang menunjuk pada kategori
atau ragam bahasa yang digunakan.
KONTAK BAHASA
Dalam masyarakat yang terbuka artinya yang
para anggotanya dapat menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain. Dan
akan terjadi kontak bahasa. Kasus-kasus yang terjadi karena adanya kontak
bahasa misalnya interferensi, integrasi, alih kode (code switching) dan campur
kode (code-mixing).
Interferensi
adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang
digunakan, sehingga adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang sedang
digunakan itu.
Alih kode yaitu beralihnya penggunaan
suatu kode (entah bahasa ataupun ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang lain
(bahasa atau ragam bahasa lain) karena alasan tertentu.
Campur kode pengertiannya sama dengan alih
kode, namun dalam campur kode tidak ada alasan yang mendasari.
BAHASA DAN BUDAYA
Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa
bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis hanya ada pada manusia.
Implementasinya manusia mampu membentuk lambang atau memberi nama guna menandai
setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu semua. Bahasa
hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi.
Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi
dalam dan dialami penuturnya. Dengan kata lain, budaya yang ada di sekeliling
bahasa tersebut akan ikut menentukan wajah dari bahasa itu.
Istilah bahasa dalam bahasa Indonesia,
sama dengan language, dalam bahasa Inggris, taal dalam bahasa Belanda, sprache
dalam bahasa Jerman, lughatun dalam bahasa Arab dan bhasa dalam bahasa
Sansekerta. Istilah-istilah tersebut, masing-masing mempunyai aspek tersendiri,
sesuai dengan pemakainya, untuk menyebutkan suatu unsur kebudayaan yang
mempunyai aspek yang sangat luas, sehingga merupakan konsep yang tidak
mudah didefinisikan. Seperti yang diungkapkan oleh para ahli:
1. Menurut Sturtevent berpendapat bahwa bahasa adalah
sistem lambang sewenang-wenang, berupa bunyi yang digunakan oleh
anggota-anggota suatu kelompok sosisal untuk kerjasama dan saling berhubungan.
2. Menurut Chomsky language is a set of sentences, each
finite length and contructed out of a finite set of elements.
3. Menurut Keraf, bahasa adalah alat komunikasi antara
anggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia
Masih banyak lagi definisi tentang bahasa
yang dikemukakan oleh para ahli bahasa. Setiap batasan yang dikemukakan
tersebut, pada umumnya memiliki konsep-konsep yang sama, meskipun terdapat
perbedaaan dan penekanannya. Terlepas dari kemungkinan perbedaan tersebut,
dapat disimpulkan sebagaimana dinyatakan Linda Thomas dan Shan Wareing dalam
bukunya Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan bahwa salah satu cara dalam menelaah
bahasa adalah dengan memandangnya sebagai cara sistematis untuk mengabungkan
unit-unit kecil menjadi unit-unit yang lebih besar dengan tujuan komunikasi. Sebagai
contoh, kita menggabungkan bunyi-bunyi bahasa (fonem) menjadi kata (butir
leksikal) sesuai dengan aturan dari bahasa yang kita gunakan. Butir-butir
leksikal ini kemudian digabungkan lagi untuk membuat struktur tata bahasa,
sesuai dengan aturan-aturan sintaksis dalam bahasa.
Dengan demikian bahasa merupakan ujaran
yang diucapkan secara lisan, verbal secara arbitrer. Lambang, simbol, dan
tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa mengandung makna yang berkaitan dengan
situasi hidup dan pengalaman nyata manusia.
FENOMENA ANTARA BAHASA DAN BUDAYA
Bahasa bukan saja merupakan
"property" yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para
ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar persona. Komunikasi
selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut
pandang wacana, makna tidak pernah bersifat absolut; selalu ditentukan oleh
berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang terdapat dalam
kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu bahasa tidak pernah
lepas dari konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya.
Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.11 Umpamanya kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk kepada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish; dalam bahasa banjar disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukan hanya berarti ikan atau fish. Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk (teman pemakan nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe sering juga disebut iwak.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? semua ini karena bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Dalam budaya masyarakat inggris yang tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi.
Karena itu, kata rice pada konteks tertentu
berarti nasi pada konteks lain berarti gabah dan pada konteks lain lagi berarti
beras atau padi. Lalu karena makan nasi bukan merupakan budaya Inggris, maka
dalam bahasa Inggris dan juga bahasa lain yang masyakatnya tidak berbudaya
makan nasi; tidak ada kata yang menyatakan lauk atau iwak (bahasa Jawa).
Contoh lain dalam budaya Inggris pembedaan kata saudara (orang yang lahir dari rahim yang sama) berdasarkan jenis kelamin: brother dan sister. Padahal budaya Indonesia membedakan berdasarkan usia: yang lebih tua disebut kakak dan yang lebih muda disebut adik. Maka itu brother dan sister dalam bahasa Inggris bisa berarti kakak dan bisa juga berarti adik.
Antara Bahasa dan Budaya
Sosiolinguistik bukanlah sekedar
pembahasan “campuran” antara ilmu bahasa dan sosiologi atau ilmu sosial
lainnya, tetapi di dalamnya juga mencakup prinsip-prinsip setiap aspek
kehidupan yang berkaitan dengan fungsi sosial dan kultural. Oleh karena itu,
agar pembahasan di sini tidak meluas, kami membatasinya pada “Bahasa dan
Budaya” sebagai aspek kultural kehidupan sehari-hari.
Banyak ahli
dan peneliti sepakat bahwa bahasa dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Sebut saja di antaranya Suryadi, dosen Politeknik Medan, dalam
makalahnya Hubungan Antara Bahasa dan Budaya, yang disampaikan
dalam seminar nasional “Budaya Etnik III” di Universitas Sumatera Utara 25
April 2009 kemarin. Ia menyebutkan bahwa bahasa adalah produk budaya pemakai
bahasa. Sebelumnya, pakar-pakar linguistik juga sudah sepakat antara bahasa dan
budaya memiliki kajian erat. Kajian yang sangat terkenal dalam hal ini adalah
teori Sapir-Whorf. Kedua ahli ini menyatakan, “Jalan pikiran dan
kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur
bahasanya” (Chaer, 2003:61).
Sementara
itu, Piaget, seorang sarjana Perancis, menyebutkan bahwa budaya (pikiran) akan
membentuk bahasa seseorang. Dari sinilah lahirteori pertumbuhan kognisi oleh
Piaget. Sedikit berbeda dengan itu, Vigotsky, sarjana Rusia, berbendapat bahwa
perkembangan bahasa lebih awal satu tahap sebelum berkembangnya pemikiran
(budaya) yang kemudian keduanya bertemu sehingga melahirkan pikiran berbasa dan
bahasa berpikir.
Noam Chomsky juga sepakat bahwa kajian bahasa
memiliki erat kaitan dengan budaya. Demikian halnya dengan Eric Lenneberg yang
memiliki kesamaan pandangan dengan teori kebahasaan yang dikemukakan oleh
Chomsky dan Piaget (Chaer, 2003:52-58).
Lantas, bagaimanakan hubungan dan
keterkaitan antara bahasa dan budaya, inilah yang akan kami coba ulas dalam
tulisan singkat berikut ini, tentunya berdasarkan teori-teori yang sudah ada
dan mengaitkan sedikit dengan lokalitas keacehan sebagai tempat (daerah)
masalah ini kita diskusikan.
HUBUNGAN BAHASA DAN BUDAYA
Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa bahasa
adalah alat verbal untuk komunikasi. Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa
bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh
sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri”.
Chaer mengemukakan definisi bahasa itu berdasarkan pandangan Barber (1964:21),
Wardhaugh (1997:3), Trager (1949:18), de Saussure (1996:16), dan Bolinger
(1975:15), yang kemudian, Badudu (1989:3) dan Keraf (1984:16) juga sepakat
bahwa bahasa adalah alat komunikasi.
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III (2005:88) disebutkan bahwa:
1. bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer,
yang digunakan oleh anggota satu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi,
dan mengidentifikasi diri;
2. bahasa merupakan percapakan (perkataan) yang baik.
Pendapat
lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa
bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini
menyebutkan dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan
bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini
disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada
kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat
berkomunikasi.
Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di
dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI, 2005:169). Dengan demikian, budaya
dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran.
Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan
timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah
perwujudan kebudayaan.
Setelah para ahli sepakat menyataka bahwa
bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang
menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi).
Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian
ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai
penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan pentur
disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam
interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku
berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya.
Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau
pengguna bahasa itu berada.
Dalam
interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau
kita sampaikan kepada lawan bicara tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan
memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda
pendidikan, beda pengetahuan, dan lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga
berhubungan dengan bahasa. Kata “Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda
dalam konteks budaya berbeda. Sebutan “Bapak” di negara yang menggunakan bahasa
pengantarnya adalah bahasa Inggris tidak cenderung digunakan. Masyarakat
penutur bahasa Inggris akan langsung menggunakan sebutan nama diri/nama orang
kepada lawan bicara yang lebih tua sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat
penutur bahasa Inggris ini tentu saja tabu jika dipakai oleh penutur bahasa
Melayu atau Indonesia. Bahkan, akan lebih tabu lagi jika dipakai dalam
masyarakat Aceh yang terkenal kental adat istiadatnya dalam menghormati orang
lebih tua. Contoh lainnya dalam bahasa Inggris adalah kata “mati”. Bahasa
Indonesia memiliki beberapa kata yang memiliki makna yang sama dengan maksud
kata “mati” misalmampus, meninggal dunia, punah, mangkat, wafat, tewas,
lenyap, dsb., sedangkan dalam bahasa Inggris hanya ada dua kata saja,
yaitu die danpass away.
Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk
kepentingan interaksi sosial sangat tergantuk pada budaya tempat bahasa itu
digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan & Partana
(2002: 20) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk
budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu.
Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi
sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk
teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap
sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi
apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah yang bersangkutan.
Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur
mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bali misalnya,
terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa ‘jangan
menganggap diri ini mampu’ mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa
mampu; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso
biso, nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak mampu
merasakan apa yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada
ungkapan ubiet takalon geuhön tatijik ‘kecil kita lihat,
(tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut memiliki ciri khas
budaya masing-masing penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.
Penelitian
Dede Oetomo pada tahun 1987 (Sumarsono dan Partana, 2002:336) menyebutkan bahwa
bahasa juga dapat mempengaruhi kelompok. Anggapan ini berdasarkan pengamatannya
terhadap etnik Cina di Pasuruan dengan melihat tutur masyarakat Cina di sana
sehari-hari. Ia berkesimpulan bahwa masyarakat Cina dapat dikelompokkan menjadiCina
Totok dan Cina Pernakan. Ini menunjukkan bahwa bahasa itu
dapat mencerminkan identitas kelompok.
Bahasa yang
tidak dapat terlepas dari budaya juga dibuktikan oleh Blom dan Gumperz
(Sumarsono dan Partana, 2002:338). Berdasarkan penelitiannya pada tahun 1972
terhadap sebuah guyup di Norwegia yang menggunakan dialek lokal dan ragam
regional bokmal (satu dari dua ragam baku bahasa Norwegia)
terbukti bahwa masyarakat pengguna dialek masing-masing itu mengalami perbedaan
penyampaian bahasa sebagai media komunikasi, terutama saat sampai pada di mana
dan tujuan komunikatif apa mereka menggunakan bahasa tersebut.
Ada bentuk-bentuk
tertentu yang digunakan para penutur dari kedua dialek berbeda itu dalam
menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap komunikasinya, yang hanya
dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut.
KLASIFIKASI
BAHASA
Menurut Greenberg suatu
klasifikasi yang baik harus memenuhi persyaratan nonarbiter, ekshaustik, dan
unik.Yang dimaksud nonarbiter adalah bahwa kriteria klasifikasi itu tidak boleh
semaunya,hanya harus ada satu kriteria dan hasilnya akan ekshaustik.Artinya, setelah
klasifikasi dilakukan tidak ada lagi sisanya.Bahasa yang ada dapat masuk
kedalam salah satu kelompok yang lain.
Didalam membuat praktek membuat
klasifikasi ada tiga persyaratan yang diajukan oleh Greenberg itu tidak dapat
dilaksanakan,sebab banyak sekali ciri-ciri bahasa yang dapat digunakan untuk
membuat klasifikasi itu,antara lain:
Ø
Pendekatan
genetik
Ø
Pendekatan
tiologis
Ø
Pendekatan
sosiolingiistik
KLASIFIKASI GENETIS
Klasifikasi ini disebut juga klasifikasi
geneologis artinya suatu bahasa berasal atau diturunkan dari bahasa yang lebih
tua.Suatu bahasa proto(bahasa tua,bahasa semula). Akan pecah dan menurunkan dua
bahasa baru atau lebih.Teori menurut A.Schlercher memberi
gambaran seperti batang pohon yang berbalik teori ini bernama teori batang
pohon(bahas jerman: stammabaumtheorie),
pada tahun 1866.kemudian dilengkapi oleh S.Schmidt pada
tahun 1872.Dengan teori gelombang maksudnya adalah perkembangan atau perpecahan
bahasa itu dapat diumpamakan seperti gelobang yang disebabkan oleh sebuah batu
yang dijatuhkan ketengah kolam.
Penyebaran bahasa itu terjadi karena
penuturnya menyebar atau berpindah tempat sebagai akibat adanya peperangan atau
bencana alam.Sejauh ini hasil klasifikasi banyak diterima orang secara umum
bahwa bahasa-bahasa yang ada didunia terbsgi dalam sebelas rumpun besar antara
lain:
Ä
Rumpun
indo eropa
Ä
Rumpun
hamito-semit atau Afro-Asiatik
Ä
Rumpun
Chari-Nil
Ä
Rumpun
Dravida
Ä
Rumpun
Austronesia
Ä
Rumpun
Kaukarus
Ä
Rumpun
Finno-Ugris
Ä
Rumpun
Paleo Asiatis atau hiperbolis
Ä
Rumpun
Ural-Altai
Ä
Rumpun
Sino-Tibet
Ä
Rumpun
Bahasa-bahasa indian
KLASIFIKASI TIPOLOGI
Klasifikasi ini dilakukan berdasarkan
kesamaan tipe atau pada sejumlah bahasa. Klasifikasi pada tataran morfologi
yang telah dilakukan pada abad
XIX secara garis besar
dibagi menjadi 3 kelompok:
1.
Kelompok
pertama menggunakan bentuk bahasa sebagai dasar klasifikasi.Yang mula-mula
mengusulkan klasifikasi morfologi adalah Fredrich Von Schlegel.
2.
Menggunakan
akar kata sebagai dasar klasifiaksi tokohnya adalah Franz Bopp.
3.
Menggunakan
bentuk sintaksis senagai dasar klasifikasi dan tokohnya adalah H. Steinthan.
KLASIFIKASI AREAL
Klasifikasi ini bersifat tertutup
dilakukan berdasarkan adanya hubungan timbal balik antara bahasa yang satu
dengan yang lain dalam suatu areal wilayah. Artinya belum menerima unsur-unsur
luar. Klasifikasi ini pernah dilakukan oleh Wilhelm Schmidt dengan bukunya Diesprachfamilien Und Sprachenkreise
Der Ende
KLASIFIKASI SOSIOLINGUISTIK
Faktor-faktor yang berlaku dalam masyarakat
berdasarkan status, fungsi, dan penilaian yang diberikan masyarakat terhadap
bahasa itu. Klasifikasi ini pernah dilakukan oleh William A. Stuart tahun 1962 dalam artikelnya “An Outline Of Linguistic Tipology For Dercribing Multilingualism”. Klasifikasi dilakukan berdasarkan
empat ciri :
F
Historisitas
: Berkenaan dengan sejarah pengembangan bahasa atau sejarah pemakaian bahasa.
F
Standardisasi:
Berkenaan dengan statusnya sebagai bahasa baku atau tidak baku.
F
Vitalitas
: Berkenaan apakah bahasa itu mempunyai penutur yang menggunakannya dalam
kegiatan sehari-hari secara aktif atau tidak.
F
Homogenesitas:Berkenaan
apakah leksikon dan tata bahasa itu diturunkan.
BAHASA TULIS DAN
SISTEM AKSARA
Bahasa adalah sebuah bunyi, jadi bahasa
itu adalah apa yang dilesankan bagi linguistik bahasa lesan adalah primer,
sedangkan bahasa tulis adalah sekunder. Banyak bahasa di dunia ini yang belum
punya tradisi tulis aretinya bahasa itu hanya digunakan secara lesan. Meskipun
dikatakan bahasa lisan adalah primer dan bahasa tulis skunder tetapi peranan
atau fungsi dalam kehidupan modern sangat besar. Bahasa tulis dibuat dengan
pemikiran dan pertimbangan sebab peluang kesalahan sengat besar dan tidak dapat
langsung diperbaiki dibanding bahasa lisan.
Para ahli dewasa ini memperkirakan tulisan
itu berawal dan tumbuh dari gambar-gambar yang terdapat di gua-gua Altamira di
Spanyol utara. Dalam pembicaraan mengenai bahasa tulos dan tulisan ditemukan
istilah huruf, abjad, alfabet, aksara, graf dan grafem. Abjad atau alfabet
adalah urutan huruf0huruf dalam suatu aksara. Aksara adalah keseluruhan sisitem
tulisan. Graf adalah satuan terkecil dalam aksara yang belum ditentukan
statusnya, sedangkan grafem adalah satuan terkecil dalam aksara yang menggambarkan
fonem, suku kata atau morfem. Alograf adalah farian dari grafem. Dalam
kehidupan manusia aksara ternyata tidak hanya dipakai untuk keperluan menulis
dan membaca tapi juga telah berkembang menjadi suatu karya seni yang disebut kaligrafi
atau dapat diartikan sebagai seni menulis indah. Ada pendapat umum mengatakan bahwa
ejaan yang ideal adalah ejaan yang melambangkan tiap fonem hanya dengan satu huruf
atau setiap huruf hanya dipakai untuk melambangkan suatu fonem.
No comments:
Post a Comment